KILAS JAMBI – Dalam kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) tidak hanya dikenal dengan eksotiknya kehidupan Orang Rimba atau Suku Anak Dalam (SAD).
Baru ditemukan air terjun berundak setinggi 30 meter. Panorama air terjun di bawah rindang pepohonan terasa sejuk dan asri.
Air Terjun Telentam pertama itu hanya tiga meter. Undakan selanjutnya sekitar 10 meter dan paling atas tingginya lebih dari lima belas meter.
Akar pepohonan yang menggelayut di bibir air terjun menambah kesan alami. Tampak pula batu-batu cadas menambah eksotik air terjun.
Meskipun debit airnya sedikit di musim kemarau. Pengunjung masih bisa mandi dan bermain air.
Di sela-sela pohon dibangun tujuh titik tempat swafoto dan tiga unit rumah pohon.
Jarak air terjun dari pinggir Desa Lubuk Jering, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun hanya sekitar 3,3 kilometer.
Pengunjung yang membawa sepeda motor, bisa langsung masuk sampai di lokasi air terjun. Sedangkan yang menggunakan mobil, bisa memanfaatkan jasa ojek motor dengan biaya Rp15 ribu per orang.
Untuk masuk ke kawasan objek wisata air terjun Telentam, tidak dipungut biaya alias gratis. Pengunjung hanya membayar ongkos parkir sebesar Rp10 ribu/motor.
“Tidak dipungut biaya masuk. Cuma bayar parkir Rp10 ribu untuk satu motor,” kata Aan Indrawan Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Lubuk Jering, saat kilasjambi.com berkunjung ke lokasi, Minggu (13/9/2020).
Dia menjelaskan pengelolaan air terjun dilakukan oleh pemuda yang peduli dengan lingkungan. Dengan dibukanya wisata air terjun, akan mencegah terjadi pembalakan liar di TNBD.
Pembukaan wisata air terjun ini, telah disetujui oleh pengelola TNBD. Artinya pemuda desa bermitra dengan pemerintah, untuk bersama-sama merawat hutan.
Selain itu, pengunjung bisa menikmati keindahan air terjun, melakukan swafoto, kemah maupun makan-makan di lokasi.
“Kita selalu ingatkan ke pengunjung, untuk tidak merusak, dengan membuang sampah sembarangan di lokasi air terjun,” kata Aan menjelaskan.
Jumlah pengunjung saat dibuka perdana, saat lebaran empat bulan lalu, cukup antusias. Selama empat hari, jumlahnya lebih dari 1.000 pengunjung.
“Sekarang sudah cukup terkenal. Ada yang datang dari Jambi, Sarolangun, Merangin dan Batanghari,” kata Aan bangga.
Mitos Batu Besumpah
Selain terkenal dengan keindahan air terjun, mitos batu besumpah juga menjadi magnet bagi pengunjung.
Batu besumpah menurut cerita orang-orang tua, kata Aan, terjadi pada zaman kerajaan. Ada dua orang sedang berseteru, memperebutkan hutan Bukit Duabelas.
Perseteruan yang tidak menemui jalan damai ini, selangkah lagi akan terjadi perperangan dan pertumpahan darah.
Kondisi yang kian memanas, sampai ke telinga si Pahit Lidah. Maka dia pergi ke hutan Bukit Duabelas, berencana untuk mendamaikan.
Cilakanya, di hadapan si Pahit Lidah, dua orang ini tetap berseteru. Maka keluarlah sumpah, “kalian ini kalau sudah jadi batu, baru tidak akan ribut lagi.”
Kedua orang yang ribut berubah menjadi batu. Tidak jauh dari lokasi air terjun, ada batu besar yang menyerupai ‘manusia’ sedang berjabat tangan.
Mitosnya, kalau orang pergi ke batu besumpah, akan menjadi pemimpin yang adil dan dapat menjadi hakim yang bijaksana. Mudah memutuskan perkara-perkara yang rumit. (Swd)