KILAS JAMBI – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Yogyakarta bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta mendampingi kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak tanpa pesangon yang menimpa belasan jurnalis akurat.co Biro Yogyakarta atau “Akurat Jogja”.
Karena mediasi tidak melahirkan solusi konkret, maka perselisihan hubungan industrial yang terjadi di PT Akurat Sentra Media itu pun akhirnya menggelinding ke meja hijau. Tercatat ada 12 jurnalis “Akurat Jogja” diPHK. Dari jumlah tersebut hanya tujuh jurnalis yang mengajukan gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Yogyakarta.
Sidang perdana sedianya digelar pada Rabu, 1 November 2023, pukul 09.15 WIB. Namun pihak tergugat maupun kuasa hukum tergugat tidak menghadiri sidang tersebut.
“Hari ini sidang pertama, yakni pemanggilan. Hingga pukul 12.00 WIB, apabila pihak tergugat atau kuasa hukumnya benar-benar tidak memenuhi panggilan atau tidak hadir, kami tinggal. Nanti akan ada pemanggilan kedua,” ungkap salah satu kuasa hukum penggugat dari LBH Pers, Victor Mahrizal.
Dikatakannya, perselisihan hubungan industrial ini sebelumnya telah melewati proses mediasi di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Disnakertrans telah mengeluarkan Surat Risalah Penyelesaian Hubungan Industrial tertanggal 13 April 2023 dan Surat Anjuran tertanggal 09 Mei 2023.
“Tetapi deadlock, belum ada iktikad baik dari PT Akurat Sentra Media. Nah, hari ini kami mantapkan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Yogyakarta. Materi gugatannya, tentu saja kami memperjuangkan hak para eks jurnalis Akurat ini,” katanya.
Victor menyayangkan, bahwa pihak tergugat maupun kuasa hukum tergugat tidak menghadiri sidang perdana ini. “Intinya, hingga saat ini kami tidak ada ‘deal’ dengan pihak Akurat. Saya sayangkan, pihak tergugat maupun kuasa hukum tergugat tidak menghadiri sidang pertama,” ungkapnya bersama timnya, Sukiratnasari dan Yogi Zul Fadhli.
Menurutnya, pihak manajemen PT Akurat Sentra Media tidak mematuhi panggilan pengadilan. “Ini menjadi catatan kami. Apakah pihak Akurat ini mau kooperatif atau tidak. Kalau memang tidak bisa menghadiri sidang, harapannya ya pihak tergugat atau kuasa hukumnya, segera menghubungi kami untuk bertemu membicarakan realisasinya bagaimana. Kalau tidak ya proses ini tetap berlanjut,” tegasnya.
Salah satu perwakilan eks jurnalis Akurat, Ahada Ramadana mengatakan, kasus ini bermula pada 20 Desember 2022. Ketika itu, manajemen Akurat dari Jakarta melakukan kunjungan ke Yogyakarta. Manajemen memberi target produksi 200 berita/artikel per hari bagi tim “Akurat Jogja” yang terdiri 8 penulis dan 4 asisten redaktur. Seluruhnya berstatus karyawan kontrak (PWKT), hanya kepala biro yang karyawan tetap (PKWTT).
“Bayangkan, dalam sehari, reporter berkewajiban membuat kurang lebih 25 artikel dan asisten redaktur mengedit 50 artikel/berita per hari. Ini sangat tidak masuk akal,” ujar Ahada.
Bila rata-rata waktu produksi meliputi mencari bahan, menulis, mengunggah content management system (CMS) 1 jam untuk 1 berita, maka penulis akan bekerja selama 25 jam sehari tanpa istirahat.
“Tuntutan target ini tentu saja berimbas terhadap kualitas artikel. Maka dari itu, kami menegosiasi jumlah artikel yang harus ditulis. Dalam proses negosiasi itu, kami justru mendapat kabar pemecatan melalui Kepala Biro Jogja pada 3 Januari 2023,” ungkapnya.
Dian Dwi Anisa, eks karyawan Akurat yang lain, menambahkan kabar pemecatan terhadap 12 personel Akurat Jogja tersebut disampaikan oleh Kabiro Jogja. Baru pada 11 Januari 2023, pihak Akurat Jakarta menyampaikan pemecatan secara daring melalui Zoom.
Dalam pertemuan Zoom tersebut, lanjut Dian, karyawan Akurat Jogja meminta surat PHK. “Ketika saya minta langsung surat PHK ke manajemen Jakarta, mereka memang tidak berkenan memberikannya. Kami di-PHK tanpa surat PHK, cuma paklaring. Alasan pemecatan juga tidak jelas. Kontribusi 4,5 tahun ditawari pesangon hanya 1 x gaji dengan pertimbangan ‘sesuai kemampuan perusahaan’. Tentu saja kami menolak,” katanya.
Lebih lanjut, kata Dian, terdapat satu poin dalam surat kontrak kerja yang merugikan karyawan, yakni Pasal 12 Ayat 7, yang intinya memuat bahwa karyawan tidak berhak mengajukan tuntutan, klaim, gugatan atau permintaan ganti rugi/kompensasi dalam bentuk apapun kepada perusahaan.
“Kami mengecek di kontrak kerja ada poin bahwa karyawan dilarang menuntut perusahaan. Setelah kami konsultasikan ke Disnaker, poin itu batal demi hukum,” katanya.
Selain tidak diberikan pesangon, lanjut Dian, hak lain yakni Tunjangan Hari Raya Keagamaan pada 2020 baru dibayar setengah upah kepada delapan pekerja. Mereka menjanjikan pelunasan pada akhir 2020, tetapi hingga sekarang belum ada pelunasan THR.
Koordinator Divisi Advokasi, Gender dan Kelompok Minoritas AJI Yogyakarta, Nur Hidayah Perwitasari mengatakan kasus PHK sepihak yang menimpa 12 wartawan di PT Akurat Sentra Media ini menjadi preseden buruk bagi dunia pers di Indonesia.
“Target produksi berita yang tidak masuk akal itu tentu saja merusak kualitas jurnalistik. Industri media harus fair, tidak boleh ada eksploitasi pekerja media di balik ruang redaksi,” tegasnya.
Dikatakannya, PHK bisa saja dilakukan oleh perusahaan. Namun proses PHK tersebut harus sesuai dengan aturan yang ditetapkan Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan.
“LBH Pers Yogyakarta bersama AJI Yogyakarta memperjuangkan hak para jurnalis. Hak-hak pekerja harus diberikan. Para pekerja media ini menjadi korban media yang tidak profesional,” katanya.
Wita juga mengingatkan agar perusahaan media taat hukum. Apabila perusahaan tidak memenuhi kewajibannya membayarkan hak pekerja seperti upah, pesangon maupun Tunjangan Hari Raya (THR), tentu ada konsekuensi sanksi.
“Ini menjadi catatan yang akan kami teruskan ke Kementerian Tenaga Kerja maupun ke Dewan Pers. Kami mendesak agar ada sanksi berat bagi perusahaan media yang melakukan pelanggaran ketenagakerjaan dan tidak taat hukum. Mulai dari teguran, pencabutan izin hingga sanksi penutupan perusahaan,” tegasnya. (*)
Narahubung:
Divisi Advokasi Gender dan Kelompok Minoritas AJI Yogyakarta (+62 857-2944-4900)