Terbang dari barat kepulauan Indonesia, kami tundukan kepala yang satu, menghaturkan taut jari sembah nan sepuluh, ampun beribu ampun kepada yang satu, minta maaf kepada yang banyak.
Alam tekambang tua yang menjadi guru, mengambil contoh pada yang sudah-sudah, perkenankan kami mengaji empat unsur bumi, empat unsur langit.
Semoga semua makhluk berbahagia, semoga pikiran baik tumbuh dari segala penjuru.
Bismillah, Assalamulaikum–di hari yang mulia ini, hari kesempurnaan selapis manusia mendarahi bumi persada mengenang sejarah Ibrahim. Bila tadi pagi tanah didarahkan, sore ini disirami dengan air suci, tirta.
Itulah beberapa bait kalimat yang diucapkan oleh sang tuan rumah Perkumpulan Wangsamudra, Wenri Wanhar, ketika menyapa peserta seminar tajuk Air yang digelar secara daring, Jumat (31/7/2020) sore.
Perkumpulan Wangsamudra mempersembahkan sarasehan kebudayaan bangsa samudra. Pada sesi pertama sarasehan kebudayaan itu dibuka dengan mengaji tajuk Air.
“Air menjadi satu di antara yang dekat unsur manusia, air pembuka kesadaran, ketika bangun tidur air yang diminum,” ujar Wenri, yang juga penulis buku Bangsa Pelaut itu.
Dalam seminar daring tersebut menghadirkan pembicara dari beberapa kalangan ilmuan kampung, ilmuan kampus, interdisipliner. Titik temu teori dan praktek.
Adapun yang menjadi pembicara dalam sarasehan kebudayaan bangsa samudra dengan tajuk Air ini adalah Ratna Dewi, anak pelaut Selayar. Ratna memaparkan “Air dan hal-hal tentangnya yang tak lagi dipercakapkan”.
Ada pula Prof Sofwan Hadi selaku Guru Besar Hidro-Oceanografi dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Kemudian pembicara lain ada Abdul Jalil selaku Penjaga mata air Masjid Menara Kudus. Ia juga penulis buku Kosmologi Banyu Penguripan.
Sarasehan kebudayaan bangsa samudra ini juga dihadiri oleh Thukul Rameyo Adi, Staf Ahli Kemenko Maritim, Bidang Sosio Antropologi, dan Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid.
“Kearifan lokal menjadi hal mendasar, sarasehan seperti ini bisa menjadi tabungan bagi masyarakat. Tanggung jawab kita sebagai manusia tidak lepas untuk meneruskan pengetahuan dari generasi ke generasi,” ujar Hilmar Farid ketika menyampaikan Sirih Pinangnya.
“Sekarang waktunya kita melihat kembali khazanah yang diwariskan leluhur yang sudah hilang dari sebagian kita,” kata Hilmar Farid.
Selain itu, sarasehan kebudayaan ini juga diisi dengan penampilan oleh Kalis Laraswati dari ISI Surakarta. Kemudian ada penyair dari Perkumpulan Rumah Menapo, Muaro Jambi dan Irwan Syamsir, pegiat kebudayaan dari Mandar.
Rangkaian Hari Maritim
Perkumpulan Wangsamudra mempersembahkan sarasehan kebudayaan bangsa samudra dengan mengaji empat unsur bumi: Air, Angin, Tanah, Api. Dan empat unsur langit: Angkasa, Rembulan, Bintang, Matahari.
Sarasehan kebudayaan bangsa samudra itu digelar secara virtual dan marathon, sepekan sekali. Mulai dari 31 Juli hingga puncaknya pada peringatan Hari Maritim 23 September 2020.
Adapun rentetannya: pada 31 Juli 2020 digelar dengan tema Air, 5 Agustus (Angin), 12 Agustus (Tanah), 17 Agustus (Api). Kemudian 26 Agustus (Angkasa), 2 September (Rembulan), 9 September (Matahari), 16 September (Bintang).
Buah ilmu pengetahuan dari sarasehan ini rencananya akan disunting dalam bentuk audio visual dan buku untuk diterbitkan.
Sekilas Hari Maritim yang Sempat Terlupakan
Pada tahun 1964, tepatnya satu tahun setelah Musyawarah Nasional (Munas) Maritim I, Presiden Pertama Republik Indonesia Ir Soekarno menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor 249 tahun 1963 mengenai Hari Maritim Nasional.
Menurut surat keputusan tersebut, ditetapkan bahwa Hari Maritim nasional jatuh setiap tanggal 23 September. Peringatan Hari Maritim pada era Soekarno terus diperingati.
“Presiden Soekarno waktu itu mengingatkan berkali-kali, jika Indonesia ingin menjadi bangsa yang kuat maka kita harus kembali sejarah kita sebagai bangsa samudra,” kata Ratna Dewi.
Namun ketika memasuki era orde baru, peristiwa sejarah itu dihilangkan, karena seiring berubahnya mindset pembangunan bangsa Indonesia, dalam artian memunggungi laut.
Kini seiring berjalannya waktu, Hari Maritim diperingati kembali setiap 23 September. Sudah saatnya kembali menyilau kearifan lokal, mengangkat khazanah leluhur, bagaimana berinteraksi selaras kepada alam.