Oleh Herma Yulis*
ORANG SERAMPAS mendiami lima desa yang berada di sekitar kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Kelima desa itu terdiri dari: desa Renah Alai, Rantau Kermas, Lubuk Mentilin, Tanjung Kasri, dan Renah Kemumu, yang masuk ke dalam wilayah Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi.
Penamaan Serampas merujuk pada wilayah eks marga Serampas. Namun, pasca pemberlakuan UU No. 5/1979, sistem pemerintahan marga yang ada di sejumlah daerah di Sumatra tak lagi berlaku. Meski begitu, komunitas masyarakat eks marga Serampas tetap mempertahankan jati diri sebagai Orang Serampas.
Dan di tengah gempuran modernisasi, Orang Serampas tetap berusaha merawat tradisi dan adat istiadat peninggalan para leluhur. Akan tetapi, mereka cukup lentur dalam menjalankan adat. Meski adat tetap dipakai tapi mereka tidak serta merta menolak kemungkinan adanya perubahan dari pengaruh luar.
Di samping memakai kata Serampas, penduduk setempat juga menggunakan istilah Serampeh untuk membedakan mereka dari kelompok yang lain. Beberapa tokoh masyarakat setempat menyebutkan bahwa perkataan Serampas berasal dari suku kata se dan ampu yang berarti sekelompok orang-orang sakti. Nenek moyang Orang Serampas yang paling dikenal adalah Nenek Sigindo Balak (di Tanjung Kasri) dan Nenek Tigo Silo (di Renah Kemumu).
Buku Orang Serampas, Tradisi dan Pengetahuan Lokal di Tengah Perubahan karya Bambang Hariyadi, memberikan gambaran lengkap mengenai kehidupan masyarakat Serampas. Buku ini sangat menarik dan bermanfaat bagi pembaca yang tertarik dengan topik mengenai budaya dan sumber daya alam.
Melalui penelitian yang mendalam, Bambang Hariyadi berhasil mengungkapkan nilai-nilai dan praktik pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat Serampas. Buku ini juga memberikan gambaran yang jelas mengenai kondisi geografi, demografi, sosial budaya masyarakat Serampas, serta memberikan pemahaman yang lebih luas mengenai kehidupan mereka.
Menurut Bambang Hariyadi, Serampas menyimpan banyak hal penting. Mengunjungi Serampas tak ubahnya seperti mengunjungi kawasan wisata yang masih alami dan belum dijamah para wisatawan. Serampas tidak hanya menarik dari aspek sejarah dan budaya, tetapi juga dengan keindahan alamnya. Di sana ada Grao Gedang, sumber air panas yang menyembur dari perut bumi. Grao tersebut tersebar di berbagai tempat, terutama di sekitar Renah Kemumu, termasuk Grao Nguak, Grao Gas, Kunyit, dan Grao Matahari. Keunikan sejarah, sosial budaya dan keindahan alam Serampas ini menjadi daya tarik bagi para peneliti untuk datang ke daerah itu. Baik peneliti lokal maupun peneliti dari negara luar.
Sistem Pemerintahan
Ketika sistem pemerintahan marga masih berlaku, pemerintahannya dikepalai oleh seorang Pamuncak. Pamuncak merupakan wakil pemerintah di level paling rendah. Gelar dan posisi Pamuncak ini kemudian menjadi bagian dari sistem adat Orang Serampas. Pimpinan adat tertinggi di Serampas bergelar Depati Sri Bumi Putih Pamuncak Alam. Dalam menjalankan tugasnya ia dibantu oleh seorang depati di masing-masing dusun yang sekaligus mengepalai dusun yang bersangkutan. Para depati tersebut adalah Depati Karti Mudo Menggalo (Renah Alai), Depati Singonegoro (Tanjung Kasri), dan Depati Pulang Jawo (Renah Kemumu).
Untuk menjadi seorang depati, seseorang harus mempunyai darah keturunan Serampas. Selain itu ia juga harus mendapat dukungan yang kuat dari masyarakat setempat. Pelantikan seorang depati, kepala kampung, dan pejabat dusun lainnya dilakukan bersamaan dengan perayaan kenduri psko. (hlm. 110-111)
Seiring berjalannya waktu, banyak pula perubahan dan pergeseran yang terjadi dalam kehidupan Orang Serampas. Perubahan yang sangat kentara adalah akses menuju pasar. Sekitar tahun 1800-an, akses pasar terdekat ada di Muko-Muko, Provinsi Bengkulu yang dicapai dengan berjalan kaki. Perubahan terjadi pada tahun 1960-an, Orang Serampas tidak lagi ke Muko-Muko, namun sudah beralih ke pasar kecil di Sungai Lalang. Selanjutnya pada 1990-an akses menuju pasar semakin dekat dengan dibukanya pasar di Danau Pauh yang sangat dekat dengan Renah Alai dan Rantau Kermas.
Perubahan lainnya yang sangat berpengaruh terhadap tatanan kehidupan tradisional masyarakat Serampas adalah kebijakan pemerintah yang menyamaratakan struktur pemerintahan di tingkat desa di seluruh Indonesia melalui UU N0.5/1979 yang lebih dikenal dengan Undang-undang Pemerintahan Desa. UU ini memperkenalkan sistem pemerintahan yang baru dan kurang mempertimbangkan bentuk-bentuk pemerintahan tradisional yang sudah ada dan telah lama diterapkan oleh sejumlah komunitas pribumi seperti halnya Serampas. (hlm. 112)
Meski saat ini lembaga adat tidak menempati posisi sentral dalam mengatur pemerintahan di tingkat desa, tapi keberadaan adat masih dapat dirasakan serta masih berperan dalam kehidupan sehari-hari. Salah seorang tokoh Serampas mengatakan, “tidak seperti peraturan pemerintah yang mudah berubah-ubah akibat pengaruh politik, adat akan tetap ada dan tidak mudah berubah selagi kami mendiami tanah Serampas”. (hlm. 124)
Secara keseluruhan, buku ini memberikan gambaran yang lengkap dan detail mengenai kehidupan masyarakat Serampas. Buku ini perlu dibaca untuk mengenal lebih dekat Orang Serampas. Selain dikenal dari sisi mistik, Serampas sebenarnya juga menyimpan sumber daya alam yang sangat melimpah. Buku ini juga bisa menjadi rujukan bagi para peneliti untuk memperkaya kajian yang selama ini sudah banyak dilakukan oleh para peneliti dari luar negeri. Demikian dan mari membaca.
Judul buku : Orang Serampas: Tradisi dan Pengetahuan Lokal di Tengah Perubahan
Penulis : Bambang Hariyadi
Penerbit : IPB Press
Tahun terit : Cetakan pertama, September 2013
Tebal : xx+187 halaman
*Herma Yulis, (pencinta buku, tinggal di Batanghari)
Tulisannya berupa cerpen, artikel, opini, esei, dan resensi buku pernah dimuat di koran Kompas, Koran Tempo, Nova, Suara Pembaruan, Seputar Indonesia (SINDO), Jurnal Nasional (Jurnas), Media Indonesia, Kedaulatan Rakyat, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Majalah Mata Baca, Majalah Medium, Jambi Independent, Minggu Pagi, Jurnal Seloko, Kilasjambi.com, dan Scientific Journal. Tahun 2016, bersama Puteri Soraya Mansur menerbitkan buku kumpulan cerpen Among-Among