Jon Afrizal*
Terlalu dini! Begitu banyak orang berkesimpulan terhadap judul essay ini. Ok, segera gabungkan data dan fakta yang anda punya, dan mari perbandingkan, dan bukan dipertentangkan.
Sebelum terjadi batas provinsi, kabupaten/kota, sebelumnya, ada Swarnadwipa, dan Kedatuan Sriwijaya. Lalu, ada penamaan Kesultanan Jambi. Kemudian, (provinsi) Sumatera Tengah, dan terakhir, Provinsi Jambi.
Dan, ada juga usulan Jambi (wilayah) Barat, dan Jambi (wilayah) Timur sejak awal 2000-an. Hingga kini, masih digaungkan.
Sebelumnya, Kabupaten Kerinci bergabung dengan Sumatera Barat. Kini, telah menjadi Kabupaten Kerinci dan Kota Sungaipenuh.
Lalu, Kabupaten Sarolangun Bangko (Sarko) menjadi Kabupaten Sarolangun dan Merangin. Kabupaten Batanghari menjadi Kabupaten Batanghari dan Muara Jambi. Kabupaten Bungo Tebo (Bute) menjadi Kabupaten Bungo dan Tebo. Serta Kabupaten Tanjung Jabung menjadi Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur.
Apa yang kita lihat ini adalah korelasi antara penguasa dan keputusan politiknya di masyarakat, dari jaman ke jaman. Mungkin, saja, orang akan berkata, “Politik itu dinamis”.
Tetapi, selalu ada yang statis di dalam setiap kedinamisan. Harus ada yang tak akan pernah berubah seiring waktu yang berjalan.
Seperti Dharmasraya yang seolah terlupakan seiring gundukan-gundukan candi semasa Adityawarman. Kini, kita kembali menoleh jauh ke belakang sejarah, dan berhenti di titik itu; Dhamasraya telah menjadi kabupaten.
Seperti penyebutan kata “simpang” yang kita paksa untuk diubah menjadi pertigaan dan perempatan. Sebentar, sebentar dulu. Anda sendiri akrab dengan nama itu? Jika anda terbesarkan di wilayah yang dulu disebut Sumatera Tengah?
Di Kota Padang Provinsi Sumatera Barat, terdapat “simpang lima” dan “simpang enam”. Yakni pertemuan antara sekian banyak ruas jalan.
Bagaimana jika diubah menjadi “perlimaan” dan “perenaman”. Ganjil? Itulah hal yang statis itu, dimana budaya berperan di arena perubahan sosial.
Kita acapkali melihat budaya atau adat istiadat hanya ketika acara perkawinan dan sejenisnya saja. Dan, melupakannya untuk tidak hadir di rapat dan keputusan politik, misalnya. Apapun yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh pemerintah adalah keputusan politik.
Seperti kebingungan terhadap penamaan “Pertigaan Sipin”. Sejak dari tahun 70-an ke bawah, masyarakat biasa menyebut “Simpang Tigo Sipin”. Di persimpangan itu, pada waktu itu, terdapat sejenis tugu yang terbuat dari rangkaian besi, yang berbentuk pohon, dan dihiasi lampu kerlap-kerlip.
Ke arah Sipin Ujung, baru saja dibangun Tugu Juang. Di sana, adalah tempat sejenis terminal truk jenis Datsun, yang akan mengangkut penumpangnya, di bak belakang yang terbuku, menuju kawasan Mayang, yang belum diaspal ter.
Hanya pertemuan tiga ruas jalan, dimana terdapat sebuah jalan setapak, yang berusaha bermuara ke pertemuan tiga ruas jalan tadi. Jalan itu, kemudian diperbesar menjadi lorong, atau, jika kita gunakan relasi politik yang sama dengan “pertigaan”, maka, harus kita sebut dengan “gang”.
Setelah itu, diubah menjadi jalan, yakni menuju kawasan “Pameran”, atau Sekolah Al-Falah saat ini. Disebut “Pameran”, adalah karena kawasan itu saban tahun digunakan untuk memamerkan berbagai kegiatan dinas pemerintah, militer dan usaha swasta, yakni di bulan Agustus untuk peringatan Kemerdekaan RI.
Kata yang digunakan adalah “Pameran” dan bukan “Fair”.
Persoalannya, kita hadapkan dengan keputusan politik yang, ehm, “Tentu Dihal”. Dikarenakan telah menjadi empat ruas jalan, harusnya, diubah saja jadi “Perempatan Sipin”. Ganjil? Lagi lagi ganjil.
Di belakang Terminal Rawasari menuju GOR Tri Lomba Juang, terdapat kawasan, dulu disebut kampung, Kebun Kelapo. Meskipun, sekarang kelapa di sana tak berkebun lagi, tetap saja, banyak yang menyebut “Kebun Kelapo”.
Bagaimana jika kita ubah – melalui keputusan politik -menjadi “Kebun Kelapa”? Atau gunakan istilah English biar lebih legit, yakni, “Coconut Plantation”? Ganjil?
Relasi keputusan politik tanpa sadar tidak memahami sebuah persoalan, seperti mengubah-ubah nama. Yang bertenturan dengan tradisi-adat-budaya.
Hingga kini, tidak ada yang mengubah nama kawasan Sungai Dareh, di sekitar ibukota Kabupaten Dhamasraya, menjadi Sungai Deras.
Atau, berdasarkan keputusan politik, bagaimana jika kita ubah “Nasi Minyak” menjadi “Nasi Kebuli”? Toh, keduanya ada kemiripan.
Atau, ke arah Simpang Pulai, disebut demikian karena di sana, dulu, tumbuh pohon Pulai, terdapat kawasan “Kebun Jeruk”. Kita ubah menjadi “Kebon Jeruk”?
Begitu juga dengan nama-nama jalan di Kota Jambi, yang bahkan, banyak orangtua yang kebingungan. Sebab, tidak tau peran mereka sebagai apa, dan kenapa namanya disematkan sebagai nama jalan.
Keputusan politik, tentu saja dari yang berkuasa. Namun setidaknya, orang banyak harus dilibatkan. Tidak cukup hanya sebuah gedung yang isinya politisi semua itu.
Buatlah pooling, misalnya, jika ingin mengubah sesuatu nama tempat. Dan, sebagai negara demokrasi, tentu harus menjaga keputusan bersama.
Tetapi, kita memiliki banyak ahli sejarah; baik itu di lembaga kampus, maupun perseorangan, seperti banyak orangtua yang sering dilupakan, namun mengalami dan memahami apa yang telah terjadi.
Sehingga, perubahan nama tempat tidak “Seradak Bebas” saja. Tetapi sesuai dengan apa yang patut disandang oleh daerah itu.
Padahal, ada sebuah landmark. Yakni tanda buat sebuah kota, yang kini terlupakan. Tanda itu disebut “Pos Besar”, atau pusat kantor pos untuk se-provinsi.
Pos Besar adalah titik 0 (nol) dari setiap kota. Dari Pos Besar, kemudian diukur ke daerah-daerah lainnya.
Mengubah nama, tentu mengubah apa yang tertulis di Pos Besar, peninggalan pemerintahan Belanda dulu.
Seperti “trayek” pesawat terbang dari luar, selalu menggunakan kode DJB, yang berasal dari kata Djambi. Dan, tidak bisa serta merta bisa kita ubah sesuai keinginan kita, seperti JBI, misalnya.
Namun, seperti banyak orang berkata, “Selalu ada yang tidak berubah dalam setiap perubahan. Yakni perubahan itu sendiri.”
* Jurnalis TheJakartaPost