KILAS JAMBI – Teater Tonggak Jambi hadirkan pertunjukan seni tari asal Suku Anak Dalam (SAD) Kelompok Hari yang berada di Desa Pelepat, Kabupaten Bungo, di Teater Arena Taman Budaya Jambi (TBJ) Sungai Kambang Kota Jambi.
Pagelaran yang akan dilaksanakan pada Minggu (14/7) malam sekitar pukul 19.30 WIB, terbuka untuk umum dan gratis.
Pergelaran Tari Bedeti hasil pengolahan Teater Tonggak yang melakukan riset secara langsung sejak Maret 2019 kepada Nurbaiti (81) atau biasa disapa Mak Nur tersebut, bekerja sama dengan Pundi Sumatera dan didukung TBJ UPTD Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi.
Raja Rizky Maylando, Sutradara sekaligus Ketua Pelaksana pertunjukan mengatakan bahwa Bedeti merupakan tuturan yang berisi doa kepada Sang Pencipta. Disampaikan oleh seorang dukun atau tetua yang berdiri paling depan memimpin prosesi Tari Bedeti.
Ada bermacam-macam Tari Bedeti, setiap jenisnya disesuaikan dengan konteks acara yang berlangsung. Secara umum ada 3 jenis Tari Bedeti. Yakn Tari Bedeti Mandi Anak, Tari Bedeti Pernikahan dan Tari Bedeti Persembahan.
Tari Bedeti mandi anak dilakukan dengan turun ke lokasi air mengalir atau sungai menjelang matahari terbit, kemudian seorang dukun memandikan anak tersebut sambil bertutur yang mengandung doa agar anak selalu dalam perlindungan Tuhan, dihindarkan dari segala penyakit, menjadi anak yang tidak melawan orang tua, wibawa, bijaksana dan ksatria.
Lalu, Tari Bedeti pernikahan dilaksanakan oleh dukun pria dengan penari pria sebagai pengawal mengelilingi sepasang kekasih, tutur yang disampaikan oleh dukun adalah doa-doa agar jauh dari celaka, dimurahkan rezeki dan dijauhkan perpisahan dunia.
Terakhir, Tari Bedeti Persembahan, tarian ini dilaksanakan oleh dukun perempuan yang menuturkan ungkapan terima kasih kepada seluruh yang hadir, berucapkan maaf bila ada persembahan kami ada yang salah, dan mendoakan kepada seluruh yang hadir sehat dan selamat dunia akhirat.
“Kita pantas mempertahankan eksistensi Tari Bedeti yang hampir punah, Tari Bedeti harus dilestarikan. Pengolahan Tari bedeti yang disajikan merupakan wujud kepedulian kita sebagai pemerhati seni budaya Suku Anak Dalam,” kata Raja, Rabu (10/7).
Sebelumnya, saat uji coba Tari Bedeti pada 5 Juli 2019 di gedung Teater Arena Taman Budaya Jambi, Mak Nur didampingi Dewi Yunita Widiarti, Direktur program SSS Pundi Sumatera dan sebagai Koordinator Proyek SUDUNG menyaksikan langsung pertunjukan.
Hendry Nursal, Sekjen Teater Tonggak mewakili Ketua Teater Tonggak Eso Pamenan, menyampaikan apresiasinya pada Mak Nur yang berkenan mewariskan kearifan lokal dan Pundi Sumatera karena dukungan serta kepeduliannya.
Dalam momen uji coba itu, Mak Nur memberikan masukan dan perbaikan-perbaikan yang menurutnya kurang atau ada yang tertinggal. Mak Nur masih sangat lancar mencontohkan seni bertutur, juga menampilkan gerakan-gerakan tari. Namun, sudah mulai terasa minim artikulasi pengucapan dan mudah lelah mengingat faktor usia.
Semangat Mak Nur tetap tergambar karena adanya keinginan untk mewariskan seni dan budaya asli keturunan kepada generasi muda, sebab di daerah asalnya saat ini sudah mulai ditinggalkan bahkan kata Mak Nur sudah tidak ada lagi yang bisa bertutur.
“Sudah tidak ada lagi yang bisa bertutur seperti saya, Tari Bedeti sudah ditinggalkan,” kata Mak Nur.
Dewi, perwakilan dari Pundi Sumatera, menceritakan kegundahannya terkait Tari Bedeti yang hampir punah bahkan asing bagi keturunan SAD di Desa Pelepat Bungo, di tempat Mak Nur bermukim saat ini.
“Di sana ini sudah hampir punah, seperti Tari Bedeti Pernikahan tidak lagi digelar oleh keturunan SAD. Warga lebih menggunakan adat desa setempat, bahkan anak-anaknya malu saat akan diminta untuk menarikan adat asli miliknya ini. Kami berkenalan dengan Pak Didin, Kepala TBJ dan bekerjasama dengan Teater Tonggak. Kami disambut baik, direspon positif oleh Teater Tonggak,” kata Dewi.
“Kami berterima kasih pada Teater Tonggak juga Taman Budaya Jambi. Hasilnya bahkan di luar bayangan kami, sangat memuaskan bagi kami. Semoga ini terjaga, karena ini kekayaan budaya SAD, kekayaan milik kabupaten Bungo dan Jambi secara umum,” tambah Dewi.
Sekilas Teater Tonggak
20 tahun Teater Tonggak menggali, mengembang, lestari jatidiri dalam kancah dunia perteateran di Jambi. Teater tonggak tidak berhenti untuk berkarya dan berkreativitas dengan riset di lingkungan masyarakat yang juga terus dilakukan.
Tidak hanya itu, Teater Tonggak merasa peduli dan terus berupaya memupuk kepedulian semua pihak akan kehidupan remaja di masa serba kecanggihan teknologi saat ini. Teater Tonggak menjawab hal itu dengan umur yang masih belia berhasil mendidik enam generasi keanggotaan dengan niat dapat memberikan ilmu teater yang diharapkan mampu menopangnya dalam kehidupan bermasyarakat.
Ekspresi daya kerja Teater Tonggak berusaha secara continue menggali potensi lokal dan regional di bidang seni budaya, sosial dan kemasyarakatan yang diaplikasikan dalam bentuk kerja teate, serta dan terus menggali baik itu hutan, air, tanah bahkan udara dengan harapan bukan menggurui namun dapat memberikan suatu proses pencerahan diri.
Maka, agar hasilnya maksimal, Teater Tonggak senantiasa memacu aktivitas dan kreativitas sebagai proses pembelajaran hidup dan kehidupan yang selaras, serasi dan manusiawi. Proses kreatif yang dijalani tidak terpaku pada sebuah konsep. Tetapi, juga melakukan eksplorasi dalam upaya pencarian bentuk-bentuk baru sebagai suatu kebutuhan dalam pengembangan dan peningkatan kualitas kesenian.
Teater Tonggak merupakan sebuah komunitas seni pertunjukan yang didirikan pada tanggal 30 April 1999 di Kota Jambi, diprakarsai oleh Didin Siroz, Ahmad Rodhi, Nanang Sunarya, Mg Alloy, Ide Bagus Putra, Edi Kuncoro, Rd Irwansyah, dan Jefri ADP.
Pada saat didirikan tahun 1999 jumlah anggota dan pengurus sebanyak 30 orang, Terdiri dari kalangan profesi yang berbeda, seperti Wartawan, PNS, Guru, Wiraswasta, Mahasiswa, dan Pelajar.
Secara esensial nama TONGGAK dapat diartikan sebagai tiang penyangga sebuah bangunan yang dimaknai sebagai kekuatan dan semangat fundamental dalam berkarya. Teater Tonggak memiliki lambang segi tiga sama sisi dan tiga tiang pancang yang membagi ketiga sudutnya sama besar. Lambang ini merupakan simbol dari kehidupan seni budaya Indonesia yang dibentuk oleh tiga unsur kekuatan, yaitu: (1) Bahwa kebudayaan terbentuk karena adanya cipta, rasa dan karsa; (2) Bahwa seni memiliki keseimbangan, keselarasan, dan keserasian karena adanya wirahma, wirasa, dan wiraga; (3) Bahwa kehidupan seni budaya diperuntukkan bagi kebaikan orang banyak, keselamatan orang banyak, dan kesejahteraan orang banyak. (Rilis)