KILAS JAMBI – Kemarau panjang masih melanda Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Tanjab Timur), Provinsi Jambi. Cuaca panas mencapai 31 derajat celcius menemani arkeolog dan petugas ekskavasi siang itu, Kamis (22/08/2019). Ada sekitar 10 orang yang terlibat melakukan ekskavasi Perahu Kuno, yang kini lebih dikenal sebagai Kapal Zabag.
Dr. Ali Akbar, S.S., M.Hum memimpin ekskavasi Kapal Zabag di Desa Lambur I, Kecamatan Muara Sabak Timur, Kabupaten Tanjab Timur, Provinsi Jambi. Dia adalah arkeolog dari Universitas Indonesia (UI) yang diminta oleh Bupati Tanjab Timur, Romi Hariyanto membantu pemerintah setempat menguak misteri situs-situs kuno Sabak. Diawali dengan ekskavasi Kapal Zabag.
Ali Akbar beserta tim ahli lainnya melakukan penelitian di situs Kapal Zabag. Observasi awal dimulai sejak April 2018. Dan 7 Agustus 2019, ekskavasi mulai dilakukan. Ali Akbar yang dikenal kontroversial karena penelitiannya di situs Gunung Padang ini pun melibatkan mahasiswa Universitas Jambi (Unja) dan masyarakat setempat untuk melakukan ekskavasi.
“Konsepnya adalah bagaimana semua terlibat. Terutama masyarakat di dekat situs. Bukan hanya ilmu pengetahuan yang didapat, tetapi masyarakat setempat juga mendapat dampak positif lainnya,” kata Ali Akbar.
Ali Akbar memulai penggalian 7 Agustus 2019. Hingga kini proses ekskavasi sudah mencapai hampir 35 persen. Sebagian bentuk fisik kapal kuno sudah terlihat. Papan-papan kapal, pasak kayu, tali ijuk, gading dan gerabah tanah ditemukan di lokasi situs.
Banyak hal menarik yang ditemukan oleh Ali Akbar. Hal itu yang membuatnya terlihat sangat semangat melakukan penelitian.
“Di situs ini (Kapal Zabag) banyak hal menarik. Ada hal-hal yang belum ditemukan di Nusantara dan Asia Tenggara sejauh pengetahuan saya,” kata Ali, memulai pembicaraan.
Dia semakin penasaran dengan situs Kapal Zabag. Seberapa besar ukuran dan seberapa tua umurnya.
Menurut dia, sejak tahun 1997 situs ini sudah dinyatakan sebagai peninggalan arkeologi yang penting. Karena kondisinya cukup rapuh, maka situs ditutup kembali. Menurut Ali, hasil sementara ekskavasi di sisi utara ditemukan ada tujuh papan. Menariknya papan-papan itu disambung dengan pasak kayu dan diikat dengen ijuk (tali) berwarna hitam. Bentuk yang sama juga ditemukan di sebelahnya.
“Teknik ini (Pasak kayu dan tali ijuk) dikenal sebagai teknik Asia Tenggara. Bangsa-bangsa Asia Tenggara dan Nusantara sudah membuat kapal dengan teknik ini di abad ke-3. Salah satu contoh temuan di Palembang, Rembang dan Cirebon. Ada juga temuan Kapal Kuo di Ponti, Malaysia sudah menggunakan teknik ini. Begitu juga di Filipina abad 13-14 Masehi,” kata Ali Akbar, yang menggunakan rompi bertuliskan arkeolog.
Dia menceritakan, temuan kapal karam di dasar laut Cirebon diperkirakan abad ke-10 menggunakan teknik yang sama. Sama juga seperti di Rembang kapal abad ke-8 menggunakan teknik yang sama. Namun untuk Kapal Zabag, Abe—sapaan akrab Ali Akbar—belum bisa memastikan usianya.
“Kita belum tahu usianya berapa, tetapi sampel kayunya sudah kita bawa ke Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). Kira-kira (Kapal Zabag) rentang waktunya diperkirakan abad ke 3 sampai 14 Masehi,” jelas Abe.
Soal ukuran, Abe memperkirakan lebarnya mencapai 5,5 meter. Dilihat dari ukurannya tidak masuk kategori perahu, tetapi kapal. Bahkan kapal besar. Pendapat ini pun diperkuat oleh Prof Chiara Nazarro, Arkeolog Maritim dari Italia. Dia menduga Kapal Zabag ini adalah kapal besar.
Kata dia dilihat dari kayu dan ketebalan papan, Kapal Zabag berukuran besar. Lebih besar dari Kapal Pinisi. Chiara mengungkap teknologi kapalnya hampir sama seperti Pinisi. Chiara mengaku sangat tertarik dengan situs Kapal Zabag ini.
“Saya sangat tertarik untuk menelitinya lebih dalam,” kata Chiara.
Saking tertariknya Chiara datang sendiri ke Lambur, Tanjab Timur tanpa diundang oleh Pemkab Tanjab Timur. Chiara saat ini sedang melakukan penelitian Kapal Pinisi bersama Ali Akbar. Mendapat kabar tentang Kapal Zabag dari Ali Akbar, dia langsung mengunjungi Lambur sekaligus berwisata.
Profesor Arkeologi dari Universitas Naple L’Orientale ini membandingkan dengan kapal-kapal tradisional kuno hasil penelitiannya di Mesir dan Afrika.
“Ini kapal besar. Unik dan ada hal yang sangar menarik,” katanya.
Menurut Abe, bentuk fisik yang nampak saat ini diperkirakan adalah geladak kapal, haluan dan buritan. Kata dia dia, di sekitar lokasi sebelah timur ada lagi seperti ujung perahu. Jaraknya sekitar 24 meter.
“Tetapi terlalu besar untuk ukuran perahu jaman dulu. Ada kemungkinan bukan satu perahu yang sama. Ada lebih dari satu,” katanya.
Hingga kini, tunas kapal belum ditemukan. Hanya perkiraan dak kapal. Namun tidak ditemukan kulitnya (kulit dak). “Justru yang ditemukan kayu besar melintang. Bentuknya beda semua dengan teknologi perkapalan yang kita kenal. Biasanya di dekat kapal ditemukan macam-macam benda. Ini kosong. Kita menemukan pecahan-pecahan tembikar yang cukup tua, pecahan keramik,” jelasnya.
Posisi kapal ini menurut Abe bukan karam, tetapi sedang parkir dan diperbaiki. “Kalau kapal karam biasanya bawa muatan banyak. Gading-gadingnya ditemukan jauh, sementara tunas belum ditemukan. Papannya besar-besar dan tebal-tebal semua ketika dirangkai bisa menjadi kapal yang besar sekali. Papan-papan tebal ini yang jarang kita temukan dalam situs-situs lain. Di sekitar lokasi juga ditemukan lima papan terpisah, tetapi tersambung cukup baik,” kata Abe.
Abe menduga, lokasi situs adalah galangan kapal tertua di Asia Tenggara. Bukti-bukti sementara adalah posisi kapal yang terparkir. Ada kayu bulat yang berada di bawah geladak. Beberapa bagian juga terpisah, seperti posisi gadingnya juga terpisah.
“Untuk sementara ini (Situs Kapal Zabag) adalah tempat pembuatan atau perbaikan kapal. Sejauh pengetahuan saya, di Nusantara belum pernah ditemukan galangan kapal kuno. Hanya baru di Sabak ini,” sebutnya.
Dia menduga, kapal-kapal tua yang ditemukan di Malaysia, Pilipina, Palembang, Rembang dan Cirebon diproduksi di Sabak. “Ini sifatnya masih sementara. Nanti pasti ada perkembangan-perkembangan lain,” katanya lagi.
Sabak Menjadi Pusat Kunjungan Bangsa Arab, Cina dan Persia Sejak Abad ke-7
Menurut Abe, Sabak nama kunonya adalah Zabag. Dan Zabag itu sudah dikenal oleh pedagang-pedagang Arab, Persia dan Cina sejak abad ke-7.
“Kapal Zabag yang ada di situs ini hilir mudik sampai ke Cina, Arab dan seterusnya. Temuan di Cirebon juga sama, disambung dengan pasak kayu dan diikat dengan ijuk tanpa logam dan mampu berlayar mondar-mandir dan membawa banyak muatan. Kapal ini mempunyai daya jelajah yang tinggi. Kapal yang digerakkan dengan layar, bukan dayung.” kata Abe.
Tidak jauh dari Situs Kapal Zabag, ada situs Siti Hawa. Di situs ini banyak ditemukan keramik tetapi periodenya lebih muda. Selain keramik juga ada bata-bata kuno yang tidak ditemukan di sekitar Kapal Zabag. Lalu ditemukan kayu bulian sebagai penanda kehidupan, sisa dayung, tungku dari tanah liat yang bisa dibawa-bawa.
“Kita sedang berada di situs (Kapal Zabag) yang dikelilingi situs-situs lain saling terkait. Dan itu yang mungkin membuat bangsa-bangsa zaman dulu datang ke Sabak,” kata Abe.
Dia melanjutkan, tim juga sudah melakukan pemetaan di dasar sungai dan melalui udara. Dan ternyata di sekitar Situs Kapal Zabag ada alur sungai kuno. Kapal Zabag ini posisinya di darat, tetapi ada sungai melintas tidak jauh dari kapal. Ada mendernya dan tembus sampai ke laut dan ada sambungannya ke Sungai Batanghari.
Kata Abe, kondisi saat ini jarak dari Situs Kapal Zabag ke laut sekitar 20 Km. Sungai kuno ini ukurannya cukup besar sehingga bisa dilalui oleh kapal yang besar.
“Jarak sekitar 100 meter di sini ditemukan kayu-kayu bulian yang dulu digunakan sebagai dermaga. Di situs Siti Hawa juga ada. Lalu di Kota Harapan ada juga (kapal kuno) jaraknya lima kilometer dari sini,” tambahnya.
Abe memperkirakan di Sabak dahulu kala lalu lintasnya cukup padat. (*)
Untuk informasi lebih dalam:
Ali Akbar: 081211859388/08568100709