Siklus Hidup Manusia Dalam Perspektif Tembang Jawa

Abdul Malik, Mahasiswa Prodi AFI UIN STS Jambi.

Oleh: Abdul Malik*

Menurut pendapat masyarakat Jawa, hidup kita ini mengalami tiga dunia; alam purwo, alam madyo dan alam wusono. Ada pun yang dimaksud dengan alam purwo ialah alam yang di mana kita belum hadir di muka bumi, yang artinya kita masih berada dalam kandungan ibu. Kemudian, ada pula yang dinamakan dengan alam madyo, yaitu pengalaman ketika manusia hidup di dunia. Lalu, yang ketiga adalah alam wusono yang merupakan alam setelah manusia meninggal dunia.

Perlu diketahui bahwa falsafah hidup orang Timur, termasuk Jawa secara umum menerima adanya tiga dunia tersebut. Sedangkan dalam filsafat Barat tidak mengenal istilah tersebut. Filsafat Barat agaknya hanya hanya menerima alam madyo atau alam syahadah dalam bahasa Arab, serta tidak mau membahas alam purwo dan alam wusuno. Mereka menganggap dua alam ini (purwo dan wusono) adalah sesuatu yang metafisik.

Menurut orang Barat modern, dua hal itu tidak ada gunanya dibahas, begitu juga pendapat beberapa para Filosof Barat seperti Agustinus dan Thomas Aquinas, mereka menganggap hal metafisik itu meaningless (tidak berarti).

Berbeda dengan filsafat Timur yang menerima bahwa ada hidup sebelum kita di dunia, dan ada pula hidup setelah manusia mati. Oleh kerena itu, dapat disimpulkan bahwa siklus kehidupan manusia itu bukanlah pengalaman yang di dunia ini saja, melainkan ada hidup sebelum dan sesudah hidup di dunia itu sendiri.

Sekarang banyak sekali orang berlomba-lomba mengumpulkan harta, mereka merasa bebas melakukan apa saja yang mereka ingin perbuat hingga akhirnya mereka lupa bahwa ada alam setelah madyo (pengalaman hidup di dunia). Jadi pertanyaanya apakah tidak boleh kita menikmati kehidupan di dunia, mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya? Jawabannya tentu sangat boleh tapi jangan lupa bahwa semua itu bersifat sementara tidak selamanya.

Dalam hal ini biasanya orang Jawa menjelaskan siklus hidup manusia itu melalui beberapa analogi. Analogi yang paling populer yaitu analogi dari tembang Jawa. Kususnya tembang mocopat. Kalau di dalam tembang Jawa, ada yang disebut tembang cilik, tembang tengah, dan tembang gede.

Nah, mocopat ini sendiri masuk ke dalam tembang cilik dan tembang tengah. Kalau tembang gede itu biasanya dikenal dengan puisi-puisi tradisional Jawa kuno. Adapun mocopat ini biasanya memiliki sebelas jenis tembang yang mana nama-nama tembang itu menunjukan siklus kehidupan manusia.

Ada pun sebelas jenis tembang mocopat yang mendeskripsikan siklus kehidupan manusia tersebut, yaitu berisi: maskumambang, mijil, sinom, kinanthi, asmorondono, gambuh, dhandhanggulo, durmo, pangkur, megatruh, dan pucung. Makna filosofis yang ada di balik sebelas item dalam mocopat dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, yaitu tembang maskumambang, jadi masyarakat Jawa percaya bahwa hidup manusia ini diawali dengan tahapan maskumambang. Jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia terdapat dua kata yaitu; mas dan kumambang, artinya mas dan terapung. Maka jika dua kata itu digabung jadilah mas terapung. Suatu terminologi untuk menjelaskan fase hidupnya manusia saat berada dalam kandungan ibu (melayang dalam perut ibu).

Kedua, tembang mijil, yaitu menjelaskan saat kita lahir, yang mana masa mijil inilah yang disebut masa saat kita masih bayi. Jika mijil diartikan ke dalam Bahasa Indonesia artinya muncul.

Ketiga, tembang sinom, yaitu di mana menggambarkan masa kanak-kanak sampai remaja manusia. Masa inilah masa ketika manusia harus banyak belajar. Masa ini juga disebut masa pembentukan karakter manusia.

Keempat, masuk ke dalam tembang kinanthi. Fase kinanthi ini berasal dari kata khanti yang artinya dituntun atau dilatih tentang cara hidup yang benar dan baik di dunia. Setelah seorang manusia telah mencapai jenjang remaja di situlah saatnya dibentuk pikirannya dituntun cara bagaimana menjalani hidup dengan baik dan benar.

Kelima, fase tembang asmorondo. Adalah fase ketika sudah mulai mengenal yang namanya cinta. Fase di mana sudah mulai jatuh cinta kepada lawan jenis. Asmorondo merupakan saat manusia mulai mengerti tentang dunia asmara.

Keenam, fase tembang gambuh. Fase gambuh ini berasal dari kata jumbuh, yang mengandung makna merasa nyaman dan juga sudah merasa cocok dengan orang yang dicintainya sehingga dilanjutkan dengan mengikat pasangannya ke jenjang yang lebih serius yaitu menikah.

Ketujuh, tembang dhandhanggulo. Fase dhandanggulo berasal dari kata gegadangan atau cita-cita, dan gulo artinya manis. Makna filosofis dhandhanggulo ini menggambarkan di mana kehidupan bahagia saat apa yang dicita-citakan oleh manusia itu terwujud, seperti: memperoleh pekerjaan, keluarga yang harmonis, dan lain sebagainya.

Kedelapan, tembang durmo. Kata durmo ini berasal dari kata darma/derma, yaitu orang yang merasa berkecukupan hidupnya akan muncul rasa belas kasih ke sesamanya. Sehingga muncul rasa ingin memberi, makanya durmo muncul setelah dhandhanggulo agar darma yang dijalankan tidak mengorbankan dirinya sendiri, tapi merupakan proses setelah asmorondo, gambuh dan dhandhanggulo.

Kesembilan, tahap berikutnya yaitu tembang pangkur. Fase pangkur ini berasal dari kata mungkur yang memiliki makna menyingkirkan, yang artinya adalah menahan hawa nafsu. Pungkur ini dikenal dengan pase kesadaran lebih dalamnya ke arah spritual tidak lagi sibuk memikirkan dunia, sudah saatnya mungkur dari dunia. Itulah yang disebut dengan fase pangkur, jadi mungkurlah sebelum terlambat.

Kesepuluh, tembang megatruh. Fase megatruh ini berasal dari kata megat dan ruh, yang artinya terpisah. Megatruh ini adalah di mana saatnya seorang manusia meninggal. Saat itu juga waktunya mempersiapkan kembalinya ruh kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan yang terahir adalah ada yang namanya pucung saat masa manusia meninggal, meninggalkan semuanya yang berbau duniawi. Dan hanya membawa kafan pembungkus raga dan amal semasa hidup di dunia.

Kesebelas, tembang pucung setelah segala yang ada di dunia sudah ditinggalkan semuanya maka masuklah fase pucung yang kemudian populer diterjemahkan menjadi pocong.

Demikianlah sebelas tembang yang ada dalam mocopat yang diakhiri dengan tembang pucung yaitu terpisahnya jasad dari ruh sebagai suatu simbol berpisahnya manusia dari dunia yang fana ini.

Semoga dengan adanya tulisan ini, dapat memberikan pencerahan kepada manusia tentang di manakah siklus kita sedang berada. Sehingga dengan demikian, mulailah manusia dapat memperbaiki diri ke arah yang lebih baik. Jika badan sudah menjadi pucung apalah arti keindahan dunia ini, apalah arti harta berlimpah yang kita susah payah kumpulkan, semoga kita semua bukan termasuk orang yang lupa dengan hakikat kehidupan yang sejati.

 

*Mahasiswa Prodi AFI UIN STS Jambi

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts