BRG Bidik Ponpes Antisipasi Kebakaran Lahan Gambut di Jambi

KILAS JAMBI, Jambi- Badan Restorasi Gambut (BRG) mulai membidik Pondok Pesantren Al-Ikhsan Salafiyah Modern, Kabupaten Tanjungjabung Barat, Jambi, dengan cara mengedukasi para santrinya untuk turut mengantisipasi kebakaran lahan gambut saat musim kemarau.

Ponpes Al-Ikhsan Salafiyah Modern di bawah jaringan Nahdlatul Ulama tersebut, menjadi target BRG karena berada di sekitar area lahan gambut. Para santri pun diajarkan bagaimana cara memberlakukan lahan gambut dengan baik supaya tetap produktif.

“Kita mesti bersyukur sudah bisa tinggal di atas lahan gambut, jadi kita juga dituntut harus bisa memanfaatkan lahan gambut itu dengan baik,” kata Kasubpokja BRG, Deasy Efnidaweaty di Ponpes Al Ikhsan Salafiyah, Tanjungjabung Barat, Jambi, Sabtu (6/7/2019).

Para santri di Ponpes yang tinggal di sekitar area lahan gambut menurut Deasy, memiliki posisi strategis untuk diajarkan mengolah lahan gambut dengan tidak membakar dan membuat pupuk cair organik.

Sehingga diharapkan di lingkungan pesantren tersebut, nantinya para santri juga bisa mengingatkan kepada masyarakat desa supaya tidak membakar lahan.

“Santri ini bisa menjadi penerus untuk kegiatan pertanian, sehingga santri juga harus memiliki pengetahuan yang lebih mengenai lahan gambut dan juga bisa mengingatkan masyarakat untuk memanfaatkan gambut dengan baik,” katanya.

Para santri di Ponpes Al Ikhsan Salafiyah Modern, Dusun Kelagian Baru, Desa Kelagian, Kecamatan Tebing Tinggi, Kab Tanjab Barat, Jambi, saat mempraktekkan pembuatan pupuk organik cair.

Deasy menjelaskan, lahan gambut memiliki nilai yang sangat penting untuk lingkungan karena lahan gambut mampu menyimpan 75 persen cadangan karbon di dunia dan berfungsi sebagai penyeimbang iklim.

Lahan gambut jika tidak terkelola dengan baik akan menjadi bencana, seperti bencana kebakaran hebat yang terjadi tahun 2015 dan melumpuhkan sejumlah aktivitas manusia yang terdampak akibat bencana kabut asap.

BRG mengingatkan, Provinsi Jambi saat ini berstatus bahaya kebakaran lahan gambut. Status tersebut dipantau melalui sistem pemantauan air lahan gambut yang mendeteksi titik muka air gambut berada di bawah 0,4 meter sehingga dikategorikan mudah terjadi kebakaran.

Selain itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jambi mencatat selama Januari-Juni ditemukan sebanyak 76 titik panas (hotspot) dan 17 titik api. Dalam periode tersebut juga telah terjadi kebakaran seluas 51 hektare.

Kebakaran Lahan Gambut Masih Mengintai Jambi

Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi mencatat, Provinsi Jambi memiliki lahan gambut seluas 670.413 hektar. Dari luasan ini sebagian besar mengalami kerusakan parah dan dikuasai konsesi.

Area gambut yang rusak itu diantaranya 86.442 hektar dijadikan Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan 10.806 hektar diantaranya berada di kedalaman 4 meter. Kemudian 136.396 hektar dijadikan perkebunan kelapa sawit dengan kedalaman gambut lebih dari 4 meter.

Direktur KKI Warsi, Rudisyaf mengatakan pada musim kemarau dalam beberapa bulan kedepan bahaya kebakaran di kawasan gambut masih mengintai Provinsi Jambi.

Potensi luas kebakaran di areal gambut Provinsi Jambi masih sangat besar. Potensi kebakaran tersebut berada di dalam kawasan yang dikelola perkebunan dan hutan tanaman serta kebun masyarakat yang berada di wilayah gambut.

Masing-masing potensi luas kebakaran gambut berada di Kabupaten Tanjung Jabung Barat seluas 207.306 hektar, Kabupaten Tanjung Jabung Timur seluas 217.435 hektar dan di Kabupaten Muaro Jambi seluas 207.977 hektar.

Kanal-kanal yang dibuat perusahaan dengan cara memotong lahan gambut itu membuat air yang tersimpan di gambut berkurang drastis. Akibatnya gambut menjadi sangat mudah kebanjiran di musim hujan dan mudah terjadi kebakaran pada musim kemarau.

Dampak dari perlakuan yang keliru dalam pengelolaan lahan gambut di Jambi selama ini kata Rudi, justru dirasakan langsung oleh masyarakat. Keadaan ini misalnya di sekitar wilayah masyarakat diterjang banjir ketika kanal perusahaan dilepaskan untuk mengurangi air gambut di musim penghujan.

“Kondisi ini terjadi karena masih lemahnya kesadaran para pihak untuk berperilaku adil pada lingkungan,” kata Rudi.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts