1. Itu terapi baru ya?
Terapi plasma konvalesen (TPK) sudah dikenal sejak tahun 1850an. Kemudian setiap kali ada kejadian luar biasa atau wabah, TPK menjadi pilihan awal, terutama ketika belum didapatkan terapi yang definitif dan spesifik.
Penggunaannya sedikit menurun, ketika mulai ditemukan obat sulfonamid dan penicillin di sekitar tahun 1935-1941. Tapi ketika mulai ada lagi KLB dan wabah di tahun 2000an, TPK kembali meningkat penggunaannya. Termasuk dalam situasi pandemi covid saat ini.
2. Apa prinsip dasar TPK?
Memberikan plasma dari orang yang sudah sembuh dari covid-19, kepada pasien yang sedang mengalami sakit karena covid-19.
3. Apa tujuan dari TPK?
Dugaan mekanisme terapetik TPK ada dua. Pertama dengan memberikan antibodi untuk melawan virus covid dalam tubuh pasien. Kedua, membantu pasien meredakan peradangan hebat (hiperinflamasi response) melalui sitokin, protein dan faktor-faktor anti-inflamasi dalam plasma yang didonorkan.
4. Apakah memang TPK itu efektif dan aman?
Beberapa laporan, baik laporan kasus, serial kasus, maupun revieu sistematis dan meta-analis, sejauh ini memberikan simpulan bahwa TPK itu memberi sedikit manfaat atau manfaatnya tidak signifikan.
Ada beberapa penelitian yang dihentikan, karena hasil sementara belum menunjukkan manfaat signifikan.
Memang masih terdapat perbedaan standar minimal titer antibodi dan daya netralisasi yang dipersyaratkan. Faktor tersebut juga mempengaruhi variasi hasil.
Kalau segi keamanan, dua laporan dari reviu terhadap 5 ribu dan 20 ribu orang yang menerima TPK, risiko yang terjadi setara dengan risiko pada orang menerima transfusi darah selama ini.
Kita tahu walau sudah dengan pemeriksaan penyaring ketat, kemudian dilakukan reaksi silang (cross-match) sebelum ditransfusikan, selalu tetap ada risiko yang terjadi ketika pasien menerima transfusi. Demikian juga pada TPK ini.
Angka kejadian reaksi transfusi pada donor darah itu kecil, tetapi tetap ada yang mengalami. Begitu juga pada TPK. Maka sebagaimana pada pemberian transfusi, harus ada pengawasan dan antisipasi terjadinya reaksi transfusi.
Ada yang mengkhawatirkan terjadinya ADE pada TPK, terutama bila plasma yang didonorkan ternyata tidak cukup mengandung antibodi penetralisasi (neutralizing antibodi). Kekhawatiran ini memang ada dasarnya. Tapi sejauh ini, belum ada laporan kejadian tersebut.
5. Lho, tapi kok ada yang sembuh dengan TPK? Mengapa?
Memang, tentu kalau kasus per kasus, ada yang berhasil baik. Ada dua faktor yang dianggap penting, tanpa meremehkan faktor-faktor lain.
Pertama, titet antibodi dari donor. Tentu wajar dan mudah dipahami, namanya hendak menyumbangkan, tentu harus kuat. Maka titer antibodi donor harus tinggi. Lebih tepat lagi sebenarnya adalah Daya Netralisasinya harus kuat.
Untuk calon donor TPK, tidak cukup dengan pemeriksaan rapid test antibodi menggunakan metode lateral (seperti tes kehamilan itu sebagai contoh mudahnya). Harus dengan metode khusus dihitung berapa kadarnya.
Sayangnya, belum ada patokan baku, berapa kadar minimal yang cukup. Secara internasional, angka patokannya juga masih bervariasi. Untuk Indonesia, buku panduan menetapkan angka minimal 1:320. Ini bila dengan metode dilusi.
Untuk kepastian angkanya, lebih tepat sebenarnya dengan mengukur Daya Netralisasi. Yang diukur dalam daya netralisasi ini tidak hanya satu jenis IgG dari protein tertentu, tapi semua antibodi dalam plasma calon donor. Bisa IgG, bisa juga IgA dan IgM, serta untuk beberapa jenis antigen dalam virusnya. Jadi tidak tunggal.
Standar BPOM untuk Indonesia, Daya netralisasi plasma calon donor adalah minimal 1:160. Pemeriksaan ini yang baru proses validasi di Kemenkes. Jadi belum bisa digunakan masyarakat.
Prinsip dasarnya: semakin tinggi kadar antibodinya, diharapkan daya netralisasinya juga makin kuat. Netralisasi ini adalah proses antibodi “menyelubungi” dan mengikat virus SARS CoV 2 penyebab covid sehingga tidak bisa berikatan dengan sel tubuh manusia. Selanjutnya virus itu dibersihkan oleh tentara sistem imun kita.
Untuk saat ini, karena tidak selalu bisa dilakukan uji-uji tersebut, maka selama terbukti ada antibodinya, entah seberapa, diambil plasmanya untuk TPK. Maka hasilnya juga bervariasi.
Faktor kedua adalah : waktu pemberian. Durasi waktu yang tepat adalah ketika pasien mengalami viral load tinggi. Maka pemberian TPK dengan kadar antibodi tinggi (dan daya netralisasi yang kuat)
akan efektif membersihkan virus tersebut.
Dokter mengenal ada 3 tahapan dalam proses perjalanan penyakit covid. Di awal, virus yang berperan. Di tengah terjadi peralihan. Di akhir, response imun hebat yang menentukan. Maka pemberian TPK efektif pada fase awal tersebut. Tapi ketika sudah terjadi situasi hiperinflamasi oleh respon imun, efektivitas TPK menjadi berkurang signifikan.
6. Kalau begitu, segera saja semua pasien covid diberi TPK seawal mungkin?
Tentu saja, Dokter akan menilai kondisi dan kebutuhan pasien terhadap TPK. Sejauh ini disepakati, TPK diberikan pada pasien dengan gejala sedang sebelum menjadi berat. Diperhatikan juga estimasi waktu sejak timbulnya gejala. Dokter yang menilainya.
Maka sebaiknya, keputusan pemberian TPK tetap oleh Dokter yang merawat. Sebaiknya dihindari, keluarga tergesa-gesa mencari dulu donor sebelum ada kejelasan dari Dokter yang merawat.
7. Jadi bagaimana ini, sebaiknya tetap jadi donor atau tidak?
Tetap, menjadi donor TPK tetap adalah tindakan yang mulia. Membantu sesama. Tugas kita bersama agar tepat guna dan tepat sasarannya.
8. Kok ada syarat harus berjarak 14 hari sejak sembuh?
Berdasarkan laporan-laporan ilmiah, dengan jarak minimal 14 hari setelah sembuh itu, kadar antibodi paska sakit covid mulai mencapai titik optimal. Kita tahu IgM dan IgA memuncak pada hari ke 28 sejak timbul gejala. Kemudian mulai menurun. Sedangkan IgG memuncak pada hari ke 49 kemudian bertahan lama, minimal 3 bulan. Maka diberi jarak antara sudah benar-benar sembuh dengan mulai boleh menjadi calon donor TPK. Antibodi-antibodi tersebut membentuk Daya Netralisasi terhadap virus SARS CoV 2.
9. Terus, sampai kapan boleh jadi donor TPK?
Selama pemeriksaan masih menunjukkan titer antibodi yang tinggi dan daya netralisasi yang kuat, maka masih boleh menjadi calon donor.
Harus selalu diingat bahwa jarak antar donasi minimal 14 hari, selama kondisi calon donor dinyatakan sehat. Sekali diambil maksimal 13% volume darah total donor (kalau kondisi bagus, bisa diambil 450 ml yang kemudian dipilah menjadi 2 untuk masing-masing 200 ml pada tiap pasien). Dalam satu tahun, maksimal satu orang diambil 25 L plasma untuk donor.
10. Harus pakai cara aferesis ya? Nggak bisa cara biasa?
Cara aferesis paling dianjurkan karena lebih aman, cukup diambil plasma saja, risiko infeksi lebih kecil, dan cukup dari orang.
Kalau cara biasa, diambil darah penuh, baru dipisahkan plasmanya. Untuk memenuhi kebutuhan pasien sekali pemberian, dibutuhkan lebih dari 1 orang donor. Risiko lebih tinggi.
Bila cara biasa, berarti jarak antar donasi mengikuti alur jarak donor biasa yaitu minimal 3 bulan.
11. Kok wanita yang pernah hamil tidak boleh jadi donor?
Karena pada wanita yang pernah hamil, terbentuk Antibodi HLA. Sifat imunogeniknya kuat. Bagi wanita itu sendiri, tidak masalah. Tapi bila dimasukkan ke orang lain, risikonya besar.
Sebenarnya antibodi itu juga turun perlahan sampai akhirnya hilang setelah lama dari kehamilan. Maka seharusnya bisa dilakukan cek dulu sebelum jadi donor. Hanya di masa pandemi ini, repot bila harus melakukan hal tersebut. Akhirnya diambil jalan, bahwa untuk sementara bagi wanita hamil, belum mendapat kesempatan menjadi donor TPK.
