Pewaris Darma di Tanah Leluhur

“Sekapur sirih dalam cerano…
Kami sajikan kepado yang mulyo
Smugo bapak serto rakyatnyo…
Aman dan makmur sepanjang maso”

Syair lagu Sekapur Sirih karya Marzuki Lazim baru saja didendangkan pemuda Desa Muarajambi beramai-ramai. Sebagai penanda latihan teater topeng sore itu, Kamis, 27 September 2018 selesai. Beriring matahari semakin terbenam ke Barat, lantunan selawat di Masjid terdengar nyaring, isyarat waktu Magrib hampir tiba.

Abdul Haviz bergegas mengemas perangkat latihan menaiki tangga rumah. Kawanan pemuda yang lain serentak meninggalkan halaman rumah tempat mereka latihan. “Saya mau mandi dulu. Siap-siap ke Masjid,” kata Abdul Haviz atau lebih sering disapa Ahok.

Sekejap, Ahok sudah mengenakan kopiah hitam, kemeja putih dan kain sarung warna coklat. Menuju Masjid Nurul Yaqin, Ahok menunaikan ibadah di waktu pergantian siang ke malam. “Salah satu Masjid di desa kami ini pembangunannya dibantu umat Buddha. Masjid Minhajussalam di RT 04,” kata Ahok pulang dari Masjid berjalan menuju rumahnya.

Ahok merupakan tokoh Pemuda Desa Muarajambi, Kabupaten Muarojambi, Jambi. Sejak kecil mengabdikan diri di kampung kelahirannya untuk menjaga warisan leluhur, yaitu Kawasan Candi Muarajambi. Bersama belasan pemuda desa, mereka menjadi pemandu ibadah umat Buddha di kawasan Candi Muarajambi.

Meski 700 Kepala Keluarga di Desa Muarajambi beragama Islam, hubungan dengan umat Buddha yang melakukan ibadah di Kawasan Candi Muarajambi berlangsung harmonis. “Rumah saya juga sering menjadi tempat Biksu menginap,” kata Ahok memulai cerita di ruang tamu, rumah panggung kayu kediamannya, RT 06 Dusun Sungai Melayu, Desa Muarajambi.

Ahok mengenang awal dirinya dipercaya umat Buddha menjadi pemandu ibadah di Kawasan Candi Muarajambi. Bermula dari aktivitas menjaga kawasan Candi Muarajambi bersama pemuda desa. Mereka mendampingi umat Buddha yang ingin melakukan ibadah di sebelas candi yang sudah dipugar.

Waktu itu, mereka hanya menunjukkan dimana lokasi candi paling Timur dan Barat. Belum sampai kepada ritual ibadah. Ketika perayaan Waisak tahun 2007, Ahok berkenalan dengan Biksu-biksu. Sampai bertemu dengan Budiharto dan Hidayat, tokoh umat Buddha Jambi yang aktif dalam serangkaian kegiatan ibadah di kawasan Candi Muarajambi.

“Pak Budi ini sudah meninggal. Dia banyak mengajarkan saya mengenai cara ibadah umat Buddha di Candi Muarajambi,” kenang Ahok.

Waisak tahun 2008, Ahok makin sering bertemu Biksu-biksu. Semakin banyak dirinya mendapat pengetahuan dan pelajaran dari pertemuan itu. “Umat Buddha ramai datang ke kawasan Candi Muarajambi ketika mendekati hari raya Waisak dan Asadha,” kata pria berusia 40 tahun ini.

Hubungan baik terjalin, Ahok akhirnya dipercaya umat Buddha yang tidak bisa datang ke Candi Muarajambi untuk mewakili pemasangan dupa, kembang dan buah-buahan di beberapa titik kawasan Candi Muarajambi. “Selain bertanya, saya juga belajar sendiri dengan membaca buku-buku yang berkaitan dengan umat Buddha,” ungkap bapak tiga anak ini.

Sampai pada perjumpaan Ahok dengan Tanzin Dakpa (Tashila), guru upacara Tantra Wihara Namgyal, Tibet, ketika berkunjung ke Candi Muarajambi pertengahan 2012. Selama lima hari, Tashila yang juga orang kepercayaan Dalai Lama, menginap di rumahnya, dan banyak pelajaran yang didapatkan Ahok. “Pesan Tashila yang selalu saya ingat adalah selalu berbuat Darma, berbuat kebaikan kepada semua makhluk,” kenang Ahok.

Sepulangnya Tashila dari Candi Muarajambi, kunjungan Biksu dari Tibet semakin ramai. Ahok mendengar dari beberapa Biksu yang datang, bahwa Tashila berpesan, Ahok dan pemuda Desa Muarajambi adalah Pewaris Darma. Karena, menjaga warisan leluhur dan menjaga nilai-nilai kebaikan yang hidup dimasanya, dan saat ini menjadi Kawasan Cagar Budaya Candi Muarajambi.

“Ini juga menjadi alasan mengapa umat Buddha yang beribadah ke sini (candi Muarajambi), percaya kepada kami untuk memandu ibadah mereka,” katanya.

Ketika mendampingi umat Buddha beribadah, Ahok biasanya yang akan menunjukkan ibadah Sidhayatra, perjalanan suci dengan mendatangi situs yang ada di kawasan Candi Muarajambi. Sampai menunjukkan candi mana yang didatangi untuk melakukan ibadah pembacaan Kitab Parita, Pradaksina hingga Meditasi. “Biasanya mendampingi yang baru pertama kali ke sini,” ujarnya.

Walaupun menjadi pemandu ibadah umat Buddha, Ahok dan kawan-kawan tidak khawatir akan mengurangi kadar keimanan yang mereka percayai. Apalagi dianggap bakal pindah agama. “Warga desa sudah paham betul kalau yang kami lakukan untuk tujuan baik. Sekali lagi, jika niat kita baik dan ikhlas, maka kebaikan juga yang akan kita dapatkan,” ungkapnya.

Toleransi Saat Waisak dan Ramadan Bersamaan

Keharmonisan antara masyarakat Desa Muarajambi dengan umat Buddha kata Ahok bukan hanya ucapan di mulut saja. Itu terbukti pada perayaan Waisak tahun 2018. Waisak digelar pada bulan Ramadan. Saat umat muslim menjalankan ibadah puasa dan tarawih. Saling menghormati dan menghargai terihat sekali ketika itu.

“Perayaan Waisak dimulai siang hari, dan masyarakat desa membantu persiapan ibadah Waisak. Ketika waktu berbuka puasa, umat Buddha menyiapkan makanan berbuka kepada umat Muslim yang hadir dan terlibat pada perayaan Waisak,” jelas Ahok.

Pada malam harinya, ketika detik-detik Waisak berlangsung, warga Desa Muarajambi sedang melaksanakan ibadah Tarawih dan Tadarusan. “Satu sama lain tidak saling menganggu. Dengan cara, di Candi tidak mengeraskan suara sound system. Begitu juga di Masjid, tidak mengeraskan suara speaker Masjid. Masing-masing bisa menjalankan ibadahnya dengan baik,” kenang Ahok sambil tersenyum.

Saat ini, Ahok mengajak pemuda Desa Muarajambi berupaya sebaik mungkin menjaga kawasan Candi Muarajambi. Bukan hanya menjaga fisik candi saja, namun nilai-nilai kebaikan yang pernah dipelajari berabad-abad lalu di kawasan ini. “Saya selalu bilang ke pemuda. Selalu berbuat baik (darma) tanpa harus mengharapkan sesuatu dari kebaikan itu. Karena kebaikan pasti akan dibalas dengan kebaikan,” jelasnya.

Tidak hanya mendampingi umat Buddha dari tanah air saja, Ahok juga sering memandu ibadah umat Buddha yang datang dari India, Sri Lanka, Tibet, Bangladesh, Kamboja, Thailand, dan Myanmar. “Semoga kebaikan dan doa-doa yang dipanjatkan di sini, memberikan manfaat yang baik kepada desa kami,” ujarnya.

Terpisah, Rudy Zhang, Ketua Perkumpulan Umat Buddha Jambi, mengamini keindahan toleransi umat beragama di kawasan Candi Muarajambi. “Bukan cuma dengan bang Ahok dan kawan-kawan. Tapi, masyarakat Desa Muarajambi benar-benar menunjukan sikap toleransi yang tinggi dengan kami umat Buddha yang melakukan ibadah di sana,” terangnya kepada Jambipro.com di kantornya, kawasan Talangbanjar, Kota Jambi, Senin, 1 Oktober 2018.

Menariknya, kata Rudy, pemuda Desa Muarajambi yang terlibat menjadi pemandu ibadah umat Buddha, lebih banyak tahu bagaimana ritual ibadah di Candi Muarajambi. Karena, umat Buddha yang datang berasal dari berbagai negara dan aliran. “Mereka memahami sekali proses ibadah dari setiap aliran umat Buddha. Pemahaman teman-teman di sana sangat luas mengenai agama Buddha,” katanya.

Umat Buddha kata Rudy sangat menikmati keindahan toleransi yang ada di Desa Muarajambi. “Kedamaian seperti ini harus selalu terjaga di tengah masyarakat,” harapnya.

Sementara itu, Kepala Desa Muarajambi, Abu Zar AB, mengakui jika warga desanya memiliki karakter terbuka terhadap tamu yang datang. Sehingga, warga desa tidak pernah mempermasalahkan ibadah yang dilakukan umat Buddha di Candi Muarajambi. “Pemerintah desa selalu memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk menyambut tamu di desa ini dengan baik. Alhamdulillah, sampai sekarang, desa kami tetap aman dan nyaman bagi siapapun yang datang ke sini,” jelas Kades yang biasa dipanggil Datuk.

Keterbukaan warga Desa Muarajambi tertanam dalam pepatah adat yang dipatuhi warga dalam kehidupan sehari-hari. Pepatah adat mengatakan “dimano bumi di pijak, di situ langit dijunjung, dimano tembilang dicacak di situ tanaman tumbuh” sebagai penanda bahwa pendatang telah menjadi bagian dari masyarakat, diterima dan diperlakukan layaknya penduduk asli.

Namun, diakui Kades, tidak banyak pendatang yang menetap di desanya. Sehingga, sangat mudah mengenali pendatang yang menetap di Desa Muarajambi. “Kami akan melihat aktivitas pendatang di sini. Jika kegiatannya mencurigakan dan menganggu keamanan desa, maka akan kami datangi dan menanyakan aktivitas mencurigakan itu,” jelas Datuk Kades di kediamannya, Kamis, 27 September 2018.

Dari data Badan Pusat Statistik Indonesia Sensus tahun 2010, persentase penduduk berdasarkan agama di Provinsi Jambi, pemeluk agama Islam 95,41 persen, Kristen 2,66 persen, Katolik 0,43 persen, Hindu 0,02 persen, Buddha 0,97 persen, Konghucu 0,05 persen, tidak jawab 0,01 persen, dan tidak ditanya 0,45 persen. Data ini diambil dari jumlah penduduk Provinsi Jambi 3.092.265 jiwa.

Sejarah Kebudayaan Cagar Budaya Candi Muarajambi

Dari data Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi, sejarah kebudayaan Cagar Budaya Muarajambi merupakan sebuah rangkaian yang erat berhubungan dengan keberadaan Suarnadwipa atau pulau emas yang merujuk pada Pulau Sumatera. Pada masa lalu Pulau Sumatera merupakan daerah tujuan suku-suku bangsa di kepulauan nusantara maupun bangsa asing seperti India dan Tiongkok untuk melakukan kontak dagang, urusan keagamaan, budaya dan politik.

Daerah-daerah di Sumatera yang secara aktif melakukan hubungan dengan bangsa asing antara lain Aceh, Barus, Palembang termasuk Jambi. Informasl tertua hubungan orang asing dengan daerah Jambi ditemukan pada Naskah Berita Dinasti Tang (618-906 M) yang menyebutkan kedatangan utusan Mo-Io-yeu ke Cina pada tahun 644 M dan 645 M.

Pendeta Buddha I-Tsing pada tahun 672 M ketika melakukan perjalannya ke Nelanda India untuk memperdalam ajaran Buddha, menyempatkan selama 2 bulan di Mo-Io-yeu untuk memperdalam Bahasa Sansekerta.

Ketika kembali dari India dikatakan Mo-Io-yeu tahun 692 telah menjadi bagian Shih-Ii-fo-shih (Sriwijaya). Suatu keadaan yang ditafsirkan terkait erat dengan Prasasti Karangberahi (686 M) yang ditemukan di wilayah Jambi hulu.

Berita Tiongkok selanjutnya juga menyebut pada tahun 853 dan 872 menyebut kedatangan misi dagang dari Chan-pi atau Pi-chan. Berita Dinasti Sung (960-1279 M) menyebutkaan bahwa Chan-pi merupakan tempat bersemayamnya Maharaja San fo-tsi (Sriwijaya), rakyatnya tingggal pada rumah-rumah panggung di tepi sungai, sedangkan raja dan para pejabatnya bermukim di daratan.

Sekitar awal abad ke-11 Masehi, Chan-pi menobatkan raja di negerinya sendiri dan mengirim utusan ke Cina pada tahun 1079, 1082, serta 1088 M sebagai pemberitahuan bahwa Chan-pi telah menjadi negeri yang berdaulat.

Penyebutan nama Jambi yang dalam ejaan Tiongkok disebut Chan-pi yang sudah dimulai sejak abad ke-7 M dan masih disebut-sebut sampai abad ke-11 M rupa-rupanya juga didukung dengan temuan Kawasan Cagar Budaya Muarajambi.

Para ahli memperkirakan Kawasan Cagar Budaya Muarajambi merupakan peninggalan kerajaan berlatarbelakang kebudayaan agama Buddha Mahayana yang telah berkembang di Sumatera dari abad VII-XIII Masehi. Penelitian arkeologi pada bangunan-bangunan bata seperti di Candi Tinggi, Candi Gumpung, Candi Astana, Candi Kembarbatu, Candi Gedong l, Candi Gedong II, Candi Tlnggi l. Candi Kedaton, Candi Teluk, Kata Mahligal, dan Kedaton dan beberapa reruntuhan bangunan kuno lainnya (menapo).

Di Candi Gumpung pernah ditemukan sebuah arca Prajnaparamita. Arca ini mirip dengan arca yang ditemukan di Jawa yang bergaya Singhasari berasal dari sekitar abad ke-13 Masehi. Di Candi ini juga pernah ditemukan kertas emas. Berdasarkan bentuk aksara pada kertas emas diperkirakan berasal sekitar abad ke-9 sampai 10 Masehi.

Sementara itu, di sekitar kawasan cagar budaya ini banyak pula ditemukan pecahan keramik Cina yang sebagian besar berasal dari masa Dinasti Song (abad 10 Masehi), Dinasti Yuan (abad 13 Masehi) dari masa yang lebih tua, yaitu Dinasti Tang (abad ke-8 sampai 9 Masehi). (Ramond EPU)

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts