Hak Pilih Dicari-cari dan Hak Hidup Dibatasi: LGBTQ di Tahun Politik (1)

Ilustrasi, foto: detikcom

Sebagian calon yang mengikuti kontestasi politik membidik hak pilih kelompok minoritas. Sistem negara membutuhkan mereka. Sebaliknya hak hidup mereka masih dibatasi; persoalan layanan kesehatan, pendidikan, mata pencaharian, kebebasan berpendapat dan berekspresi masih jauh panggang dari api.

CALON merebut hak pilih kelompok lesbian, gay, biseksual, transgender dan queer (LGBTQ) dengan bujuk rayu. Atau merampas hak pilihnya dengan dirundung di media sosial. Dengan demikian, ada rasa takut mereka untuk masuk bilik suara.

“Ada calon yang mendekati (minta dipilih), mereka kasih ini dan itu, lalu berjanji akan begini dan begitu,” kata LD kepada Kilasjambi.com, Kamis (22/6/2023).

Posisi kelompok rentan mengalami tekanan ganda. Mereka melawan penyakit yang mendera tubuhnya. Yang lainnya menerima beragam stigma dan disrkiminasi dari masyarakat luas. Bahkan transpuan LD, harus menutup tempat usahanya.

Kebanyakan masyarakat sudah menerima keberadaan transpuan, kata LD tetapi mereka masih diliputi ketakutan, jika mengetahui transpuan tersebut berstatus orang dengan HIV. Dengan demikian banyak tempat usaha orang dengan HIV terpaksa tutup karena pelanggan menghilang.

Penutupan tempat usaha kelompok transpuan di Jambi, membuat mereka kesulitan untuk bertahan hidup. Banyak di antara mereka kini hidup di bawah garis kemiskinan. Alasan menjauhi orang dengan HIV, masyarakat masih meyakini penularan HIV dengan bersentuhan atau melalui udara. Padahal penularan baru terjadi jika ada hubungan seksual atau penggunaan jarum suntik yang sama.

Eboy, Direktur Yayasan Kanti Sehati bilang banyak calon yang memang berkampanye di kelompok minoritas, termasuk orang dengan HIV. Kondisinya ironi, sebagai manusia hak pilih mereka dibutuhkan, namun hak-hak seperti akses terhadap kesehatan, pendidikan, pekerjaan, berpendapat dan berekspresi mereka sangat dibatasi.

“Para calon itu kalau sudah duduk, harus ingat dengan nasib mereka. Jangan malah mempertebal stigma dan diskriminasi,” kata Eboy.

Untuk saat ini, orang dengan HIV layanan kesehatannya hanya bergantung pada pendanaan dari luar negeri. Sedangkan pemerintah daerah tidak mengalokasi dana untuk mereka. Padahal ketika pendanaan global ini dicabut, maka ada ribuan orang yang pengobatannya kacau-balau.

“Kalau tidak rutin minum obat, risiko untuk terserang penyakit dan meninggal dunia itu semakin tinggi,” kata Eboy.

Para calon yang nantinya duduk dikekuasaan jangan sampai mendiskriminasi orang dengan HIV, dengan tidak menyalurkan pendanaan mereka. Selama ini, pendanaan global juga terbatas. Sehingga para pendamping orang dengan HIV tidak memiliki pendanaan. Mereka akhirnya bergerak secara sukarela.

“Pendamping bagi orang dengan HIV ini sangat penting. Perannya itu mencegah penularan semakin meluas di masyarakat. Ini harus diapresiasi oleh pemerintah, harus diberikan stimulus anggaran, agar fenomena gunung es HIV di Jambi segera runtuh, tidak jatuh korban lagi,” kata Eboy.

Tekanan Tahun Politik

Sejumlah pihak di tahun politik akan menggunakan cara apapun, untuk menciptakan kondisi yang mereka inginkan. Tidak hanya hoaks politik, tetapi informasi keliru soal LGBTQ. Misalnya konser band papan atas dunia, Coldplay yang digiring ke isu LGBTQ.

Irwan Martua, Hidayana, Asisten Profesor dari Departemen Antropologi Universitas Indonesia mengatakan salah satu faktor terbesar menguatnya sentiment anti-LGBTQ adalah narasi agama yang hanya mengakui heteroseksual, sebagai satu-satunya orientasi seksual yang normal.

Terlebih lagi, pemerintah juga ikut-ikutan menjadi pelaku diskriminasi terhadap kelompok LGBTQ, terutama menjelang tahun-tahun politik. Banyak politisi yang memanfaatkan isu LGBTQ, sebagai alat untuk mendulang suara pemilih.

Jelang pemilu, foto Mentari–bukan nama sebenarnya–yang mengenakan hijab beredar di media sosial. Seminggu kemudian, massa yang marah memburu Mentari di rumah kontrakannya. Mereka membawa kayu, parang dan tombak. Lantas mengepung rumah Mentari sembari berteriak; ‘usir’ dan ‘bunuh’. Dalam kondisi genting, transpuan itu merayap di saluran pembuangan. Dia terus berlari di jalanan berbatu sampai kakinya berdarah-darah.

Seminggu sebelum kejadian, akun media sosial seorang calon anggota dewan mengunggah foto Mentari yang mengenakan hijab. Bak jamur di musim hujan, puluhan akun aktif menyebarkan foto Mentari ke seluruh media sosial. Ada banyak narasi kebencian yang dibubuhkan. Transpuan berusia 24 tahun ini meradang. Sedikitnya ada 20 puluh akun yang aktif membagikan foto- foto Mentari di grup-grup facebook, whatsapp dan instagram.

Usai foto itu menyebar Mentari mendapat serangan dalam jaringan (online). Dia sendirian menjalani hari dengan rasa gelisah, kecewa dan takut. “Mereka bilang, aku tak pantas memakai hijab. Tempatku adalah neraka. Darahku halal,” kata Mentari dengan rembesan air mata di sudut kelopak matanya, Jumat akhir Oktober lalu.

Walau trauma menyergap tubuh mungil Mentari. Dia mencuri dengar dari berbagai teman sekolah. Pelaku penyebaran fotonya di media sosial adalah calon anggota legislatif di daerah Mentari tinggal. Dua lainnya adalah tim sukses pada pemilu 2019 lalu.

Beragam serangan online yang harus diterima Mentari, di antaranya pelecehan dan ujaran kebencian seperti darahnya halal untuk ditumpahkan, penghuni neraka, penyebar penyakit dan mengalami gangguan jiwa. Beberapa akun melakukan doxing, yakni menyebarkan alamat pribadi, nomor telepon, orang tua, kampus dan pasangannya.

Dampak dari doxing, Mentari nyaris dikeluarkan dari kampus Islam tempatnya menimba ilmu. Dia diberi sanksi berat. Pihak kampus memintanya keluar dari organisasi berbasis gender yang selama ini melindunginya. Setelah kampus, dampak serangan online meluas ke instansi pemerintahan.

Mentari ditolak untuk melamar kerja di seluruh instansi pemerintah di tempat dia tinggal. Penderitaan belum usai, orang-orang yang marah mendatangi rumah Mentari melakukan persekusi secara langsung. Dengan gemetar Mentari menceritakan ancaman massa; dia dan keluarganya akan dibunuh.

Mentari yang berhasil keluar dari kepungan masa dengan merayap di saluran pembuangan, segera mengungsi ke daerah terpencil tanpa sinyal. “Sengaja memilih tempat susah sinyal, saya ingin merasa aman,” kata Mentari setengah berbisik dalam kamar berukuran 2×3 meter.

Semenjak Mentari melela (open status) kepada keluarganya yang religius, dia telah menjadi target. Apalagi dia terlibat aktif membuka diskusi-diskusi di kampus terkait hak-hak keberagaman gender dan kelompok minoritas. Terutama isu terkait seseorang yang memilih ‘kembali’ ke identitas diri yang selama ini disembunyikan.

Secara fisik, Mentari adalah lelaki. Namun dia lebih nyaman menjadi perempuan. Untuk itu dia mengenakan hijab ke kampus. Kondisi Mentari sudah diterima dengan baik oleh keluarga, termasuk kakak kandungnya yang tamatan perguruan tinggi berbasis Islam. Begitu juga tetangga rumahnya, yang tidak mempermasalahkan.

Walau begitu pemberitaan tentang Mentari di media begitu ramai. Semua berawal dari media sosial berakhir di media atau sebalinya berawal dari media berakhir di media sosial. Informasi yang bias dan keliru itu akan kawin-mawin, berada dalam lingkaran setan; stigma dan diskriminasi.

