Puteri Soraya Mansur*
Kawasan dataran tinggi Jambi memiliki peradaban lebih dulu dibandingkan kawasan dataran rendahnya. Kawasan ini meliputi dua kabupaten yaitu Kerinci dan Merangin. Keduanya berada di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) sebagai satu kawasan konservasi. Keduanya juga berada dalam rangkaian jalur Bukit Barisan yang membujur sepanjang Pulau Sumatra.
Peradaban di kawasan itu sudah ada sejak masa pra-aksara dengan ditandai peninggalan megalitik yang tersebar di dua kabupaten itu juga. Tinggalan paling nyata ialah batu larung, batu silindrik berukuran besar dengan bentuk serupa peluru atau phallus (alat kelamin laki-laki).
Terdapat 14 situs batu larung yang diidentifikasi oleh arkeolog, terdiri dari: situs Kumun Mudik, situs Pondok, situs Pulau Sangkar, situs Bukit Talang Pulai, situs Lolo Kecil, situs Lempur Mudik, situs Lolo Gedang, situs Nilo Dingin, situs Renah Kemumu, situs Talang Jambu Abang, situs Dusun Tuo, situs Pratin Tuo, situs Talang Alo, dan situs Sungai Tenang.
Batu lurung terbuat dari batu sungai utuh dengan ukuran bervariasi dan panjang sekitar 2,05 – 4,56 meter. Ukuran terkecil yaitu 2,05 x 0,7 x 0,85 meter di situs Kumun Mudik (Kerinci) dan terbesar yakni 4,56 x 1,20 x 0,79 meter di situs Talang Jambu Abang (Merangin).
Motif batu larung juga bervariasi, di antaranya motif tokoh manusia (human figure) atau menyerupai manusia (anthropomorphic), phallus, muka manusia (topeng/kedok), serta binatang, bahkan ada yang polos. Motif anthropomorphic yang umum ditemui berupa manusia kangkang. Ada pula motif geometris berupa lingkaran konsentris.
Menurut Kristantina Indriastuti, batu larung merupakan tinggalan megalitik yang terbentuk dari rasa syukur manusia penghuni kawasan itu karena mereka memiliki surplus bahan makanan dan hasil pertanian yang melimpah. Rasa syukur itu ditujukan kepada roh leluhur sehingga pengejawantahannya dalam bentuk pembuatan batu larung. Batu silindrik itu menjadi medium religiusitas yang menggambarkan penghormatan terhadap roh nenek moyang.
Religiusitas lain yang terkandung dalam wujud batu larung yaitu berupa legenda. Setiap situs memiliki legendanya sendiri, namun Muhamad Nofri Fahrozi hanya meneliti legenda batu larung di situs Sungai Tenang (Merangin), tepatnya di Dusun Koto Baru dan Dusun Gedang.
Nofri menuliskan bahwa legenda yang tersebar di masyarakat mengenai dua buah batu larung merupakan jelmaan dari manusia berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Mereka terkena kutukan si Pahit Lidah (Srunting Sakti), sosok yang lazim ada dalam cerita rakyat di Sumatra. Kutukan itu dilontarkan oleh si Pahit Lidah lantaran mereka melakukan perzinahan. Penyebab mereka melakukannya karena dahulu terdapat larangan (tabu) menikah dalam satu kampung.
Rasa cinta telah membuat sang laki-laki nekat mendatangi sang perempuan pada pagi hari ketika sedang menumbuk padi dengan lesung. Pertemuan itu menyebabkan perzinahan yang kebetulan disaksikan oleh si Pahit Lidah. Orang sakti itu pun menggunakan kekuatan gaib yang dimilikinya untuk mengucapkan kutukan kepada kedua pezina itu. Seketika sang perempuan berubah menjadi batu larung sehingga mengakibatkan sang laki-laki kabur. Ia berlari dan terjatuh tidak jauh dari dusun sehingga kutukan si Pahit Lidah pun menyelimutinya. Berubahlah ia menjadi batu larung pula.
Kisah dalam legenda itu didasarkan pada bentuk batu larung yakni batu larung yang terletak di Dusun Koto Baru dan Dusun Gedang. Bentuk batu larung di Dusun Koto Baru berupa pahatan di permukaan yang menyerupai payudara dan posisinya berdiri, karenanya disebut batu larung betino (perempuan). Sedangkan batu larung di Dusun Gedang posisinya terbaring seperti orang terjatuh sehingga disebut batu larung jantan (laki-laki). Penyebutan betino untuk perempuan dan jantan untuk laki-laki lazim dalam bahasa Melayu untuk membedakan jenis kelamin manusia, tak hanya untuk binatang saja layaknya dalam bahasa Indonesia.
Legenda batu larung itu sampai saat ini masih dipercayai oleh masyarakat di Desa Sungai Tenang. Cerita rakyat itu menjadi salah satu dari empat fungsi utama tradisi lisan menurut William R. Bascom yaitu alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi oleh anggotanya.
Tabu merupakan larangan yang muncul dalam kebudayaan masyarakat primitif terkait dengan kepercayaan turun-temurun dari nenek moyangnya. Menurut Sigmund Freud, seorang ahli psikologi, konsep tabu tidak terlepas dari pandangannya tentang Superego yang menurutnya adalah salah satu bagian dari struktur kepribadian manusia. Superego menyatakan diri dalam larangan-larangan maupun norma-norma yang telah dibatinkan. Larangan-larangan tersebut diinternalisasi melalui orang-orang terdekat. Orang tua sangat memegang peranan penting dalam bagian ini. Karena itu, Superego tidak mempunyai norma-norma asli sendiri melainkan hanya menyuarakan norma-norma dari lingkungan sosial. Hal itu yang dialami oleh orang-orang primitif.
Sosok si Pahit Lidah menjadi alat Superego untuk melegitimasi norma-norma sehingga ketakutan muncul dalam diri. Akibatnya, ia tak akan berani melanggar tabu. Selain itu, sanksi sosial atas pelanggaran tabu tak sekedar rasa takut, melainkan perasaan malu yang ditimbulkan akibat gunjingan masyarakat sehingga membuat seseorang semakin ciut untuk melakukan tabu.
Saat ini, masyarakat di Desa Sungai Tenang semuanya beragama Islam dan norma-norma hubungan antara laki-laki dengan perempuan sangat ketat dijalankan. Kehidupan mereka tak lagi primitif, tetapi tabu tetap menjadi pedoman karena dianggap masih efektif. Legenda itu juga memperkuat aturan tentang hubungan laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim (tidak ada ikatan keluarga) dalam agama Islam sehingga batu larung baik dahulu maupun sekarang telah berhasil menjadi simbol tabu di masyarakat yang menghuni lembah Gunung Masurai itu.
*Puteri Soraya Mansur, alumni Magister Sejarah UGM yang mengajar di SMAN 10 Batanghari.