KILAS JAMBI – Aktivis Beranda Perempuan Jambi, Ida Zubaida menilai korban kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak dan perempuan belum mendapatkan keadilan.
Menurut catatan UPTD Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA) Provinsi Jambi, jumlah kekerasan terhadap anak dan perempuan per Juni 2020 mencapai 99 kasus.
“Jumlah pencabulan itu ada 29 kasus. Sudah kita dampingi masuk ke ranah hukum. Tapi selesai baru 1 kasus,” kata Asi Noprini, Kepala UPTD PPA Jambi, Jumat (24/7).
Dia mengatakan kasus kekerasan dan pelecehan seksual pada anak meningkat selama pandemi. Kekerasan kepada anak 41 kasus. Sementara pelecehan seksual ada 29 anak.
Lebih rinci, Asi menjelaskan untuk kekerasan pada perempuan itu 28 kasus dan pelecehan seksual 1 kasus. Tahun sebelumnya jumlah kekerasan pada anak 79 kasus dan pelecehan seksual 40 anak. Sedangkan untuk perempuan yang mengalami kekerasan sebanyak 72 kasus dan 2 orang mengalami pelecehan seksual.
“Kita terus dorong agar korban mendapatkan keadilan. Hanya saja koordinasi dan pemahaman responsif anak belum dipahami secara sempurna oleh orang per orang dalam menyelesaikan kasus anak,” kata Asi menjelaskan.
Sementara itu, Ida Zubaida aktivis perempuan dan anak mendorong agar terciptanya proses peradilan yang ramah anak.
Dia mengatakan bercermin dari kasus pencabulan yang pernah didampingi Beranda Perempuan. Budaya hukum kita masih permisif terhadap hak anak sebagai korban.
“Kita berharap aparat penegak hukum lebih cermat dan lebih berhati-hati dalam menangani perkara anak. Sehingga proses peradilan yang ramah anak bisa dipatuhi dengan baik,” kata Ida lagi.
Peradilan yang ramah anak, kata Ida membantu anak dalam pemulihan trauma. Selanjutnya, segala bentuk kekerasan yang dialami anak dimana pelakunya orang dewasa. Hendaknya tidak terpaku dan kaku menerapkan hukum dan pembuktian.
“Apapun bentuk kekerasan yang dialami anak, tidak perlu dibuktikan. Karena tidak ada persetujuan seksual pada anak,” kata Ida lagi.
Selanjutnya, unsur relasi kuasa harus menjadi kunci dalam mempertimbangkan perkara anak dimana pelakunya orang dewasa.
“Penyebab sulitnya mendapatkan keadilan karena masih langgengnya budaya hukum yang permisif terhadap anak sebagai korban kekerasan, dan penegak hukum kaku hanya fokus pada penghukuman saja,” tutup Ida. (swd)