Senada dengan kasus Mentari, temuan Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), dan organisasi non-pemerintah yang membela hak kelompok LGBT, Arus Pelangi, juga mencengangkan. Sepanjang Januari dan Februari 2023, ketiganya melakukan pendataan berita media daring yang menunjukkan sebagian besar tidak berperspektif gender dan tidak melindungi hak minoritas LGBT.

Media online berskala lokal maupun nasional lebih banyak memuat pernyataan politisi dan pejabat pemerintah yang menyerukan anti-LGBT yang berpotensi menguatkan permusuhan, kebencian, diskriminasi, dan persekusi terhadap kelompok tersebut. Contohnya pernyataan Wali Kota Medan Bobby Nasution yang mengumumkan Medan anti- LGBT.

Ujaran menantu Presiden Joko Widodo itu kemudian diikuti pejabat publik di Makassar, Bandung, Garut, Kalimantan Utara, dan Sampang yang mendorong pembentukan Rancangan Peraturan Daerah anti-LGBT. “Media lebih banyak mengamplifikasi dan mempromosikan kebijakan diskriminatif melalui pernyataan politisi dan pejabat,” ujar Sekretaris Jenderal AJI Indonesia, Ika Ningtyas, Senin, 6 Maret 2023.

Di Makassar, raperda anti-LGBT menjadi prioritas pembahasan dalam program legislasi daerah. Di Garut, Jawa Barat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menampung usulan pembentukan raperda anti-LGBT dari organisasi masyarakat. Arus Pelangi menilai raperda itu akan menambah daftar panjang aturan yang diskriminatif terhadap LGBT.

Terdapat 48 regulasi anti-LGBT di Indonesia. Pemerintah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat memiliki surat edaran pencegahan LGBT, Bogor mengeluarkan Perda tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual, dan Pemerintah Kota Pariaman, Sumatera Barat memiliki Perda yang mengatur LGBT. Sebanyak 1.840 LGBT menjadi korban persekusi sepanjang 2006 hingga 2018.

Media sering mengutip pernyataan yang diskriminatif seperti dari tokoh ormas sebanyak 35 kali, 31 anggota DPRD, 25 kali walikota, bupati, dan wakil bupati, dan 16 kali kepala dinas dan kepala bidang. Adapun, suara kelompok LGBT hanya lima.

Media juga banyak menggunakan diksi yang memuat stigma, yakni LGBT perilaku menyimpang sebanyak 29 kali, LGBT dilarang oleh agama 28 kali, dan LGBT melanggar norma susila atau budaya 13 kali. “Diksi diskriminatif mempertebal stigma dan melanggengkan diskriminasi terhadap minoritas LGBT,” kata Manajer Advokasi SEJUK, Tantowi Anwari.

Sambung Nyawa Kerja Serabutan

Tekanan terhadap kelompok rentan LGBTQ di tahun politik begitu nyata. Kekerasan yang dialami Mentari, berpotensi akan kembali berulang.

Untuk diketahui, setelah menjadi korban persekusi dan kekerasan, Mentari seperti hilang arah. Bekerja serabutan hanya untuk bertahan hidup. Dia hijrah ke tempat jauh, agar tetap hidup. Meskipun trauma tak kunjung padam. Dia pun bekerja sebagai tukang ojek. Untuk menyamarkan identitasnya, dia melepas hijab, lalu irit bicara di tengah keramaian.

Dia menjadi takut bicara di tengah keramaian. Meskipun saat bertemu kilasjambi.com untuk kedua kalinya, di salah satu mal di Jakarta, yang jaraknya puluhan kilometer dari rumahnya, Mentari tampak gugup. Ketika datang dia lalu duduk tertunduk. Dia menangis takut.

“Aku tak bisa bicara di sini,” bicara Mentari berat sembari menyeka air matanya yang deras mengucur.

Trauma itu melekat pada sanubari setiap korban perundungan dan persekusi. Terlebih yang menjadi korban kekerasan ini adalah orang dengan orientasi berbeda, yang masuk dalam wilayah paling rentan di antara kita. Jika tidak menerima orientasi seksualnya, jangan bunuh mereka dengan ucapan kita.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts