Sekitar sepuluh perempuan dengan penutup kepala caping dan tengkuluk tampak berbaris di petak sawah di Desa Betung, Kecamatan Kumpeh Ilir, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Rabu (13/11/2024). Jemari mereka menjepit sebuah alat untuk menuai padi.
“Kalau di sini (alat) ini disebut tuei. Namonyo beda-beda kalau orang Jawo bilangnya ani-ani. Ini alatnya bikin sendiri dari silet,” kata seorang petani perempuan sembari menuai padi.
Jejeran tanaman padi telah merunduk nan ranum menghampar di sawah seluas sekitar 0,75 hektare. Tali perak panjang untuk pengusir burung membentang di atasnya.
Pada panen raya perdana hari itu, anggota Kelompok Tani Puding Berseri berbondong-bondong ke umo atau sawah. Sedari pagi, mereka bergotong royong dan saling berbagi tugas.
Selain menuai padi, anggota kelompok perempuan lainnya ada bertugas menyiapkan santapan. Pulut atau ketan dengan lauk sambal teri menjadi santapan mereka pagi itu di pondok.
Sementara anggota kelompok laki-laki kebagian menggotong dan merontokan padi. Mesin baru perontok padi bantuan perdana dari pemerintah daerah setempat langsung dimanfaatkan.
Ketua Kelompok Tani Puding Berseri, Mursidi mengatakan, para petani di desanya mulai bersemangat menanam padi setelah mereka memanfaatkan teknik menanam dengan mulsa tanpa olah tanam (MTOT).
Metode ini menurut dia, semakin memudahkan petani.Teknik ini hanya perlu memanfaatkan sisa jerami sebagai pupuk tanaman. Teknik ini juga dinilai lebih ramah lingkungan, karena petani tidak perlu membakar lahan.
Mursidi yang juga kader program Udara Bersih Indonesia (UBI) yang diinisasi Yayasan Field Indonesia mengatakan, dia sudah hampir dua tahun ini menerapkan metode mulsa organic untuk memanam padi.
Dengan metode ini sambungnya, bisa mengurangi biaya operasional saat menanam dan hasilnya lebih maksimal. Cara ini cocok untuk sawah tadah hujan yang ada di desanya.
“Metode ini (MTOT) bagi saya sangat bagus sekali, hasil panennya lebih maksimal disbanding teknik konvensional. Kalau konvensional hasil panen agak kurang dan kami perlu mengolah tanah, dan tanah jadi kering,” kata Mursidi.
Hasil Panen Maksimal
Feki Okrizal selaku Fasilitator Yayasan Field Indonesia untuk Provinsi Jambi menjelaskan, teknik mulsa tanpa olah tanah yang diterapkan petani padi ini merupakan salah satu upaya mencegah polusi kabut asap akibat Kebakaran Lahan dan Hutan (Karhutla).
Selain itu, tekni ini bisa menciptakan pertanian yang ramah lingkungan serta meningkatkan hasil pertanian dari tanaman itu sendiri. Khusus di Desa Betung, jenis padi yang digunakan adalah Inpara 32 dengan usia panen 100 hari.
Padi yang berasal dari bibit bantuan pemerintah itu ditanam di atas lahan seluas0,75 hectare. Dari menggunakan teknik ini diperkirakan hasil panennya mencapai 6,8 ton gabah.
“Kalau panen padi petani mencapai 6,8 ton per hektare ini sudah sangat luar biasa, dan tentu bisa menjadi penyumbang untuk memenuhi kebutuhan beras untuk Provinsi Jambi,” kata Feki.
Yayasan Field Indonesia akan terus mengembangkan potensi pertanian yang ada di Desa Betung karena masih banyak lahan pertanian yang belum dimanfaatkan secara maksimal.
Khusus di Desa Betung, kata Mursidi memilik potensi sawah yang cukup luas mencapai 50 hektare yang meliputi sawah lebung 20 hektare dan tadah hujan seluas 30 hektare.
Sementara Pj Bupati Muarojambi diwakili Asisten II Pemkab Muarojambi, Nazman mendukung penuh upaya petani yang mampu memanfaatkan lahan untuk tanaman padi. Ia menyebut Pemkab Muaro Jambi siap membantu apa yang menjadi kebutuhan petani.
Dalam kesempatan itu, juga diserahterimakan bantuan dari Pemkab Muaro Jambi berupa benih padi sebanyak 50 kilogram dan satu unit mesin perontok padi.
Mulsa Organik untuk Udara Bersih
Bagi para petani padi, mulsa kini menjadi salah satu material penting. Feki Okrizal Fasilitator Yayasan Field Indonesia untuk Provinsi Jambi menjelaskan, mulsa adalah material yang dapat digunakan untuk menutup bedengan tanam.
Feki mengatakan, motode mulsa tanpa olah tanah (MTOT) atau mulsa organik bisa menjadi praktik baik bagi para petani. Mulsa organik kata dia, mendatangkan banyak manfaat, seperti; menghemat biaya produksi karena bahannya mudah didapatkan.
“Sangat ekonomis, tidak banyak biaya karena bahannya sudah ada di dekat kita, mulsa organik bisa membantu kelebaban tanah jadi terjaga,” kata Feki.
Mulsa organik kata dia, hanya cukup memakai bahan sisa-sisa jerami atau rumput. Mulsa organik dapat sebagi alternatif bahan pupuk alami untuk tanaman menjadi nutrisi.
“Bahan mulsa organik akan terjadi pelapukan dan memberikan nutrisi, sehingga petani tidak bergantung pada pupuk kimia yangbut memang pupuk ini sekarang menyulitkan petani,” kata Feki.
Sisa-sisa tanaman di lahan pertanian sambung Feki, umumnya dibakar, saat membuka lahan juga dibakar. Hal ini bisa berdampak pada polusi udara, dan jadi penyebab terjadinya kebakaran lahan.
Dalam program Udara Bersih Indonesia (UBI) itu telah diterapkan oleh sejumlah kader di tiga daerah di Provinsi Jambi; Tanjungjabung Barat, Tanjungjabung Timur, dan Muaro Jambi. Ketiga daerah ini selalu menjadi langganan kebakaran hutan dan lahan yang berdampak pada kabut asap.
Di Kabupaten Muaro Jambi, Kumpeh setiap tahun selalu menjadi langganan kebakaran hutan dan lahan. Mulai dari kebakaran para tahun 2015, dan berlanjut pada tahun 2019 yang amat parah. Bahkan pada perisitiwa kebakaran ini membuat langit merah setelah diselimuti kabut asap.
Untuk mengurangi polusi dan untuk meningkatkan pertanian ramah lingkungan, ada empat teknik pertanian holtikultura yang dikembangkan oleh kader UBI. Diantaranya mulsa tanpa olah tanah atau mulsa organik, bedengan kayu, kandang ayam serasah, dan pupuk cangkang telur.
“Lewat metode ini, kami menawarkan solusi supaya bisa memberikan dampak positif dari segi lingkungan dan produktifitas hasil tani,” demikian Feki.