Jon Afrizal*
“Lantak dak boleh goyang
Cermin dak boleh kabur
Pemakan dak boleh sumbing
Adat dak boleh di ubah”
Beragam nama yang diberikan pihak luar untuk mereka, tetapi, mereka memiliki sebutan sendiri terhadap dirinya. Itulah kondisi indigenous people di Provinsi Jambi, dari dulu hingga kini.
Pihak luar menyebut mereka Orang Kubu. Dengan kesinisan yang terkandung di dalam penyebutan itu, yang menganggap mereka adalah orang-orang yang terbelakang dan terasing.
Sekitar 4.000 jiwa indigenous people yang berada di Provinsi Jambi menyebut diri mereka Orang Rimba, Batin Sembilan dan Talang Mamak.
Orang Rimba berkehidupan di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Batin Sembilan di area restorasi ekosistem (RE) Hutan Harapan, dan Alam Bukit Tigapuluh (ABT).
Secara garis keturunan, Orang Rimba dan Batin Sembilan adalah satu garis keturunan. Sementara Talang Mamak adalah berasal dari kelompok yang bernama sama di Provinsi Riau.
Namun, persoalan yang mereka hadapi adalah sama, yakni ketertinggalan di berbagai bidang kehidupan.
Ini adalah hal yang tidak bisa dipungkiri. Sebab, umumnya mereka bertempat tinggal di kawasan hutan.
Tentu saja, “hutan” dalam artian yang sesungguhnya. Yang harus dilalui dengan jarak tempuh yang cukup lama, dan ruas jalan yang penuh dengan tantangan bagi para offroader.
Kendati, kini beberapa dari mereka yang berusia muda telah menggenggam smartphone di tangannya, tetapi jangkauan sinyal telepon selular dan internet enggan menyapa mereka.
Padahal, satu dari sekian banyak elemen yang terkait dengan “modern” adalah ketersediaan sinyal telepon selular dan internet.
Begitu juga di bidang pendidikan bagi anak-anak mereka. Serta ketersediaan air bersih.
Temanggung Ngamai adalah ketua sekelompok Orang Rimba di sekitar Desa Hajran, Kecamatan Batin XXIV, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Di sekitar desa itu terdapat 35 Kepala Keluarga (KK) Orang Rimba.
“Kami telah dirumahkan sejak beberapa tahun lalu. Namun, kami tidak memiliki akses terhadap air bersih,” katanya.
Mereka harus tetap mencari air di sebuah sungai yang berada dekat rumah mereka. Begitu juga penghidupan mereka.
Pola food and gathering yang masih mereka anut, seiring dengan kehidupan semi nomaden anggota kelompok itu.
Ketidaksediaan binatang buruan adalah hal yang umum mereka hadapi dari hari ke hari. Binatang yang boleh mereka buru, hanyalah babi hutan saja.
Mereka mengetahui itu, karena banyak pihak yang berbicara tentang hukuman penjara jika memburu hewan-hewan yang dilindungi.
Begitu juga dengan akses terhadap pendidikan bagi anak-anak mereka. Beberapa kelompok indigenous people telah terbuka dan memperbolehkan anak-anak mereka bersekolah selayak anak-anak warga desa lainnya.
Petuah berupa pantun di awal tulisan ini adalah satu dari sekian banyak hal yang harus mereka ikuti. Itu jika mereka ingin tetap bertempat tinggal ataupun mengakses hutan.
Jika tidak, mereka akan terombang-ambing di antara hutan dan kelompok mereka yang tidak lagi memperbolehkan mereka untuk masuk hutan, dan dengan penduduk desa yang menganggap mereka bukan bagian dari penduduk desa, dan tetap menganggap mereka “Kubu”.
Menyedihkan? Rasial?
Temenggung Tarib adalah satu dari tujuh temenggung di Bukit Duabelas pada awal 2000-an lalu. Kini, entah berapa jumlah temenggung di sana, karena temenggung asli telah berketurunan dan bergelar temenggung pula.
Temenggung Tarib telah menganut agama Islam sejak sekitar 10 tahun lalu. Namanya kini adalah Jailani.
“Butuh kesabaran ekstra untuk membuat indigenous people setara dengan orang desa,” katanya.
Tentu saja rumit. Kelompok Temenggung Ngamai contohnya. Saat ini, mereka tengah melakukan prosesi “Melangun”. Melangun adalah cara hidup semi nomaden yang dilakukan kelompok Orang Rimba jika ada dari satu anggotanya yang meninggal.
Semakin tinggi strata seseorang yang meninggal itu di dalam kelompok, maka akan semakin lama mereka melakukan ” Melangun”.
Terkadang mencapai satu tahun lamanya. Namun jalur yang mereka buat berbentuk seperti lingkaran. Titik terakhir mereka Melangun adalah titik awal tempat mereka memulai Melangun.
Persoalan akses kesehatan adalah hal rumit lainnya. Mereka tidak bisa mengakses itu, karena tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Seharusnya, ada aturan khusus yang dibuat bagi mereka agar mereka bisa mengakses Puskesmas terdekat untuk berobat ketika sakit.
Ini pun bersinggungan dengan ketidakmampuan mereka untuk mengakses administrasi kenegaraan lainnya. Seperti surat tanah dan sejenisnya.
Temenggung Jelitai dari sekitar Desa Padang Kelapo, Kecamatan Maro Sebo Ulu, Kabupaten Batanghari, mengatakan ketidaktahuan mereka untuk mengakses administrasi pertanahan telah membuat mereka hidup di areal Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan batu bara.
Selain debu dan batuk, tentunya mereka harus siap hengkang dari kawasan itu, suatu saat.
Urusan administrasi pemerintah cukup rumit. Seperti KTP dan hak kepemilikan tanah. Perusahaan batu bara di sekeliling mereka. Membuat mereka batuk. Hidup menumpang di HGU perusahaan.
Pada hari ini, Rabu (30/9), mereka dipertemukan di acara sarasehan antar sesama indigenous people di Jambi. Ruang aula Dinas Sosial yang sejuk oleh air conditioner seolah terasa gerah oleh kisah-kisah pilu yang mereka ceritakan kepada “rajo”, yakni pejabat pemerintah sebagai simbol dari negara yang semestinya adil memperlakukan mereka.
Datuk Usman Gumanti, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) Provinsi Jambi mengatakan keluh kesah Komunitas Adat Terpencil (KAT) itu, sebutan dari pemerintah terhadap mereka, harus ditanggapi dengan bijak.
“Sedikit demi sedikit, mereka harus mampu beradaptasi dengan perubahan jaman yang mengglobal saat ini,” kata Datuk Usman.
Sebab, katanya, adalah sangat tidak manusiawi jika mereka dibiarkan tetap hidup dalam ketertinggalannya. (*)
* Jurnalis TheJakartaPost