KILAS JAMBI – Kelompok anak-anak di SDN 2 Sukajaya, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, tampak tekun merajut limbah sampah plastik menjadi produk kerajinan.
Aktivitas anak-anak ini dapat mengurangi sampah plastik di lingkungan tempat mereka tinggal, agar tak terbuang ke sungai-sungai dan hutan.
Ketekunan anak-anak dalam mengolah sampah rupanya menjadi berkah. Sebab limbah sampah itu disulap menjadi tong sampah, baju, tas bahkan berguna sebagai bahan baku bangunan.
Sekolah ini juga telah memiliki mesin pengolah sampah yang mutakhir, karena dapat mengubah 5 kilogram sampah plastik menjadi bahan bakar minyak tanah sekitar 600 mililiter.
“Kita tanamkan kepada anak-anak sejak dini untuk menggunakan plastik sekali pakai. Kemudian mencegah sampah mengotori sungai dan hutan. Sampah yang anak-anak kumpulkan, kita apresiasi dengan bank sampah,” kata Kepala Sekolah SDN 2 Sukajaya, Sukasmino, akhir 2022 lalu.
Ia mengatakan setiap anak telah memiliki rekening tabungan di bank sampah sekolah. Dengan mengumpulkan sampah dari lingkungan tempat mereka tinggal, anak-anak mendapatkan cuan dari aktivitas itu.
Tidak hanya botol plastik yang diterima bank sampah sekolah, melainkan ada almunium dan kertas. Setiap transaksi sampah, anak-anak akan mendapatkan Rp2.000 per kilogram botol plastik dan cup plastik.
Selanjutnya, anak-anak juga dapat menukarkan sampah kertas/kardus dengan nominal Rp3.000 per kilogram. Kemudian Rp4.000 per kilogram untuk besi/almunium.
“Anak-anak dapat memilih, mau mengambil uang atau ditukarkan kembali dengan alat tulis seperti buku, pena, pensil, penggaris dan lainnya,” kata Sukasmino.
Untuk menerapkan zero plastik, anak-anak menggunakan alat makan dan minum sendiri. Pasalnya di kantin sehat di SDN 2 Sukajaya, tidak menyediakan jajan yang menggunakan bungkus dan pipet plastik.
Pengolahan sampah yang terhimpun dari bank sampah sekolah, kata Sukasmino, juga melibatkan anak-anak dengan membuatnya menjadi produk kerajinan seperti tas, baju, tong sampah, instalasi burung Garuda dengan tutup botol, bahkan bahan bangunan.
Pengolahan sampah terkadang tidak hanya melibatkan anak-anak, tetapi orang tua. Dia bercerita saat membuat instalasi Garuda, itu prosesnya selama 2 bulan dan membutuhkan 900 tutup botol yang melibatkan 370 anak. Tidak hanya melibatkan anak-anak, tetapi orang tua juga.
“Pos jaga sekolah itu bahan bakunya plastik (ecobrick). Karena pakai bahan itu, kita bisa menghemat dana Rp5-7 juta ketika membangun pos jaga,” katanya.
Saat ini, karena dibantu Pertamina, sekolah dapat mendatangkan mesin yang dapat mengolah sampah plastik menjadi bahan bakar minyak tanah.
Program pemberdayaan dari Pertamina sejak 2019 lalu telah mengubah sekolah kami, dari yang biasa saja menjadi sekolah penyandang prestasi gemilang, karena semua penghargaan didapat tidak hanya lokal, tetap sudah regional dan nasional.
Berjalannya program selama 4 tahun, telah banyak mengubah perilaku siswa. Dari yang awalnya tidak memperdulikan lingkungan sekitar, terutama sampah. Kini anak-anak sejak dini sudah mengenali bahaya sampah plastik dan mencegah sampah terbuang ke sungai dan sembarang tempat.
“Anak-anak ini kalau saya bawa ke sekolah lain. Itu kalau jajan, plastik jajannya itu dikantongin mereka bawa pulang. Tidak mau buang sembarangan, padahal anak-anak sekolah lain bebas saja,” kata Sukasmino.
Tidak hanya anak-anak, orang tua itu kalau sedang belanja di pasar membawa kantong sendiri, tidak mau menggunakan plastik. Kalau pun ada plastiknya, nanti diberikan kepada anaknya, untuk disetor ke bank sampah sekolah.
Selain itu, anak-anak juga belajar merawat bumi dengan menyemai bibit pohon kemudian menanamnya di lingkungan sekolah dan rumah.
Dari rangkaian kegiatan memerangi sampah plastik, SDN 2 Sukajaya kini telah ditetapkan sebagai sekolah penggerak oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Ferlita, siswi SDN 2 Sukajaya mengaku senang dengan adanya bank sampah di sekolah. Itu menjadi solusi bagi mereka, saat mengumpulkan sampah yang dibuang sembarang di lingkungan rumah.
“Kami juga punya tabungan sampah. Dan ternyata tidak repot, kalau tidak pakai plastik. Kami bawa wadah makan dan minum sendiri. Kalau ada plastik itu refleks kami pungut (ambil) sudah seperti pemulung,” kata Ferlita tertawa.
Menurur Ferlita sangat penting memastikan sampah plastik yang digunakan berada di tempat aman, agar tidak mengotori bumi. Sampah plastik menurutnya sulit terurai dan juga berbahaya bagi manusia serta hewan di alam liar apabila dibuang sembarangan.
Bahayanya seperti apa? Tidak tahu pasti kata Ferlita. Yang jelas kalau masuk ke tubuh manusia menjadi sulit terurai dapat mengganggu sistem dalam tubuh.
Siswa lainnya, Muhammad Salman Alfarisi mengaku sudah terbiasa membuat kerajinan sampah plastik menjadi tas, baju dan bahan bangunan. Aktivitas itu menurutnya membuat hati senang.
“Kalau pulang sekolah, jika tidak ada PR dan sedang santai kami ke sungai mengambil sampah plastik. Banyak juga, kadang dapat 1 kilogram,” kata Salman.
Tidak selalu pergi ke sungai mengambil sampah, tetapi sembari mancing. Lantaran bosan tidak mendapatkan ikan, kalau melihat sampah tentu dibawa pulang.
Sementara itu, Handri Ramdhani, Manager Relation and CID Pertamina Hulu Rokan Regional I Pertamina mengapresiasi penerapan zero plastik di SND 2 Sukajaya telah menanamkan nilai-nilai yang ramah lingkungan, bahkan mampu merubah perilaku siswa.
“Kita berharap ketika besar, anak-anak akan tetap konsisten dengan kebiasan yang ramah lingkungan baik di tingkat keluarga mau pun masyarakat,” kata Handri.
Handri menambahkan kerja sama Pertamina dengan SDN 2 Sukajaya hanyalah praktik baik skala kecil, memang belum bisa menyelesaikan persoalan sampah secara global, tapi setidaknya, menjadi awal untuk membentuk karakter anak yang peduli terhadap keberlangsungan bumi.