KILAS JAMBI – Setelah sukses mengusung Aksara Sunda, Jawa & Bali mendapatkan Standar Nasional Indonesia (SNI), selanjutnya Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) berencana mengusung Aksara Lampung & Pegon ke Badan Standardisasi Nasional (BSN). Kedua Aksara tersebut dianggap paling potensial dalam penetapan SNI melalui amandemen.
Wakil Ketua Bidang Pengembangan Usaha, Kerjasama dan Pemasaran PANDI mengatakan bahwa nantinya BSN akan membuat amandemen yang akan disepakati bersama dalam pengajuan Aksara Lampung dan Pegon.
“Nantinya akan digelar kegiatan sekelas Kongres bagi kedua aksara tersebut dalam rangka menyepakati pembakuan,” kata Heru.
Menurut Heru, ada sejumlah Aksara Nusantara yang masih diupayakan agar bisa ditransformasikan ke ranah digital. Adapun dari hasil kesepakatan dengan para pegiat Aksara Nusantara yaitu Jawa, Sunda, Bali, Pegon, Lampung, Lontaraq, Serang, Batak, Rejang, Kawi, Incung, Lota, Bima, Arab Melayu, Jontal, Buda, dan Palawa.
“Tiga diantaranya, yakni Jawa, Sunda dan Bali, sudah memperoleh SNI untuk kemudian bisa dibangkitkan kembali pemanfaatannya di masa mendatang. Meskipun beberapa aksara seperti Lontaraq dan Batak sudah tercantum dalam daftar konsorsium Unicode, tetapi masih perlu langkah kesepakatan pembakuan secara Nasional, agar punya peluang untuk tahapan digitalisasi,” tambah Heru.
Aksara Nusantara: Beradaptasi Atau Mati
Di sisi lain, Dadan Sutisna yang merupakan Sekretaris Yayasan Budaya Nusantara Digital yang sejauh ini ikut mengamati perkembangan digitalisasi Aksara Nusantara menuturkan jika tidak segera beradaptasi dengan teknologi digital, beberapa Aksara Nusantara berada di ambang kepunahan. Aksara tersebut pernah hadir di masa lalu, akan tetapi tidak lagi digunakan oleh masyarakat digital dan hanya menjadi artefak.
“Ada beberapa kekeliruan di masyarakat tentang digitalisasi aksara itu sendiri. Misalnya, dengan dapat digunakan untuk mengetik di perangkat lunak pemroses kata, Aksara tersebut dinyatakan sudah memenuhi digitalisasi. Padahal esensi digitalisasi bukan itu, melainkan ada standarnya sehingga dapat diterapkan di semua platform, termasuk bahasa pemrograman,” ungkap Dadan.
Menurut Dadan, hal pertama yang perlu dilakukan menuju digitalisasi Aksara adalah mempersempit kontroversi di antara pemilik aksara tersebut. Jika dalam satu aksara terdapat beberapa varian, maka harus dibakukan, salah satunya melalui hasil musyawarah di antara komunitas. Kesepakatan bentuk Aksara merupakan modal penting untuk mencapai tahap awal digitalisasi.
“Saat ini ada 17 Aksara Nusantara yang berpotensi untuk didigitalisasikan. Beberapa di antaranya sudah memenuhi standar Unicode, misalnya Aksara Batak, Lontaraq dan Rejang. Namun masih memerlukan langkah berikut, yakni tahapan pembakuan pada papan ketik, transliterasi, selain tentunya bentuk fon aksara tersebut pada media digital,” tambah Dadan.
Bagi yang belum masuk dalam daftar di UNICODE, dituntut keseriusan dan kesepakatan dari berbagai pihak, terutama komunitas pegiat aksara, untuk segera didaftarkan. Aksara-aksara tersebut antara lain Pegon, Lampung, Serang, Kawi, Incung, Lota, Bima, Arab Melayu, Jontal, Buda, dan Palawa.
“Bagi Aksara yang berpotensi untuk didigitalitasikan, pendaftaran ke Unicode mesti menjadi prioritas. Unicode merupakan gerbang menuju digitalisasi, karena lama-kelamaan bukti-bukti keberadaan aksara tersebut dapat hilang,” kata Dadan.
Masih menurut Dadan, hal lain yang cukup prinsip adalah persoalan adaptasi Aksara. Secara umum, Aksara Nusantara awalnya hanya digunakan untuk menuliskan bahasa setempat. Oleh karena itu, Aksara Nusantara memiliki variasi huruf yang berbeda-beda. Namun, saat ini dunia digital sudah lintas bahasa. Hal ini akan menjadi kendala jika aksara dengan keterbatasan jumlah karakter tidak beradaptasi dengan kebutuhan dunia digital.
“Oleh karena itu, berkaitan dengan pengembangan aksara nusantara, sebenarnya kita hanya punya dua pilihan, mau beradaptasi atau mati dengan sendirinya,” pungkas Dadan.