Irwansyah (59) dan lima orang warga Desa Mekar Jaya, Kecamatan Kumpeh Ulu, Muaro Jambi, langsung berpatroli di lahan yang mereka garap. Mereka santer mendengar kabar kalau alat berat pihak perusahaan akan membongkar salah satu akses jembatan menuju kebun garapan warga.
Sejak siang itu sudah ada alat berat yang bekerja. Mereka khawatir, jika kabar itu benar, maka satu-satunya akses warga menuju kebun akan terputus. Jangan sampai jembatan yang dibangun dengan dana swadaya dari warga Desa Sumber Jaya itu dibongkar.
Alat berat jenis Long Arm sudah keluar satu kilometer dari batas perusahaan. Posisinya sudah memasuki lahan garapan warga dan sudah mendekat ke arah jembatan. Warga melihat alat berat itu dikawal oleh belasan pria bersenjata tajam yang diduga preman suruhan perusahaan.
Kemudian Irwan dan lima orang rekannya yang sedang berpatroli tadi mencoba mendekati alat berat. Sekitar pukul 20.00 WIB, ketika sedang patroli bersama, datang sekitar 18 orang dengan membawa senjata tajam berjalan mendekati mereka.
Irwan tak bisa mengenali wajah di balik sorotan cahaya yang menyilaukan mata. Tanpa sadar, orang-orang diduga suruhan perusahaan sudah mengelilinginya, semua dilengkapi senjata tajam.
Tak ada tegur sapa, sebuah benda tajam seketika mendarat di punggung pria berperawakan kecil itu. “Sepertinya parang karena semua membawa senjata tajam, kami dikepung malam itu,” kata Irwan.
Pria paruh baya ini merasa beruntung karena hanya bajunya saja yang sobek, senjata tajam itu tidak sampai menembus kulit dan hanya menyisakan goresan. Tak lama berselang, warga berdatangan. Gerombolan orang tak dikenal itu kemudian mundur.
“Mungkin karena kawan-kawan dari desa yang datang semakin ramai mereka mundur,” katanya.
Warga yang mengetahui peristiwa itu tersulut emosi, sebagian menutup paksa pagar besi yang menjadi akses utama. Dua jam berselang, sebuah truk pengangkut buah berjalan keluar mendekati pagar besi.
Truk berkelir kuning yang mengangkut 18 orang diduga preman suruhan perusahaan itu awalnya berjalan pelan. Tapi ketika warga meminta untuk berhenti, sopir menancap gas dan menabrak pagar besi.
“Warga yang ada di dekat situ berhamburan, ada yang loncat sampai meluk pohon sawit. Pagar besi pun dihantamnya, termasuk motor yang dipinggir-pinggir hancur,” kata Irwan mengenang kejadian di malam penghujung bulan Januari itu.
Aksi kejar-kejaran tak terelakkan. Dari desa Sumber Jaya, truk yang mengangkut orang-orang diduga bayaran perusahaan itu terus melaju. Mereka berusaha menghindar dari kepungan warga. Namun sampai di Desa Sungai Terap menuju Desa Tangkit Baru, truk terhenti karena terjebak jalan berlumpur.
Orang-orang di dalam truk itu langsung keluar berhamburan dan hanya membawa senjata tajam. Sementara baju dan bekal lainnya ditinggal begitu saja yang kelak menjadi barang bukti.
“Mereka masuk hutan itu pun masih dikejar tapi lolos. arahnya ke Desa Tangkit,” katanya.
Setelah persistiwa menegangkan itu, warga membuat laporan di Mapolda Jambi pada 2 Februari 2023. Irwan juga sudah divisum, baju di bagian punggungnya sobek. Ada memar bekas tusukan. Irwan beruntung karena senjata tajam itu tidak sampai menembus kulitnya.
Sudah lebih satu bulan lamanya, laporan warga terkait penyerangan petani yang tergabung Serikat Tani Kumpeh itu berlalu. Irwan yang menjadi kordinator Serikat Tani Kumpeh menjelaskan sampai sekarang belum ada progres laporan yang mereka layangkan ke polisi.
“Sudah sebulan lebih laporan kami buat, tapi sampai sekarang belum ada kabar sudah sejauh mana laporan itu diproses,” kata Frans Doddy Taruma Negara, Kordinator KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) Wilayah Jambi, Jumat (17/3/2023).
Satu hari setelah kejadian, pihak PT FPIL (Fajar Pematang Indah Lestari) memberikan klarifikasi. Dalam pemberitaan metrojambi.com, Ikbal Pulungan selaku kuasa hukum perusahaan membantah telah melakukan penyerangan terhadap warga.
Saat kejadian pada Rabu (1/2/2023), pihak perusahaan melakukan cuci kanal dengan menggunakan alat berat. Alasannya untuk memperlancar aliran kanal agar terhindar dari ancaman kebakaran lahan di musim kemarau.
Namun sekitar 10 orang warga datang berusaha menghentikan kegiatan alat berat. Perusahaan menuding warga membawa senjata tajam dan mengancam karyawan dan keamanan yang bekerja. Sempat terjadi perlawanan.
Karena terjadi keributan dan memancing warga lain berdatangan, pihak perusahaan berusaha mengungsikan 12 orang karyawan dan petugas keamanan dengan menggunakan truk terbuka, namun dihadang warga.
“Di situlah mobil berisi karyawan dan security menerobos pagar karena warga terus berdatangan,” ujar Ikbal. Pihak perusahaan juga kata Ikbal dalam keterangannya telah membuat laporan ke Polda Jambi.
Menelusuri Akar Konflik
Ketegangan konflik antara Warga Desa Sumber Jaya dengan perusahaan perkebunan sawit PT FPIL sudah berlangsung lama. Objek sengketa seluas 482 hektare itu adalah tanah desa Sumber Jaya, yang tahun 1960 lahan tersebut sudah digarap warga dan menjadi areal persawahan.
Setelah ada mufakat dari para petinggi adat marga Kumpeh Ulu yang berpusat di Arang-Arang, dari lahan persawahan ini ratusan ton padi dipanen oleh para petani setiap tahunnya.
Di lahan persawahan selepas musim banjir, banyak ikan terjebak. Menjelang musim tanam sawah itu digunakan oleh para petani untuk bekarang–tradisi menangkap ikan di sawah secara beramai-ramai menggunakan Lukah–alat tradisional menangkap ikan.
Tahun 1980 pemerintah kala itu Presiden Soeharto membangun irigasi untuk mengairi sawah milik masyarakat. Hampir setiap rumah tidak kekurangan beras.
“Dulu ketika masih aktif bersawah di lahan itu tidak ada warga yang beli beras, untuk lauk ikan tinggal tangkap di sungai, di lopak (anak danau),” kata Idra Iriadi.
Suasana desa yang tenteram dengan kecukupan bahan pangan seolah hanya berkelindan di dalam kenangan masa kecil Indra, seorang petani Desa Sumber Jaya. Ketika masih berseragam merah putih, dia sering ikut orang tuanya menangkap ikan di lopak dan mencari rotan di rawa-rawa gambut.
Puluhan lopak, danau kala itu masih bertebaran. Indra dan warga lainnya ketika itu sangat mudah untuk mencari ikan. Hasilnya untuk dijual maupun untuk sekadar kawan makan nasi.
“Sekarang sudah tidak bisa, lahan dikuasai perusahaan,” katanya.
Keceriaan masa kanak-kanak berubah seiring masuknya perusahaan. Tahun 1995 perusahan menggarap lahan sawah dan hutan desa. Tak ada aba-aba atau sosialisasi dasar hukum penguasaan lahan yang diketahui warga.
Saat itu perusahaan masih bernama PT Permata Tusau Putra–muncul menggarap lahan sawah warga. Perusahaan membangun kanal mengelilingi areal yang diklaim sebagai lokasi izinnya. Sawah pun dirusak. Tanahnya diuruk dan dibuat tanggul. Sehingga ketika kemarau air sawah yang tersisa ikut kering.
Irigasi yang dibangun juga rusak dan lahan diolah perusahaan. Proses pengerjaannya berlangsung hingga tahun 2001. Selanjutnya ditanami dengan sawit yang rakus akan air.
Sudah lama warga berteriak mencari keadilan. Namun, tak ada kejelasan. Mediasi berkali-kali tak juga menyelesaikan persoalan.
Karena merasa haknya dirampas, warga Desa Sumber Jaya pun akhirnya bersepakat untuk menduduki kembali lahan yang dirampas itu.
Sebanyak 273 warga desa membentuk Serikat Tani Kumpeh (STK). Tujuannya hanya satu, agar hak kelola lahan yang diklaim oleh perusahaan agar dikembalikan kepada warga. Di lahan yang dikuasai itu warga menanam pisang, dan komoditas sayuran-sayuran.
“Kalau sawah tidak bisa lagi karena lahan sudah rusak. Kalau musim kemarau kering, kalau penghujan banjir. Pihak perusahaan membuang air pakai pompa ke lahan sawah,” kata Rusdi.
Menurut Doddy, perusahaan perkebunan sawit itu muncul tanpa didasari HGU (Hak Guna Usaha). Dalam perjalanan pada tahun 2010 secara diam-diam, lahan yang awalnya dikuasai oleh PT PTP di-take over kepada PT FPIL (Fajar Pematang Indah Lestari). Warga baru tahu peralihan kepemilikan lahan pada tahun 2015.
Pergantian penguasaan lahan itu kian memperuncing konflik yang sudah ada. Tahun 2021, perusahaan melaporkan warga dalam kasus tindak pidana. Upaya kriminalisasi ini terus berlanjut.
Pada tahun 2022, Bahusni, Ketua Serikat Tani Kumpeh digugat secara perdata. Dalam persidangan itu warga baru tahu kalau ternyata selama ini pihak perusahaan tidak memiliki HGU di desa Sumber Jaya.
“Sudah jelas itu diakui sendiri oleh pihak perusahaan di persidangan Bahusni, kalau mereka (perusahaan) tidak memiliki HGU di desa Sumber Jaya,” kata Frans Doddy, Koordinator KPA.
Hasil pertemuan dengan BPN Provinsi Jambi juga menyatakan seluas 340 hektare lahan warga yang ditanami sawit oleh PT FPIL tidak memiliki dokumen HGU. Itu termasuk lahan cetak sawah bagi masyarakat desa Sumber Jaya juga dikuasai dan digarap perusahaan.
Padahal sudah dua dekade, pihak perusahaan menguasai dan memanen hasil buah sawit dari lahan yang dikuasai secara ilegal. Berdasarkan SK nomor 41/HGU/BPN/2008 dan sertifikat nomor 46 tahun 2008, izin lokasi berada di desa Teluk Raya seluas 1.200 hektare.
Tim Pansus DPRD Provinsi Jambi juga sudah menyatakan agar lahan tersebut dikembalikan kepada warga desa Sumber Jaya. Namun sampai saat ini belum ada tindak lanjut.
Menurut Frans Doddy, sangat disayangkan tindakan represif yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Mengingat kasus ini sudah masuk dalam 30 daerah objek reforma agraria untuk penyelesaian konflik yang telah disetujui Presiden Joko Widodo.
“Tapi sangat disayangkan, yang terjadi malah kriminalisasi dan intimidasi terhadap warga desa. Petani sengsara,” kata Frans Doddy.
