Manipulasi dan Dalih Transisi Energi jadi Ancaman Baru untuk Hutan Indonesia

Nobar dan diskusi film Big Bad Biomassa dalam rangkaian HUT ke-13 AJI Jambi, foto: Dila

KILAS JAMBI – Dalam rangka memperingati HUT ke-13, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jambi menggelar sejumlah rangkaian acara di Taman Budaya Jambi dengan tema “Etika AI untuk Keadilan Iklim”, Kamis (21/11/24). Berbagai kegiatan diselenggarakan untuk membahas isu keadilan iklim.

Salah satu rangkaian acara adalah nonton bareng (nobar) dan diskusi film “Big Bad Biomassa”, menarik perhatian peserta. Film ini mengungkap manipulasi para pengusaha biomassa yang menggunakan dalih transisi energi untuk mempertahankan bisnis mereka.

Anggi Putra Prayoga, Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI), memaparkan data kerusakan hutan konservasi yang terus meningkat sejak 2017 hingga 2023.

“Kami menganalisis, kerusakan hutan pada tahun 2017-2021 mencapai 10 persen. Namun, pada tahun 2021-2023 meningkat hingga 35 persen dari total 1,9 juta hektare. Terutama jika memasukkan kawasan lindung,” ungkap Anggi.

Ia menambahkan, hutan yang telah dilindungi saja mengalami kerusakan apalagi hutan di luar kawasan konservasi, seperti hutan produksi dan areal penggunaan lain yang tingkat deforestasinya sangat tinggi.

“Deforestasi masih terjadi baik di kawasan konservasi maupun di luar konservasi. Kerusakan ini melibatkan perkebunan, konsesi kehutanan, maupun organisasi yang mengatasnamakan green label seperti Hutan Tanaman Energi (HTE),” tambahnya.

Selain itu, Anggi mengungkap bahwa akun FWI kerap menjadi sasaran serangan digital dari buzzer, yang ia anggap sebagai upaya membungkam fakta kerusakan hutan di Indonesia.

“Serangan buzzer ini bertujuan agar fakta-fakta di lapangan tidak sampai ke publik, sehingga masyarakat tidak mengetahui kondisi sebenarnya hutan Indonesia,” tegasnya.

Anggi menyebut serangan ini sebagai bagian dari upaya mempersempit ruang kebebasan masyarakat sipil. Ia juga menegaskan pentingnya pengelolaan hutan yang transparan sebagai langkah strategis ke depan.

FWI telah memanfaatkan teknologi canggih dalam memantau kondisi hutan, melibatkan masyarakat adat dan lokal di sekitar kawasan hutan.

“Ketika hutan rusak, masyarakat adat lah yang paling terdampak. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam memonitoring hutan,” tutur Anggi.

Menurut Anggi, transparansi adalah kunci tata kelola hutan yang baik. Ia menekankan pentingnya menciptakan informasi yang akurat dan partisipasi masyarakat yang luas dalam memantau kondisi hutan.

“Kami ingin memutus rantai asimetri informasi antara pemangku kebijakan dan masyarakat di tingkat tapak. Dengan informasi yang setara, kebijakan yang bijaksana dapat diambil untuk memperbaiki tata kelola hutan,” tutupnya.
Penulis: Dila Rohaliza

Mahasiswa Magang Prodi Jurnalistik Islam, Fakultas Dakwah, UIN STS Jambi

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts