*Jon Afrizal
Pembangunanisme. Demikian istilah yang diberikan banyak orang pada era Orde Baru dulu. Istilah ini sangat terkait dengan keinginan pemerintah untuk melalukan berbagai bentuk pembangunan fisik.
Bisa saja, kita melihat istilah ini sebagai sebuah cara dari pemerintah untuk “membuat bangsa yang setara dengan bangsa lainnya”.
Boleh jadi, ada juga yang menterjemahkan istilah ini sebagai suatu bentuk “satire” atau “cliche”. Sebab, apakah suatu pembangunan fisik itu berdaya guna bagi banyak orang?
Apakah kita hanya melihat persoalan pembangunan dari sisi pemerintah saja? Bagaimana, jika kita mulai meluasan cakrawala pemikiran, yang mengaitkan semua hal sebagai “world is a small village”?
Ada begitu banyak kebijakan dan begitu banyak kepentingan yang saling berhubungan di dunia ini. Sehingga, kita tidak bisa berdiri sendiri.
Namun, apakah itu bermanfaat? Apakah berkelanjutan?
Bagaimana, jika kita melihat persoalan, katakanlah, lingkungan, sebagai sesuatu yang harus dilindungi, sekaligus dimanfaatkan semaksimal mungkin?
Saat ini, mata semua orang di luar sana tertuju kepada sebuah noktah yang sangat kecil di dalam peta dunia. Yup, Provinsi Jambi.
Tunggu, dulu. Gambut adalah issue sexy di sepanjang musim kemarau. Dan, kembali menjadi issue sexy di musim banjir.
Toh, kita sadari atau tidak, Provinsi Jambi telah berubah dari negeri dua musim; yakni musim kemarau dan penghujan, menjadi empat musim; yakni musim kemarau, karhutla, penghujan dan banjir.
Kebijakan dan kepentingan yang saling berhubungan, tentunya.
Mari, gunakan mesin pencari internet di smartphone anda, dan lihat berapa luasan gambut di Provinsi Jambi. Serta, peruntukkannya sebagai apa, tentu juga bisa “digenggam” di smartphone anda.
Itu hanya contoh, dari sekian banyak keberhubungan kita di sini dengan berbagai kebijakan dan kepentingan skala global. Apakah yang kita pahami dari itu semua?
Sebagai objek? Ataukah sebagai subjek dari persoalan pembangunan?
Suatu ketika, aku pernah berkunjung untuk tugas jurnalistik ke sebuah dusun di huluan Provinsi Jambi. Atau, bukankan selalu demikian?
Dusun yang indah, dengan kekerabatan yang terikat kuat antar satu warga dengan warga lainnya. Dengan rumah panggung yang saling berjejer, dan tentunya, sebuah anak sungai yang berguna bagi banyak warga untuk kebutuhan air bersih.
Dusun itu, di kelilingi oleh hutan. Anda dapat saja mengkategorikannya sebagai “hutan adat”, seperti trending topic saat ini.
Namun, bukan itu persoalan utama dari pembahasan ini. Sejauh mana, hutan itu bermanfaat bagi warga dusun?
Apakah masyarakat harus melulu melihat hutan, dari jendela rumah mereka yang terbuka sepanjang siang hari? Tetapi, mereka tidak bisa untuk memanfaatkannya?
Bagaimana mungkin, kita harus menjelaskan bahwa hutan mereka adalah paru-paru dunia, yang berguna bagi keberlangsungan bumi yang sedang dirundung Climate Change ini?
Apakah cara berpikir kita, harus dipaksakan ke otak mereka? Sementara, di sekitar dusun mereka, sekian areal dibuka oleh “entah siapa”, dan mereka hanya berkerja sebagai buruh?
“Ini, tentunya, adalah persoalan kita bersama ….” Demikian jawaban yang sering ku dengar, dari mulut banyak orang.
Mari, kita memulai dengan skala pemikiran yang sangat sederhana. Sama seperti sederhananya alat-alat dapur orang di dusun.
Yang tidak butuh tabung dan kompor gas. Melainkan menggunakan tungku api, dan ranting kayu sebagai bahan bakar utama untuk memasak mie instan.
Kita lihat persoalan yang saling bertolak belakang di sini; tata cara memasak era lampau, dan bahan makanan masa kini, ringkas saji.
Dan itu juga persoalan yang kita hadapi ketika memaksa cara berpikir sistematis bangku kuliah kepada mereka yang menjaga hutan untuk kita, sebagai paru-paru dunia, tetapi mereka tidak merasakan manfaat langsungnya.
Bagaimana cara kita menjelaskan kepada mereka, bahwa sawit adalah, terkadang, disebut sebagai tanaman hutan, meskipun asalnya bukan dari hutan mereka, melainkan dari benua Afrika?
Yang mereka tau, hanyalah, harga tandan buah segar (TBS) bukan mereka yang mengendalikannya. Melainkan ditentukan oleh pihak pabrik, yang sedikit demi sedikit meringsek hutan yang dulu sangat lebat dan banyak kelompoknya di sekitar dusun mereka.
Apakah hutan harus tetap seperti pada masa kehidupan purba? Seperti era Dinosaurus, jika reptil itu memang ada?
Sepertinya, kita semua, yang mengaku sebagai manusia modern ini lebih terkesan menempatkan mereka, orang-orang di dusun, selayak manusia yang hidup di gua pada masa pra sejarah.
“Ini, tentunya, adalah persoalan kita bersama …”
Dan, tulisan ini, semestinya membuat kita merumuskan kembali terkait terminologi “pembangunan” yang sesungguhnya. Pembangun yang membuat dusun, sebagai pemerintahan terendah di Provinsi Jambi, menjadi berdaya dan berkelanjutan. ***
*Jurnalis TheJakartaPost