Hilangnya Danau dan Sumber Air
Suasana di desa itu kini sudah berubah sejak konflik lahan berlangsung. Hampir setiap bulan warga desa Sumber Jaya harus merogoh kocek untuk membeli beras.
Padahal desa ini dulunya termasuk penghasil beras. Hampir setiap kepala rumah tanga menggarap sawah. Tapi sekarang tidak lagi, sejak lahan persawahan beralih fungsi menjadi areal perkebunan kelapa sawit.
Para petani tak bisa lagi menanam padi di sawah. Sementara ada yang tetap bertahan mengolah sawah, tapi jumlahnya bisa dihitung jari.
“Akses air sudah dikuasai perusahaan. Sekarang cuma sekitar lima kepala keluarga yang masih bertahan itu pun lebih sering gagal panen karena lahan sering banjir, kalau kemarau kering,” kata Fauzi, warga desa Sumber Jaya.
Jauh sebelum perusahaan perkebunan masuk, warga desa Sumber Jaya tak perlu keluar desa untuk mencari pekerjaan. Bentangan alam yang kaya menyediakan segala yang mereka butuhkan.
Ketika musim banjir air akan masuk membawa ikan ke lopak, buluran atau danau. Setelah banjir berlalu warga mulai berburu ikan. Hasilnya cukup untuk membiayai sekolah anak.
Peraturan adat masih dapat dijalankan dengan baik. Tujuannya agar keberlangsungan sumber alam terjaga.
“Kalau mau buka sawah tidak dilarang, ada aturan yang harus dipegang. Lahan dari desa hanya untuk warga dan tidak boleh diperjual belikan,” kata Fauzi.
Termasuk mengambil kayu di hutan desa pun dilarang. Ada yang boleh ditebang dan ada yang tidak. Kalau pun ditebang hanya dibolehkan untuk kebutuhan membangun rumah.
Begitu juga dalam mencari ikan, semua diatur oleh hukum adat. Tidak diperbolehkan menggunakan alat tangkap jala dan setrum karena dianggap merusak.
Ketika musim kemarau, warga khususnya kaum perempuan memanfaatkan rotan dan rumbia untuk membuat atap, anyaman dan ambung. Mereka juga dulu membuat alat tangkap ikan untuk dijual ke pasar.
“Waktu kecil kami sering diajak orang tua mencari rotan dan ikan. Bekarang di sawah tapi sekarang tidak ada lagi,” kata Fauzi.
Tradisi membuat kerajinan dari rotan dan menangkap ikan sudah sulit dilakukan. Menurut warga, banyak sumber air dan tempat bersarangnya ikan telah hilang ditimbun lalu ditanami sawit.
Fauzi mencatat setidaknya ada 6 buluran (danau) di desa Sumber Jaya yang kini hilang dan diuruk untuk ditanami sawit. Ke-enamnya adalah; Buluran Kangkung, Teras Bako, Buluran Tumpah, Air Hidup, Pematang Tengah, dan Buluran Melintang.
Belum lagi lopak yang ukurannya lebih kecil dari danau, anak sungai, dan hutan tempat mencari rotan, rumbia dan tanaman lain yang menjadi sumber perekonomian juga hilang.
Situasinya kini sudah berubah. Di sana cuaca lebih panas ketika musim kemarau dan tanah mudah retak. Di Desa Sumber Jaya sendiri ada empat perusahaan yang menguasai lahan. Warga desa tak bisa berbuat banyak di tengah impitan tanaman monokultur.
Memang sulit untuk mengembalikan fungsi danau dan hutan yang sudah hilang. Di tengah kriminalisasi dan intimidasi itu, warga kaum tani masih menaruh harapan agar lahan mereka dikembalikan untuk keberlangsungan hajat hidup anak cucu mereka.
“Kami cuma minta satu, agar lahan kami yang dirampas perusahaan dikembalikan karena itu hak kami,” ujar Fauzi.
(Dedy Nurdin)