12. Kalau pas sakit covid dapat TPK, apakah setelah sembuh juga bisa jadi donor?
Pada dasarnya, bila setelah sembuh, kemudian terbukti memang memiliki antibodi dan daya netralisasi, dapat menjadi calon donor. Hanya karena pernah dapat transfusi sebelumnya, maka ada syarat jarak. Bila saat mendapat transfusi itu, berasal dari plasma yang sudah diperiksa uji jaring NAT, maka ada jarak 4 bulan kemudian untuk boleh donor. Bila tanpa uji saring NAT, maka ada jarak 6 bulan.
Saya berpendapat, pada kondisi ini, paling cepat dapat mengajukan sebagai calon donor adalah 3 bulan sejak mendapat transfusi plasma. Mengapa 3 bulan? Karena sesuai laporan, kadar IG setelah 3 bulan, mulai menurun.
Nantinya tetap akan menjalani uji saring dan pemeriksaan kadar antibodi. Bila memang tidak ada masalah, maka dapat menjadi donor TPK.
13. Apakah paska vaksinasi dapat menjadi donor TPK?
Antibodi yang diperoleh paska infeksi, dapat dikatakan adalah hampir lengkap jenisnya, sesuai dengan bagian-bagian dari virus SARS CoV 2. Sementara antibodi dari vaksinasi, adalah sesuai dengan target antibodi yang dipilih saat pembuatan vaksinnya. Memang pada inactivated vaccine, virus utuh dimasukkan tapi dalam keadaan sudah mati (inaktivasi). Maka berbeda daya imunogenisitasnya.
Maka, paska vaksinasi, tidak dapat menjadi donor TPK.
14. Kalau sudah sembuh dari covid, tapi ada DM, ada jantung, apakah boleh jadi donor?
Pada prinsipnya, selama antibodi dan daya netralisasi memenuhi syarat, maka bisa mengajukan menjadi calon donor.
Hanya terkait penyakit DM dan jantung, sebaiknya konsultasi dulu ke Dokter. Bila ada penggunaan obat-obat antikoagulan, maka sebaiknya ditunda dulu. Keputusan lebih tepat dari Dokter yang selama ini merawat untuk DM dan jantung tersebut.
15. Kalau pas sakit covid itu OTG, apakah boleh jadi donor?
Memang dari penelitian, semakin berat gejala ketika sakit covid, maka antibodinya makin tinggi dan makin lama bertahan. Makin ringan, apalagi tanpa gejala, maka antibodinya makin rendah dan makin cepat menghilang. Bahkan pada yang tanpa gejala, dari penelitian didapatkan hanya 45% yang terdeteksi antibodinya pada 1 bulan setelah sembuh. Selanjutnya juga cepat menghilang.
Tapi, setelah seseorang punya antibodi, maka ada juga kemungkinan antibodi tetap bertahan, bila yang bersangkutan sering terpapar lagi oleh virus atau patogen yang sama.
Jadi pada prinsipnya, selama antibodi dan daya netralisasi memenuhi syarat, maka bisa mengajukan menjadi calon donor. Agar efektif, sebelum ke PMI, coba dulu tes mandiri antibodinya. Bila titernya memang tinggi, maka dapat mengajukan diri. Tapi bila tidak, sebaiknya tidak mengajukan diri. Agar tidak rugi nanti ketika harus menjalani seleksi, terlanjur keluar biaya, waktu dan tenaga, ternyata tidak terdeteksi antibodinya.
Mari kita dukung semoga uji klinik TPK segera selesai, sehingga ada kesepakatan standar tentang Titer Antibodi dan Daya Netralisasi, begitu juga dosis dan kapan pemberiannya, sehingga diharapkan manfaatnya efektif.
16. Ada yang sudah 2 kali jadi donor, tapi waktu mau donor ke tiga, kok IgM nya reaktif lagi. Apakah boleh?
Adanya reaktivitas IgM setelah sebelumnya sudah non reaktif, berarti mengindikaskan terjadi reinfeksi. Sebaiknya ditunda dulu. Langkahnya: bisa dipastikan dengan PCR, bisa dilakukan proses isolasi. Bila PCR ternyata negatif, berarti masa reinfeksi sudah terlewati. Sudah kembali aman. Bila PCR masih positif, atau memang memilih isolasi tanpa periksa PCR, maka ditunggu dulu 10-14 hari kemudian, dilakukan tes ulang antibodinya.
Bila sudah terbukti aman, maka dapat kembali menjadi calon donor. Tentu berarti harus selalu berhati-hati bahwa sudah sembuh dari covid pun tetap harus disiplin protokol kesehatan. (*)
Tonang Dwi Ardiyanyo
Akademisi Universitas Sebelas Maret.