Ilmu Nasi Minyak

Kelompok Marhaban di Jambi Kota Seberang sedang latihan membaca Barjanzi, foto: Thayib

Nak, kalu kau ndak supayo biso makan nasi minyak setiap Minggunyo. Belajar lah ilmu nasi minyak..!!

Muhammad Thayib*

Demikian kira-kira ucapan ayah, yang masih terekam jelas dalam ingatan ku lebih dari 30 tahun yang lalu. Ucapan yang diterjemahkan sebagai sebuah perintah tidak tertulis dari seorang ayah kepada anaknya.

Di masyarakat Jambi Kota Seberang yang meliputi 2 (dua) kecamatan yang secara geografis membentang di sepanjang tepian Sungai Batanghari. Yaitu Kecamatan Danau Teluk dan Kecamatan Pelayangan. Letak geografisnya persis berhadap-hadapan dengan pusat Kota Jambi, hanya saja ia dipisahkan oleh bentangan sungai terpanjang di sumatra ini yang menurut sejarah merupakan asal muasal Kota Jambi.

Daerah yang juga dikenal dengan Pecinan ini adalah daerah yang pertama kali dihuni oleh masyarakat yang sebagian besar merupakan pendatang dari berbagai etnis, baik Melayu, Arab bahkan Cina. Sehingga disebut juga dengan Pecinan.

Hal ini dibuktikan dengan berbagai monumen sejarah, sebut saja keberadaan Rumah Batu yang dipercaya merupakan istana atau kediaman dari seorang sultan keturunan Arab yaitu Said Idrus Hasan Al Jufri atau yang dikenal dengan Pangeran Wiro Kusumo (1822-1902), yang makamnya terletak di pelataran masjid tertua di Jambi yaitu masjid Al Ihsaniyah yang kini telah menjadi cagar budaya.

Menariknya, dalam komplek pemakaman ini terdapat 4 makam, yang salah satunya berukuran sangat kecil, konon makam tersebut adalah makam seekor kucing kesayangan dari sang sultan.

Lantas bicara nasi minyak, tradisi makan nasi minyak sendiri telah menjadi adat kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat seberang ketika melaksanakan pesta kendurian, acara syukuran, aqiqah, maulidan serta acara keagamaan lainnya. Tidak diketahui dengan jelas sejak kapan kebiasaan ini dimulai.

Hanya saja, dari berbagai informasi yang penulis dapatkan. Diperkirakan tradisi nasi minyak ini merupakan akulturasi dari budaya Arab yang diperkaya dengan kearifan lokal setempat.

Seperti yang disampaikan oleh Haji Umar, 50 tahun, yang merupakan “tukang tanak” sebutan bagi orang yang ahli memasak nasi minyak, jasanya “tukang tanak” selalu digunakan pada setiap acara.

Menurut Haji Umar, keahlian yang ia dapatkan merupakan turun menurun dari orang tua dan kakeknya. Jadi jika dihitung dari usia Haji Umar yang sudah mencapai setengah abad, makan bisa diperkirakan tradisi ini sudah berusia ratusan tahun yang lalu.

Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan ilmu nasi minyak di atas?

Apakah ia berkenaan dengan tata cara memasak nasi minyak itu sendiri? Bukan, itu maksudnya.

Ilmu nasi minyak yang penulis maksud adalah ilmu atau pengetahuan yang menjadikan seorang yang menguasai ilmu tersebut akan selalu diundang. Bahkan, wajib diundang dalam setiap acara yang biasanya diakhiri dengan santapan nasi minyak.

Ilmu tersebut adalah kemahiran dalam membaca Kitab Barzanji. Baik itu Barzanji Nazom pada masyarakat Melayu, Barzanji Nasar pada masyarakat Bugis maupun Barzanji Dhiba’ pada Habaib. Begitu setidaknya yang penulis ketahui.

Di sisi lain, pada setiap acara kendurian dan keagamaan tadi, pembacaan Barzanji adalah “menu” wajib. Selain pembacaan ayat suci Alquran dan doa selamat. Lebih ekstrim lagi, acara tidak akan dimulai apabila grup pembaca Barzanji dan Marhaban belum tiba.

Jadi, pada komunitas masyarakat khususnya di Jambi Kota Seberang , jika anda punya skill (kemampuan) membaca Kitab Barzanji dan Marhaban-nya, maka sudah dipastikan setiap Minggu, minimal 1 kali dalam seminggu akan bisa menyantap dan menikmati hidangan nasi minyak berikut dangan rendang kari dan rendang dagingnya.

*Penggiat Tradisi Jambi Kota Seberang

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts