Rimba raya ratusan tahun melindungi Orang Rimba dari wabah. Setelah rumah terakhir mereka tumbang, penyakit datang dari orang luar, hewan bahkan makanan. Ramuan obat warisan leluhur kewalahan menghadapi gempuran ragam penyakit yang semakin ganas. Kesulitan mengakses pangan yang bernutrisi melemahkan daya tahan tubuh. Orang Rimba dalam bayang-bayang kepunahan.
Oleh: Suwandi dan Ahmad Riki
ANIK (15) anak perempuan Orang Rimba sendirian menahan sakit, terkapar di ruang rawat rumah sakit yang pengap. Dua kelopak matanya masih bengkak, meskipun sudah 4 hari menjalani perawatan. Matanya senantiasa terpejam dan tubuhnya tak banyak bergerak, hanya sesekali merintih, saat ingin menggeser badannya. Selang infus masih terpasang di tangan sebelah kanan.
Sang paman, Tumenggung Zuhrai duduk pasrah di sudut ruangan. Matanya senantiasa menatap pintu ruangan rawat. Dia tengah berharap dokter atau petugas datang, untuk mengabarkan kondisi keponakannya itu. Kemalangan yang menimpa Anik, membuat Zuhrai semakin meradang. Sebab ayah Anik, kini mengidap gangguan jiwa, diduga frustasi setelah ibu Anik, meninggal terserang kanker mulut.
Hatinya remuk redam, sebab Anik berada di ruangan paling belakang; tidak ada perawat maupun petugas yang berjaga. Apabila terjadi sesuatu hal, dia bingung mau berteriak kepada siapa?
“Mau manggil dokter pakai apa? Kami tidak tau kantornya dimana,” kata Tumengung Zuhrai saat ditemui di rumah sakit daerah Kolonel Abundjani Bangko, Selasa (28/2/2023).
Kondisi Anik hanya terbaring lemah, katanya tidak ada bel atau telepon khusus untuk memanggil petugas. Semua ruangan di gedung itu kosong. Gedung belakang ini memang ‘khusus’ untuk Orang Rimba.
Selama 4 hari dirawat dokter hanya menemuinya dua kali. Pertemuan kedua, Zuhrai mendapat kabar jika keponakannya itu mengalami serangan ginjal bocor. Penyakit itu lah yang membuat sekujur tubuh Anik mengalami pembengkakan.
Kata dokter ginjal bocor. Sudah dirawat 4 hari,” kata Tumenggung Zuhrai. “Anik tidak pernah sakit sejak kecil. Baru kali ini dia begini,” kata Zuhrai lagi.
Dia bercerita, sebelum dilarikan ke rumah sakit, Jumat pagi (24/2/2023) seluruh tubuh Anik bengkak, mulai dari mata kaki sampai ujung kepala. Para keluarga pun bertangisan.
Penyakit ginjal bocor ini bermula ketika Kementerian Kesehatan RI yang dibantu KKI Warsi–lembaga nirlaba yang fokus permberdayaan Orang Rimba, ingin mengeliminasi penyakit tuberkulosis. Hasilnya, ada 11 anak di kelompok Tumenggung Minan, yang hidup di bawah rindang kebun sawit Desa Rejosari, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin, Jambi mengikuti pemeriksaan sampel dan dinyatakan positif tuberkulosis.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Merangin pada 2022, total penderita tuberkulosis sebanyak 634 orang. Dari data itu, 102 orang dari Puskesmas Pamenang.
“Tingginya kasus di Pamenang, yang memicu uji sampel tuberkulosis,” kata Rusdianto, Kepala Puskesmas Pamenang, awal April lalu.
Setelah kontrak komitmen minum obat diteken orang tua, para anak-anak pun rutin mengonsumsi obat. Belum genap sebulan, Anik mengalami muntah. Selang beberapa hari, tubuhnya bengkak-bengkak.
Atas kejadian itu, dari 11 anak yang terdeteksi positif tuberkulosis, hanya 3 orang yang melanjutkan minum obat. Sisanya ketakutan setelah munculnya kasus Anik dan memilih untuk berhenti.
“Mereka banyak yang berhenti minum obat. Takut kejadian serupa menimpa mereka,” kata Rusdianto.
Data Dinas Kesehatan Kabupaten Merangin, jumlah penderita tuberkulosis sebanyak 634 orang. Sementara di Provinsi Jambi, kasus tuberkulosis mencapai angka 5.444 orang. Sedangkan secara nasional, menurut data Global TB Report 2021, diperkirakan ada 824.000 kasus tuberkulosis. Dengan demikian, Indonesia menempati urutan kedua, untuk kasus tertinggi di dunia.
Aripati Notonegoro Komunitas Eliminasi TB Jambi, menuturkan kehadiran komunitasnya di Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah, kata dia untuk membantu eliminasi tuberkulosis pada 2030 mendatang.
Untuk saat ini, ada 40 relawan yang turun ke daerah untuk menemukan kasus tuberkulosis. Tidak hanya di Orang Rimba, tuberkulosis ini seperti gunung es. Artinya ada banyak kasus yang hilang, tidak dilaporkan dan terdata dengan baik terkait perkembangan penderita.
Banyak penderita yang menjalani pengobatan, namun tidak tuntas. Pasien terkadang mangkir dengan berbagai alasan. Kasus seperti ini tidak hanya memperluas penularan, tetapi menyebabkan kasus meninggal dunia.
Seharusnya apabila salah satu anggota keluarga menderita tuberkulosis, yang lainnya harus turut mengikuti terapi pencegahan tuberkulosis (TPT).
Tingginya kasus tuberkulosis di Orang Rimba seperti dua mata pisau. Pertama bisa mempercepat penularan dan meningkatkan stigma serta diskriminasi terhadap Orang Rimba.
Masyarakat banyak keliru, terkadang untuk penderita non keluarga dijauhi, sementara kasus yang terjadi di lingkungan keluarga malah tidak diproteksi. Hal ini mendorong penularan mudah terjadi di lingkungan keluarga.
Pengobatan di Orang Rimba memang gamang, tidak adanya kasus tuberkulosis saja, mereka sudah dipandang rendah oleh kebanyakan orang, apalagi ditemukan tuberkulosis. Sebaliknya tuberkulosis di Orang Rimba harus diungkap, dilakukan pendataan dan pengobatan secara transparan untuk memutus rantai penularan.
Untuk itu, kata Aripati lembaganya membimbing keluarga penderita yang negatif, untuk tidak memberikan stigma. “Termasuk masyarakat secara luas,” kata Aripati.
Pihaknya memberikan edukasi terkait tindakan penderita maupun orang yang negatif, agar bekerja sama untuk memutus rantai penularan. Tuberkulosis ini hampir sama dengan Covid-19, menular lewat udara dengan cepat dan menyerang orang-orang dengan daya tahan tubuh lemah.
Penderita tuberkulosis yang belum menjalani pemeriksaan, dapat terindentifikasi secara fisik seperti kurus dan sering batuk-batuk. Apabila mendapati anggota keluarga yang seperti itu, sangat disarankan melakukan pemeriksaan sampel dahak, untuk mengetahui statusnya.
“Target eliminasi itu 2030. Namun kasus di Orang Rimba seperti gunung es, tercatat apabila ada pemeriksaan dan mereka berobat ke layanan kesehatan,” kata Haris, Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Merangin.
Dia menyadari penyakit bagi Orang Rimba masih dipandang sebagai kutukan. Artinya mereka belum memahami, kemunculan harus segera diobati, terutama penyakit yang menular.
Tingginya kasus anak yang berhenti minum obat, akan memicu kasus baru yakni Orang Rimba mengalami resistensi terhadap obat tuberkulosis, dengan demikian pengobatan akan semakin sulit dilakukan.
Dengan adanya kasus ginjal bocor, mendorong anak-anak lain berhenti mengonsumsi obat. Padahal penyebabnya, belum tentu karena obat tuberkulosis.
Hal senada disampaikan Grace Wangge dari Monash University Indonesia. Secara umum, obat diproses atau dieksresi di organ hati dan ginjal. Obat tuberkulosis yang diberikan kepada anak-anak, kata dia biasanya isoniazid, rifampisin dan piranzinamid.
“Obat untuk anak itu akan diproses di hati, bukan ginjal,” kata Grace, Pakar Pharmaco Epidemiology.
Dengan demikian, apabila ada efek samping obat, organ yang akan mengalami kelainan adalah hati, bukan ginjal. Kecuali, kata Anggota Komite Nasional Farmakovigilans TB Resisten Obat, pada anak Orang Rimba ini, ada penyakit penyerta lain.
“Ada obat-obatan lain yang diberikan, atau anak ini sebelumnya sudah ada kelainan ginjal yang tidak terdeteksi,” kata Grace. Sehingga ginjal bocor yang menimpa anak Orang Rimba, bukan disebabkan obat tuberkulosis yang dikonsumsi.
Grace menuturkan Indonesia menempati urutan kedua, untuk penderita Tuberkulosis terbanyak. Penularan di Orang Rimba terjadi, lantaran adanya interaksi yang intens dengan orang luar.
Selain itu, rendahnya intervensi layanan kesehatan modren kepada Orang Rimba, seperti vaksinasi BCG membuat mereka rentan terhadap penularan tuberkulosis. Dengan tingginya risiko penularan, karena Indonesia endemik tuberkulosis. Ketakutan terbesarnya, jangan sampai tinggi kasus multi drug resistant (MDR) di Orang Rimba.
Sementara ada 4 kasus Orang Rimba meninggal karena MDR. Ini yang membuat Rusdianto gamang.
Grace mendorong pemerintah segera memutus rantai penularan tuberkulosis, bukan hanya pada Orang Rimba, tetapi seluruh lapis masyarakat, dengan melakukan pemutusan rantai infeksi, vaksinasi BCG, terutama pada anak yang berisiko tertular.
Selanjutnya, pada mereka yang sudah terjangkit tuberkulosis, harus diberikan pengobatan penuh, jangan sampai putus. Putus obat ini berpotensi timbulnya tuberkulosis MDR. Apabila ini terjadi akan memperparah kondisi dan membutuhkan regimen pengobatan yang lebih kompleks dan waktu panjang.
“Jika ada efek tidak diinginkan, maka bisa diberikan obat anti tuberkulosis pengganti. Gizi penderita harus diperbaiki,” kata Grace.
Kebanyakan Orang Rimba mengalami malnutrisi, sehingga perbaikan status gizi diperlukan untuk penyembuhan dan pencegahan. Tidak hanya itu, harus segera ditemukan penyakit penyerta lain, yang mendera Orang Rimba, agar tidak memperburuk kondisi kesehatan mereka.
“Penyakit dengan daya tahan tubuh yang seimbang itu berjalin erat. Untuk mendapatkan daya tahan tubuh yang kuat, dibutuhkan asupan makanan yang bergizi,” kata Grace.
Imunitas yang seimbang, kata Grace terutama yang didapat dari vaksinasi, dapat mencegah kuman tuberkulosis berkembang biak dalam tubuh.
Jauh dari Hutan
Kelompok Tumenggung Minan yang melingkupi Anik (15) hidup di antara masyarakat desa dan perkebunan sawit. Dalam kelompok ini, hidup 9 kepala keluarga dengan total 35 jiwa. Kelompok ini sangat rentan terhadap penularan penyakit mematikan, karena jauh dari hutan, yang memicu kekurangan pasokan makanan.
Untuk mengakses sudong (sebutan untuk tempat tinggal Orang Rimba) Anik, dapat menempuh kendaraan roda empat atau dua tak jauh dari gerbang perbatasan Kabupaten Sarolangun-Bangko. Perjalanan menempuh tanah berdebu di antara rimbun sawit di kiri-kanan jalan.
Sudong tampil sederhana dan terkesan reot, karena hanya beratap terpal, dengan lantai dari kayu-kayu gelondongan tanpa dinding. Pada sudong itulah, anak-anak berhimpitan dengan Orang Rimba dewasa tidur saat malam.
Tidak ada pembatas yang jelas dalam ruang sudong, antara tempat tidur dan ruangan memasak seolah menyatu. Sinar matahari sulit menembus sudong, meskipun cuaca sedang terik. Sudong yang dibuat semi panggung ini, di bawahnya berserakan sampah-sampah plastik dan air tergenang.
Tidak ada sumber air di lokasi sudong. Untuk mendapatkan air Orang Rimba harus berjalan sekitar 2-3 kilometer, mengambil air dengan jerigen. Kondisi sumber air berada di lereng terendah dari lokasi itu. Dengan demikian sumber air Orang Rimba, disinyalir telah terkontaminasi pupuk dan pestisida, yang terbuang dari perkebunan. Airnya bewarna keruh, cokelat pekat berbau lumpur.
“Itulah sumber air satu-satunya bagi kami, untuk kebutuhan minum dan masak,” kata Induk Lereh di sudong miliknya, Desa Rejosari, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin, Jambi.
Perempuan paling tua di kelompok Tumenggung Minan ini menuturkan semenjak mereka kehilangan hutan, maka kesulitan untuk mendapatkan makanan.
“Kami lebih banyak menahan lapar. Makan sekali, laparnya kadang berhari-hari. Kadang sampai lima hari tidak makan,” kata Induk Lereh dengan mata berbinar.
Anak-anak sering mengeluh sakit perut karena sering tidur dengan perut kosong, kata Induk Lereh. Seiring berjalannya waktu, mereka menjadi terbiasa. Tidak adanya makanan, lantaran penghasilan Orang Rimba sangat terbatas. Penghasilan Orang Rimba laki-laki, kini tersendat lantaran populasi babi di daerahnya berkurang drastis.
Sedangkan Orang Rimba perempuan, kebanyakan hanya bekerja sebagai pengumpul berondolan (buah) sawit. Setiap biji sawit yang terlepas dari tandan ketika panen dikumpulkan dalam karung. Rata-rata mereka hanya bisa mengumpulkan 20-30 kilogram. Hasil yang diperoleh tak lebih dari Rp50 ribu setiap dua minggu.
Tidak adanya pendapatan, apakah Orang Rimba bercocok tanam untuk bertahan hidup? “Macam mano mau bekebun, tanah tidak ada. Di sini kami numpang,” kata Induk Lereh.
Untuk tetap mengisi perut, kata Induk Lereh mereka saat musim hujan mencari jamur pohon. Jamur itulah yang mereka makan. Kalau tidak ada jamur tidak ada beras? “Kami sudah biasa tidak makan,” katanya.
Ia menceritakan sebelum hutan habis, sekitar 30 tahun lalu, Orang Rimba tidak memakan nasi. Melainkan benor, gadung dan keladi yang dipetik dari hutan. Untuk lauknya, mereka mengonsumsi babi, ikan, labi-labi, ular dan tikus.
Winda Kartika, dari Universitas Jambi, menemukan, Orang Rimba memiliki ketergantungan tinggi terhadap sumber hutan. Untuk memenuhi kebutuhan protein, mereka mengkonsumsi setidaknya 65 spesies hewan seperti mamalia, reptil, ampibi, burung, ikan, dan invertebrata. Semua mereka konsumsi dalam jumlah wajar dan cara berburu yang memihak alam.
Untuk kebutuhan karbohidrat, mereka mengkonsumsi gadung (Dioscorea hipsida), benor, dan umbi-umbian lain. Puluhan jenis buah-buahan lokal di dalam hutan pun memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral mereka.
Orang Rimba yang berada di dalam hutan maupun di perkebunan sawit, kini telah berubah. Depati Jalo, dari Kelompok Kedundong Mudo menuturkan mereka sudah menanggalkan kepercayaan beayam kuaw bekambing kijang. Artinya Orang Rimba hanya memakan dari hasil hutan, tidak mengonsumsi makanan orang luar.
“Kalau sedang punya uang, kami lebih banyak membeli jajanan, mie instan, gula, kopi, ikan lele dan nila untuk makan, sedikit yang membeli beras. Itu semua makanan orang luar, tidak ada dari hutan,” kata Jalo.
Orang Rimba Bergantung Makanan Kemasan
Penelitian terkait hubungan makanan kemasan dengan penyakit Orang Rimba belum ditemukan. Namun peneliti independen, Ekoningtyas Margu Wardani menuturkan ketergantungan kepada makanan kemasan di Orang Rimba, tiga dekade terakhir meningkat pesat.
Menurut Wardhani, makanan dan minuman kemasan, akan menyebabkan Orang Rimba kekurangan asupan gizi. Bahkan tingginya konsumsi gula dan pengawet, dapat mengakibatkan berbagai gangguan penyakit.
Makanan kemasan yang paling sering dikonsumsi oleh Orang Rimba adalah mi instan, ikan kalengan/sarden, saus sambal, snack anak-anak (seperti chips, chiki-chikian), dan minuman kemasan manis. “Pola konsumsi makanan kemasan terus meningkat,” kata Wardhani.
Untuk memenuhi kebutuhan makanan kemasan, Orang Rimba membeli di warung. Jumlahnya tidak siginifikan, lantaran ada yang jauh dan terbatasnya keuangan Orang Rimba, namun Orang Rimba mendapatkan makanan kemasan dari orang luar. “Pola konsumsi makanan instan bagi Orang Rimba lebih ke alasan praktis,” kata Wardhani.
Pengetahuan terkait makanan kemasan kurang sehat apabila dikonsumsi, kata Wardhani sudah ada pada orangtua (rerayo) di Orang Rimba. Kehilangan hutan, membuat mereka tidak ada pilihan.
Kondisi ini membuat Orang Rimba kekurangan gizi. Faktor lainnya, jarak kelahiran antar anak, yang berkisar sekitar 11-12 bulan, memicu banyak kasus balita juga mengonsumsi makanan yang dimakan oleh orang dewasa. “Ini menimbulkan berbagai masalah kesehatan,” kata dia.
Tradisi melangun atau hidup nomaden turut menyumbang minimnya ketersediaan dan kualitas pangan yang dikonsumsi oleh Orang Rimba.
Secara tradisional, Orang Rimba dapat mengidentifikasi sumber-sumber penyakit yang sering mereka alami berasal dari berbagai hal, antara lain karena disebabkan oleh makhluk-makhluk gaib, interaksi dengan komunitas di luar mereka, dan pada saat musim buah, yang terjadi setiap 2-3 tahun sekali.
Penyebab penyakit yang berasal dari makhluk gaib disebabkan adanya pelanggaran-pelanggaran terhadap larangan-larangan kultural seperti tidak boleh meminum air dari area tertentu yang dilarang dan lain sebagainya.
Bagi Orang Rimba, semakin intens interaksi dengan pihak luar, akan menyebabkan mereka lebih mudah terekspos dengan berbagai penyakit terutama jika para orang luar tersebut datang ke komunitas mereka dalam keadaan sakit.
Beberapa penyakit dari luar yang sangat ditakuti oleh Orang Rimba antara lain demam berdarah, flu, kolera, dan cacar air, karena di masa lalu berbagai jenis penyakit tersebut telah merenggut banyak nyawa Orang Rimba.
Sementara itu pada saat musim buah-buahan, Orang Rimba rentan terserang penyakit batuk, demam dan diare.
Orang Rimba yang tinggal di kebun sawit, kata Wardhani jelas mempunyai banyak restriksi dalam mengaplikasikan pola hidup tradisional mereka, termasuk pemenuhan asupan makanan, sekaligus akses terhadap hasil-hasil hutan untuk berburu dan meramu.
Tinggal di area perkebunan sawit juga membatasi kuantitas dan kualitas sumber pangan dan air. Mereka yang tinggal di kebun sawit relatif lebih cenderung mengonsumsi karbohidrat yang cukup tinggi dibandingkan asupan pangan lainnya. Sumber karbohidrat yang dikonsumsi antara lain berasal dari nasi, ketela, dan mi instan.
“Ketidakseimbangan porsi asupan pangan ini ikut berkontribusi terhadap kesehatan Orang Rimba,” katanya.
Wardhani menuturkan keterbatasan sumber air bagi Orang Rimba yang tinggal di kebun sawit cukup terlihat jelas. Mereka menggantungkan ketersediaan air dari sungai-sungai di sekitar kebun sawit yang kebanyakan sudah terkontaminasi oleh pestisida.
Selain itu, Orang Rimba juga mempunyai kecenderungan untuk tidak memasak air yang akan mereka konsumsi, termasuk bagi mereka yang tinggal di kebun-kebun sawit. Hal ini semakin menambah kompleksitas dampak kesehatan konsumsi air bersih yang menimbulkan banyak penyakit.
Lebih jauh, Orang Rimba mengurangi bau dan rasa tidak enak pada air di area kebun sawit dengan mengonsumsi gula yang sangat tinggi yang dapat meningkatkan komplikasi penyakit.
Wardhani mendorong pemerintah tetap mempertahankan hutan yang masih tersisa dan menjamin hak hidup Orang Rimba. Termasuk meningkatkan keanekaragaman hayati hutan sebagai sumber penghidupan Orang Rimba.
Awal Mula Pergeseran Makanan
Interaksi dengan dunia luar merubah pola makan Orang Rimba. Selama hampir 50 tahun mereka bertahan dan mengadopsi. Mengutip jurnal kajian wilayah, Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia (LIPI) yang terbit 2016, Ekoningtyas Margu Wardani, Food for Indigenous Communities in Times of Global Crisis Reflection from the experiences of Orang Rimba Community and Ifugao Community.
Pada awal tahun 1970, Departemen sosial RI, ‘memburu’ dan meluncurkan proyek pemukiman untuk Orang Rimba. Proyek-proyek ini membangun 50-100 rumah dan memasok bantuan barang, seperti makanan dan alat pertanian.
“Orang Rimba ‘dipaksa’ keluar hutan dan menetap. Mereka diberi makan layaknya orang terang,” kata Wardani, dalam penelitian tersebut.
Proyek itu gagal total. Sebab dalam waktu relatif singkat, Orang Rimba sudah kembali masuk hutan dan meninggalkan pemukiman, selamanya. Ambisi pemerintah untuk ‘memanusiakan’ Orang Rimba terus berlanjut, pada 1980 para pendatang mendiami pemukian Orang Rimba melalui program transmigrasi.
Pada fase ini, lanjut Wardani ribuan Orang Rimba menderita. Pembukaan lahan secara besar-besaran membatasi ruang gerak Orang Rimba bahkan membasmi cadangan makanan seperti gadung, benor, dan keladi termasuk buah-buahan hutan. Sungai-sungai dangkal dan aliran airnya terputus. “Ikan semakin sulit didapat,” sebut Wardani lagi.
Para pendatang merangsek pada hutan terakhir Orang Rimba. Begitu pula warga lokal, gencar menebang pohon untuk kebun karet. Pembalakan liar menjarah masuk kawasan hutan. Orang Rimba, kata Wardani semakin terjepit. Tradisi berburu dan meramu semakin sulit dilakukan.
Perlahan baik dari orang terang maupun Orang Rimba, membangun interaksi. “Mereka belajar bercocok tanam, menanam padi,” tulisnya.
Setelah medio 1990-an, ketika perkebunan sawit dan karet masif ditanam. Orang Rimba mengenal banyak makanan, seperti mie instan, kopi, gula, garam, penyedap rasa dan beras.
Setelah mengalami pergeseran pola makan, variasi makanan Orang Rimba juga berkurang.
Apabila musim buah, Orang Rimba jamak memakan buah, tanpa ada makanan lain. Begitu juga saat memiliki banyak uang, mereka akan memakan jajanan dan mie instan. Hal ini membuat mereka rentan terserang penyakit.
Kekurangan variasi makanan, lanjut Wardani membuat asupan makanan bergizi ke dalam tubuh tidak seimbang. Sehingga daya tahan tubuh menurun. Apalagi, mereka dominan mengkonsumsi makanan pengawet dan pewarna. Kemudian asupan makanan berkarbohidrat sedikit dan sangat jarang konsumsi protein.
Ketahanan dan Keamanan Pangan Butuh Perhatian Pemerintah
Kata Wardani, setelah meneliti di kelompok Sako Tulang yang tinggal di bagian barat TNBD. Kemudian, kelompok Terab memiliki gaya hidup mengembara di dalam dan di luar hutan Bukit Duabelas. Terakhir, kelompok Air Hitam yang setia hidup di dalam hutan.
“Ketahanan dan keamanan pangan Orang Rimba, perlu mendapat respon serius dari pemerintah. Agar tidak berdampak buruk terhadap kesehatan Orang Rimba,” sebutnya.
Pergeseran pola makan Orang Rimba tidak hanya dipengaruhi budaya dan interaksi sosial, melainkan perubahan lanskap hutan di Jambi. Menurut data Center for International Forestry Research (CIFOR), hutan hujan tropis menutupi lebih setengah (52%) wilayah Jambi pada 1982. Seiring transmigrasi besar-besaran, pembangunan jalan, dan pembukaan lahan untuk perkebunan sawit, hutan tanaman industri dan lain-lain, luas tutupan hutan di Jambi kini tersisa 17% (KKI Warsi, 2020).
Manager Komunikasi KKI Warsi Jambi, Rudi Syaf menuturkan produksi dan kandungan nutrisi pangan Orang Rimba menurun. Mereka tidak memiliki banyak pilihan makanan.
Pada medio 1990-an lalu, belasan anak-anak Orang Rimba terserang penyakit muntaber. Akibat kerusakan kualitas air sungai, saat pembukaan perkebunan sawit.
Selain itu, minimnya variasi makanan juga menyebabkan banyak Orang Rimba menderita Hepatitis B.
Hasil studi Eijkman dan Warsi Jambi, sambung Rudi, memperlihatkan prevalensi Hepatitis B sebesar 33,9 persen pada Orang Rimba. Penyakit yang menjangkiti sepertiga dari populasi Orang Rimba, dapat menyebabkan kanker hati. “Pola makan yang tidak sehat, bisa jadi pemicunya,” kata dia.
Pada 2015 lalu, karena mengalami krisis pangan saat melangun, 12 Orang Rimba meninggal dunia. Mereka berasal dari Kelompok Terap, Kelompok Serenggam dan Kelompok Ngamal, empat anak-anak dan delapan orang dewasa.
Keahlian alami Orang Rimba seperti berburu dan meramu tidak menjamin untuk memenuhi kebutuhan pangan. Ia mencontohkan sarang lebah madu hutan (sialang), produksi turun 80 persen. Buah-buahan juga tidak bagus.
“Makanan mengandung protein tinggi, seperti rusa, kijang, dan kancil sulit ditemukan. Ikan di sungai tidak ada,” kata Rudi menjelaskan.
Sebelum adanya deforestasi secara masif, Orang Rimba berdaulat dalam pangan. Ketahanan pangan dan keamanan pangan terjamin. Untuk mendapatkan makanan, Orang Rimba cukup berburu dan meramu sehari. Hasilnya bisa makan satu keluarga untuk waktu seminggu.
Sekarang, untuk mendapatkan gadung, Orang Rimba harus masuk ke hutan puluhan kilometer. Berbeda dengan benor, mereka harus menggali hingga 10 meter ke dalam tanah.
Keberadaan pangan lokal ini sudah terbatas, ditambah persaingan sesama Orang Rimba. Untuk saat ini, di kawasan TNBD saja, ada sekitar 2.000 jiwa dari 14 kelompok ketemenggungan atau kelompok Orang Rimba.
“Untuk (makanan) gadung dan benor, ya siapa cepat dia dapat,” tegasnya.
Pilihan terakhir untuk memenuhi kebutuhan pangan. Orang Rimba harus bercocok tanam, menanam padi, ubi, gadung dan karet. Meskipun padi ladang hanya mengandalkan hujan. Dengan hama tanaman yang meningkat.
Orang Rimba Rentan Sakit
Pada 2015, KKI Warsi bekerjasama dengan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman untuk mengkaji genetika populasi Orang Rimba dan kaitan terhadap kerentanan mereka akan penyakit.
Mereka mengambil 583 sampel darah Orang Rimba, yang telah mendapatkan persetujuan etik, para peneliti mencoba mengkaji seluruh susunan DNA di dalam mitokondria,–sebuah organel penghasil energi dalam sel tubuh Orang Rimba.
Menurut Herawati Sudoyo, peneliti utama di Eijkman, terdapat beberapa penemuan menarik dari riset itu. “Kami menemukan, genome Orang Rimba lebih homogen,” katanya.
Kondisi ini menyebabkan Orang Rimba memiliki daya tahan tubuh lebih rendah dalam menangkal penyakit dari dunia luar. “Mereka kawin mawin dengan sesama hingga daya tahan tubuh seragam,” katanya.
Ketidaktahuan Orang Rimba akan jenis penyakit juga mempengaruhi kesehatan publik mereka. Dengan demikian, masyarakat adat paling rentan di Indonesia ini menjadi rentan terserang penyakit. Beberapa jenis penyakit yang pernah hinggap di Orang Rimba di antaranya batuk, demam, muntaber, cacar, diare, malaria, DBD, TBC, hepatitis B, kanker dan ginjal.
Kasus ginjal bocor yang dialami Anik (15) bukan kasus pertama di Orang Rimba. Tahun lalu, ada kelompok Orang Rimba di Sarolangun yang menderita ginjal dan meninggal dunia. Kasus penyakit serius di kelompok Tumenggung Minan, tempat Anik tinggal sudah berkali-kali terjadi. Di antaranya meninggal dunia karena TBC 2 orang dan meninggal karena kanker mulut 1 orang.
Pemerintah desa pernah berinisiatif akan merumahkan kelompok Tumenggung Minan. Hanya saja, kata Kepala Desa Rejosari, Yuli Widodo pengadaan rumah Orang Rimba terganjal pengadaan tanah. Untuk merumahkan Orang Rimba, kata Widodo membutuhkan tanah seluas 1 hektar.
“Tanah di sini itu mahal, 1 hektarnya itu Rp200 juta. Uang sebesar itu, dari mana kami dapat,” kata Widodo.
Orang Rimba yang berada di wilayahnya hanya sembilan kepala keluarga, untuk jumlah jiwanya, kata Widodo dia belum memiliki data pasti. Kemungkinan lebih dari 30 orang, itu sudah termasuk anak-anak.
Induk Lereh menuturkan dirinya berharap pemerintah segera membuatkan rumah untuk mereka. Dengan demikian mereka terhindar dari penyakit. Sejauh ini, kata dia sudah banyak keluarganya yang meninggal dunia karena sakit. Tidak hanya itu, anak-anak mereka tidak bisa sekolah.
“Cuma satu anak yang sekolah. Itu lah cucu aku. Yang lain dak mau sekolah. Buku sering basah. Kalau hujan masuk air dalam sudong,” kata Induk Lereh.
Orang Rimba Rutin Konsumsi Pewarna dan Pengawet
Semenjak jauh dari hutan, Orang Rimba ini sering mengonsumsi makanan dan minuman kemasan. Seharusnya ada ahli yang memberi peringatan kepada mereka, terkait bahaya makanan dan minuman kemasan, terutama anak-anak.
“Anak-anak banyak minum ale-ale atau jajan-jalan beli di warung. Karena sumber air sulit, mereka juga jarang minum,” kata Widodo.
Program desa untuk memenuhi gizi mereka, kata Widodo, tetap ada tapi tidak bisa rutin. Program untuk mereka dari desa untuk anak-anak paling banter ada di posyandu. “Kita kasih mereka vitamin dan makan-makanan bergizi saat ada kegiatan posyandu PKK setiap 3 bulan sekali,” katanya.
Kebanyakan orang yang datang mengunjungi mereka membawa minuman manis instan, sehingga mereka jadi gemar dengan minuman itu. Namun, tanpa disadari, karena jarang minum air putih, berpotensi penyakit ginjal. Sumber air mereka di kebun sawit ini paling rawa-rawa dan genangan-genangan air yang ada di sekitar kebun sawit.
“Kami ambil air di rawa-rawa di bawah itu. Tidak ada sumber air lagi. Ya banyak bekas pupuk atau pestisida yang masuk ke situ. Tapi kami dak punya sumher air lain lagi,” kata Induk Lereh sembari makan sirih di sudong.
Ia mengatakan anak-anak memang suka minum yang dibeli di warung-warung. Sehari-hari ada minum air putih, tapi anak-anak lebih banyak mengonsumsi minuman manis kemasan. “Ya harganya murah, mudah didapat dan anak-anak memang suka. Kami orangtua susah kasih tau (nasihat),” kata Induk Lereh.
Kehilangan Hutan Pangkal Persoalan
Sebaran orang rimba terbagi dalam dua lokasi, yakni orang rimba yang hidup di dalam kawasan hutan TNBD, lalu mereka yang tinggal dalam konsesi hutan tanaman industri (HTI) dan hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit.
Data terakhir KKI Warsi, jumlah Orang Rimba sekitar 5.270 jiwa. Dari angka itu, lebih dari 60 persen berada di wilayah konsesi HTI dan HGU perkebunan sawit yaitu 3.162 orang dan di dalam kawasan hutan TNBD sebesar 2.108 orang.
“Orang rimba yang di luar hutan tidak memiliki persediaan pangan lokal seperti gadung, benor, dan ubi. Tetapi makan mi, beras, dan roti. Ini yang membuat mereka kelaparan apabila tidak memiliki penghasilan. Mereka sangat bergantung pada uang,” kata Reni.
Di sana tidak tersedia makanan, seperti gadung, benor, dan umbi-umbian. Secara ekonomi, orang rimba yang berada di luar hutan sangat rentan dan membutuhkan penguatan ekonomi dari pemerintah.
Sebab mereka sudah terlepas dari hutan dan bersaing dengan masyarakat umum untuk mencari penghidupan. Orang rimba telah menjadi korban perekonomian Indonesia. Pada medio 1970 untuk kepentingan ekonomi kelompok transmigran, hutan Orang Rimba ditebang ribuan hektare.
Selanjutnya, untuk perkebunan sawit dan HTI pada 1980 hutan habis dibabat. Biodiversitas juga terancam oleh alih fungsi lahan. Dalam rentang 20 tahun, ekosistem Bukit Duabelas menyusut 60.000 hektar. Tahun 1989, luas ekosistem hutan itu masih 130.308 hektar. Tahun 2009 tersisa 60.483 hektar. Tahun 2021, luasnya tinggal 48.796 hektar.
“Kalau dihitung dari 1970, tentu angkanya lebih tinggi,” katanya.
Kehidupan orang rimba sangat sulit, karena mengubah kebiasaan yang awalnya ekonomi bergantung dengan hutan. Harus mencari penghidupan di luar hutan. Dengan begitu mereka harus bersaing dengan orang luar. Sementara mereka tidak memiliki sumber daya; tidak memiliki tanah, pendidikan, keterampilan dan modal usaha.
Sejak hilangnya hutan menjadi HTI dan HGU perkebunan sawit, orang rimba hanya hidup dari berburu babi, mengumpulkan brondol sawit dan pinang, mencari petai, jengkol, sampai pengumpul barang bekas.
Bahkan sebagian dari mereka menjadi pengemis di desa, kota kabupaten, kota provinsi, serta terkadang juga sampai ke provinsi di luar Jambi seperti Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan. dan Bengkulu.
Dicap Pengemis dan Pencuri Sawit
Aktivitas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari orang rimba, kata Reni, kerap kali menimbulkan permasalahan dan resistensi dari pihak perusahaan HTI dan perkebunan sawit serta masyarakat desa.
Tidak jarang pihak perusahaan dan masyarakat desa menyebut orang rimba sebagai penyakit sosial. Mereka dianggap pencuri karena mengumpulkan brondol atau buah sawit yang jatuh saat panen.
Sedangkan bagi orang rimba mengumpulkan brondol sawit, barang bekas, maupun hasil pertanian lainnya adalah bagian dari aktivitas budaya meramu orang rimba. Namun bagi pihak perusahaan dan masyarakat luar itu dianggap pencurian. Adanya perbedaan budaya dan kesenjangan pengetahuan antara orang rimba dengan perusahaan dan masyarakat transmigrasi memunculkan konflik horizontal yang menelan korban jiwa.
Menurut catatan KKI Warsi, selama 20 tahun terakhir (1997-2017) terdapat 25 kali konflik antara orang rimba dengan masyarakat desa dan pihak perusahaan yang menewaskan sedikitnya 18 jiwa Orang Rimba.
Semua konflik bermula dari hilangnya sumber daya penghidupan orang rimba. Lantaran mereka menjadi pengemis dan pemungut barang bekas. Kondisi ini kerap memicu gesekan yang berunjuk pada konflik.
Selama ekonomi orang rimba tidak membaik dan timpang, maka dampak sosial dengan masyarakat desa akan sulit dikendalikan.
Selanjutnya, Antropolog KKI Warsi, Robert Aritonang menyebutkan, penebangan hutan untuk perkebunan sawit, HTI, dan lahan transmigrasi membuat kehidupan ekonomi orang rimba mengalami perubahan.
Pada awalnya, orang rimba menerapkan sistem barter, tidak bergantung dengan uang dan sistem ekonomi. Kala itu, orang rimba sangat tertutup dan membatasi diri dari dunia luar hutan.
Namun pada 1970, ketika hutan habis dibabat, terjadi interaksi antara orang rimba dan orang luar. Hal ini turut memengaruhi sumber ekonomi orang rimba yang bergantung pada hasil hutan terutama jernang, balam, rotan, madu, dan damar.
Sedangkan untuk konsumsi, orang rimba berburu dan bertanam ubi kayu. Semua itu semakin sulit dilakukan di hutan. Selain orang rimba kesulitan beradaptasi dengan perubahan, mereka menerima tekanan diskriminasi dalam aspek ekonomi. Bahkan harus menghadapi serbuan kapitalisme seperti perusahaan yang dimiliki konglomerat dari Astra, Sinarmas, Asian Agri, dan Royal Lestari Utama (RLU).
“Semua hutan dan lahan menjadi hak konsesi perusahaan. Jadi ini namanya diskriminasi dan penyingkiran secara masif dan terstruktur,” ucap Robert.
Dengan masuknya kapitalisme pada kelompok Orang Rimba, mereka dipaksa bergantung dengan uang. Terutama sejak perusahaan membuka hutan dan masuknya transmigran. Hutan mereka tidak mungkin dikembalikan sedia kala, karena telah berubah menjadi perkebunan sawit dan akasia. Pilihan Orang Rimba agar tetap mampu bertahan adalah pertanian.
“Ini butuh perubahan budaya. Dalam prosesnya sangat membutuhkan dukungan modal dari pemerintah dan pihak perusahaan agar Orang Rimba mampu beradaptasi jadi petani seperti masyarakat umum,” kata Robert.
Layanan Kesehatan Masuk Hutan
Tantangan menjaga kesehatan Orang Rimba sampai ke dalam hutan, terkadang terbatas fasilitas dan terbentur budaya. Fasilitas layanan kesehatan publik membutuhkan kartu tanda penduduk (KTP). Masih ada Orang Rimba yang belum memiliki KTP.
Untuk kendala budaya, kata Rudi dari Warsi terbentur stigma ‘kesaktian’ Orang Rimba. Sehingga langkah untuk mengintegrasikan Puskesmas, agar melayani Orang Rimba tersendat. Para petugas medis memandang Orang Rimba yang berasal dari pedalaman hutan memiliki kesaktian. Bahkan dokter perempuan takut mendekati Orang Rimba takut terkena ‘pelet’, sehingga nanti ikut mereka ke dalam hutan.
Dengan demikian, integrasi secara langsung untuk menghubungkan Orang Rimba dan Puskesmas menemui jalan buntu. Warsi berinisiatif membentuk Fasilitator Kesehatan Orang Rimba dengan merekrut tenaga medis.
Rusli Efendi salah satunya. Dia mendedikasikan dirinya untuk memberi pelayanan kesehatan dasar kepada Orang Rimba. Dalam bahasa Orang Rimba, orang yang bisa membantu menyembuhkan penyakit seperti Rusli dikenal dengan sebutan lokoter.
Rusli menjadi Fasilitator Kesehatan Orang Rimba sejak tahun 2015, selama 20 hari di setiap bulanya, Rusli menghabiskan waktu di pemukiman Orang Rimba. Jauh dari istri dan kedua anaknya yang berdomisili di Kota Jambi. Memilih menjadi Fasilitator Kesehatan Orang Rimba, karena ia ingin mengenal lebih dalam tentang Orang Rimba.
“Dengan kita terjun sendiri kita akan paham oh Orang Rimba itu adalah kelompok marjinal dan suku adat yang baik. Cuma kita dengar di luar banyak orang memandang mereka dengan stereotip, dengan curiga, pokoknya yang buruk-buruk,” kata Rusli.
Rusli merupakan satu dari dua fasilitator kesehatan yang ada di Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, cakupan wilayah pelayanan kesehatan bagi Orang Rimba meliputi enam kabupaten yang terdapat di Provinsi Jambi.
Selama ratusan tahun eksistensi Orang Rimba, mereka baru mendapatkan nomor induk kependudukan pada pertengahan 2020 lalu. Dengan demikian, fasilitas layanan kesehatan untuk mereka baru semakin mudah. Dengan demikian, wabah Covid-19 tahun lalu, menjadi berkah bagi Orang Rimba. Untuk kebutuhan mendata Orang Rimba yang akan divaksin dan menerima bantuan dari pemerintah akibat pandemi covid-19, maka KTP diterbitkan pemerintah untuk mereka.
Untuk bisa mengakses fasilitas kesehatan di berbagai wilayah mengingat kebiasaan Orang Rimba yang berpindah-pindah, Warsi mendorong pemerintah merekognisi bahwa kelompok Orang Rimba ini tidak dibatasi sekat administrasi karena mereka suku semi nomadic.
“Puskesmas kan sudah tidak hanya ada di kota kecamatan, jadi kita mendorong pemerintah merekognisi kalau Orang Rimba tercatat sebagai pasien di Puskesmas A, kemudian mereka bergerak dan mengakses Puskesmas B, maka sistem merekognisi itu tetap membuat mereka diterima di Puskesmas B walaupun tidak tercatat sebagai pasien,” kata Rudi Syaf, Manajer Komunikasi Warsi.
Rusli berharap ada peningkatan akses kesehatan dari pemerintah terhadap Orang Rimba. Rusli mengakui bila saat ini pemerintah itu telah cukup aktif memberikan layanan ke kelompok marjinal ini namun perlu ditambah lagi intensitasnya.
“Perlu kita ketahui Orang Rimba ini belum sepenuhnya mengerti fasilitas kesehatan, butuh bimbingan secara continue. Jadi harapan kami pemerintah itu lebih memperhatikan Orang Rimba,” kata Rusli.
Sementara itu, Kepala Puskesmas Kecamatan Air Hitam, Sarolangun, Darmansyah mengatakan, secara umum mereka tidak membedakan pelayanan kesehatan kepada kelompok Orang Rimba.
“Namun pelayanan kesehatannya kan memang dia lebih khusus dari pada yang umum, karena mereka belum begitu mengerti. Jadi kami harus menjelaskan apa yang akan kami berikan. Nah baru kami layani,” kata Darmansyah.
“Pada umumnya, mereka kepinginnya dirawat bila sakitnya sudah cukup parah, sebab di Kecamatan Air Hitam ini yang dianggap rumah sakit cuma Puskesmas Pematang Kabau, jadi Puskesmas mereka bilang tetap rumah sakit,” tambahnya.
Sekali bertugas, Rusli akan menghabiskan waktu lebih dari setengah bulan untuk bersafari ke pemukiman Orang Rimba yang membutuhkan pelayanan kesehatan, segala macam peralatan kesehatan dan obat-obatan pun disiapkan, untuk mengunjungi dan memeriksa kondisi kesehatan dari kelompok-kelompok Orang Rimba.
Kabupaten yang paling sering dikunjungi Rusli adalah Sarolangun, wilayah ini merupakan kawasan dengan populasi Orang Rimba terbanyak di Provinsi Jambi. Jumlah Orang Rimba di Kabupaten Sarolangun mencapai lebih dari dua ribu orang, atau sekitar 42 persen dari jumlah populasi Orang Rimba.
Untuk mencapai Kabupaten Sarolangun, harus menempuh jarak sekitar 200 kilometer dari pusat Kota Jambi, dengan waktu tempuh sekitar enam hingga tujuh jam perjalanan menggunakan kendaraan roda empat. Waktu perjalanan tersebut belum termasuk waktu tempuh Rusli jika harus berjalan kaki di tengah hutan.
Orang Rimba tergolong dalam kelompok yang rentan terkena penyakit, hal tersebut disinyalir karena gaya hidup yang mereka jalani. Kondisi ini juga makin diperparah karena mereka makin terusir dari ruang hidupnya.
“Penyakit umum yang kerap ditemukan pada Orang Rimba mulai dari batuk, flu hingga hepatitis dan malaria,” kata Rusli.
Setiap akan mengobati Orang Rimba, Rusli terlebih dahulu harus mendapat izin atau restu dari Kepala Kelompok Orang Rimba atau dikenal dengan sebutan tumenggung — seseorang yang dipilih secara musyawarah adat untuk memimpin kelompoknya. Seorang tumenggung bertanggung jawab atas penerapan hukum adat bagi kelompoknya, termasuk kepada siapa saja mereka boleh berinteraksi. Seperti Rusli yang datang dari luar kelompok mereka.
Rusli bertugas untuk memeriksa Orang Rimba yang memiliki keluhan penyakit, cara yang dilakukan salah satunya dengan membuka posko pemeriksaan tak jauh dari pemukiman Orang Rimba.
“Penanganan yang kita lakukan, kita memberikan pelayanan dasar, biasanya kita berikan sesuai dengan sindrom misalnya mereka batuk kita berikan obat batuk, nah itu kita pantau. Kita pantau beberapa hari, karena kita di sini bersama mereka itu bisa seminggu bahkan bisa lebih dari itu, dua puluh hari juga bisa,” kata Rusli.
Berbagai keluhan Rusli terima dengan memberikan obat-obatan dasar untuk memulihkan penyakit Orang Rimba, “Jika Orang Rimba membutuhkan pengobatan serius, maka pasien akan dibawa ke Puskesmas untuk mendapat penanganan lanjutan,” kata Rusli.
Terkadang Rusli juga mengunjungi kediaman Orang Rimba jika mereka tak berkesempatan untuk datang ke posko pemeriksaan, Orang Rimba hidup bersama kelompok kecil yang biasanya berjarak tak jauh dengan kelompok Orang Rimba lainnya.
“Kan kegiatan kita pelayanan kesehatan, lokasi mereka kan pindah-pindah. Kadang kalau misal di tempat yang ada fasilitasnya mereka ke sini. Cuma kalau mereka gak ada ya kita tetap nyamperin mereka. Nah itu yang kadang menjadi kesusahan kita karena mereka berpindah-pindah,” kata Rusli.
Biasanya saat turun ke lapangan, Rusli bersama seorang sopir akan membawa mobil ambulance double gardan, terkadang juga ia hanya menunggang kendaraan roda dua dari Kota Jambi.
“Kalau misal jalanya kita prediksi kecil, kita gunakan sepeda motor, kalau gak ya kita jalan kaki. Pengalaman saya pernah dua hari satu malam itu perjalanan di lapangan untuk mengunjungi mereka,” kata Rusli.
Sebenarnya tak sedikit Orang Rimba di sekitar kawasan TNBD yang sudah mendapatkan rumah semi permanen dari pemerintah sebagai tempat tinggal. Namun dengan kebiasaan hidup yang berpindah-pindah, rumah-rumah tersebut hanya menjadi tempat singgah sementara bagi mereka. Orang rimba yang tinggal di lokasi seperti ini, biasanya tak jauh dari pedesaan, hal ini memudahkan mereka pergi ke pasar, untuk menjual hasil tanam atau buruan mereka.
Selain menjangkau Orang Rimba yang tinggal tak jauh dari pedesaan, Rusli juga mendatangi Orang Rimba yang tinggal di kawasan perkebunan kelapa sawit milik perusahaan. Alih fungsi hutan menjadi perkebunan, memaksa Orang Rimba harus tinggal di kawasan perkebunan. Perubahan lingkungan seperti ini turut menjadi faktor yang menggerus persediaan dan lahan Orang Rimba mencari makan, termasuk berdampak kepada kesehatan Orang Rimba.
Tradisi Besesandingon Menolak Wabah
Sudah menjadi tradisi Orang Rimba untuk menghindari penyakit, terutama penyakit yang bisa menular dengan cepat bahkan bisa menimbulkan kematian. Wabah penyakit yang menyebar dengan penyakit, disebut Gelabah, oleh Orang Rimba. Tradisi menghindari wabah dikenal dengan sebutan Besesandingon. Dengan adanya tradisi ini, tidak ada Orang Rimba yang terserang Covid-19, beberapa waktu lalu.
Gelabah muncul sejak pembukaan lahan besar-besaran di era 1980an, gelabah datang silih berganti dengan gejala berlainan. Ada cacar, diare, muntaber, flu dan malaria. Gelabah mengambil nyawa banyak kerabat dan sanak saudara.
Untuk penyakit menular, Orang Rimba menerapkan besesandingon, strategi pembatasan sosial (social distancing) yang diterapkan turun menurun oleh Orang Rimba.
Sejumlah studi antropologi menyebutkan, sistem sosial yang sangat ketat ini untuk mencegah penyakit baru datang meluas dalam komunitas mereka. Setiap orang yang memiliki gejala penyakit baru akan dijauhi (cenenggo). Ada ataupun tidak terjadi gelabah, setiap orang baru yang ingin masuk ke wilayah mereka wajib menjaga jarak dan bermalam beberapa hari sejauh 15-20 meter dari sudong orang Rimba.
“Semua untuk membuktikan, mereka tidak membawa penyakit,” kata Adi Prasetijo, antropolog dari Universitas Diponegoro, Semarang. Prasetijo mempelajari Orang Rimba selama 20 tahun terakhir.
Prasetijo bilang, Orang Rimba memandang dunia dalam dua bagian: dunia Orang Rimba sendiri (dalam hutan) dan dunia Orang Terang, seperti orang-orang Melayu dan masyarakat lain di luar hutan.
Mereka percaya, segala sesuatu dari dunia luar selalu membawa penyakit. Semua ini berasal dari konsep “layu,” atau mati. Orang Rimba melihat orang-orang di luar mereka sebagai me-layu, orang-orang yang menyebabkan kematian,–tentunya melalui penyakit.
“Sudah dari dulu, ratusan tahun sejak nenek moyang, kami paling takut dengan gelabah,” kata Meriau di Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi.
Selama ini, besesandingon terbukti efektif melindungi Orang Rimba dari wabah yang meluas. “Sudah jadi bagian dari kosmologi Orang Rimba untuk menghindari penyakit. Terlepas dari ada atau tidaknya pandemi,” kata Prasetijo.
Meski begitu, seiring penyusutan hutan, para ahli meyakini besesandingon tidaklah cukup melindungi orang rimba dari gelabah maupun penyakit lainnya, terutama mereka yang tinggal di perkebunan sawit dan hutan tanaman industri.
Jalo, Depati Kedundung Mudo menuturkan untuk menjalankan tradisi besesandingon, Orang Rimba membutuhkan hutan yang luas. Pasalnya, setiap orang atau kelompok ketika berada dalam hutan, harus menjaga jarak, setidaknya terhalang bukit atau sungai.
Ketika sedang menjalani besesandingon, apabila ada keperluan mendesak, misal, membeli bahan makanan, mereka pilih orang paling kuat secara fisik, untuk keluar dan bertemu orang luar.
Pulang dari luar, katanya, kalau dalam keadaan sehat, selama tiga hari membangun sudong berjarak 15-20 meter dari sudong lain. Bahkan, harus membangun sudong di balik bukit atau seberang sungai. Makanan yang dibawa pulang ke hutan, untuk bahan tidak basah akan direndam dalam air selama 3-5 jam. Untuk makanan basah, akan dijemur seharian.
Pernah terjadi, saat pulang dari luar, ada yang batuk. Dia harus mengantarkan makanan di titik terjauh dari sudong. Kemudian, dia diminta pergi dari hutan melewati jalan baru, bukan jalan yang ada. Untuk makanan yang dibawa orang sakit karena dari luar tadi, kata Jalo, harus didiamkan, tak boleh disentuh siapapun, sampai terkena embun.
Maria Kristiana Norad, Fasilitator Kesehatan Orang Rimba dari KKI Warsi, mengatakan, besesandingon Orang Rimba sangatlah ketat. Meski mereka sudah mengenal Maria sejak 2015, tetaplah sulit bagi Maria diterima masuk ke wilayah Orang Rimba.
“Saat pandemi pertama kali, Orang Rimba langsung menerapkan aturan adat yang sangat ketat. Kalau melanggar bisa denda kain, diusir, bahkan ada yang mengancam, orang luar masuk ke tempat mereka, akan ditembak,” katanya.
Dalam menjalankan tradisi besesandingon Orang Rimba masuk jauh ke pedalaman hutan, melarang orang asing berkunjung, tidak pergi ke lembah bertemu dengan orang luar. Misal, ada yang demam disertai batuk, langsung cenenggo atau diasingkan oleh kelompoknya, dengan membuat sudong terpisah. Anggota keluarga yang sakit tetap dirawat namun dengan jarak aman 10-15 meter (besesulangon).
Untuk kasus penyakit menular tuberkulosis, kata Sukmareni yang menyerang Orang Rimba yang hidup di perkebunan sawit, sulit untuk menerapkan besesandingon. Untuk melakukan besesandingon agar wabah tidak meluas, Orang Rimba membutuhkan hutan.
Tanpa Hutan Hilang Pengetahuan Ramuan Obat
Ketika ditanya ramuan obat, spontan Induk Lereh menyebut akar pasak bumi (Eurycoma Longifolia Jack). Ingatannya melayang pada peristiwa 30 tahun lalu, ketika anaknya, mengalami demam kuro atau malaria.
Orang Rimba di kelompoknya gempar, melihat anak Induk Lereh demam tinggi, tubuhnya kejang-kejang dan kedua matanya terbelalak. Kala itu belum ada pengobatan modren yang masuk ke rimba. Maka, Induk Lereh, merebus akar pasak bumi, lalu diminumkan ke anaknya. Tak berapa lama, demam tinggi yang dialami anaknya reda.
Selain akar-akaran, kata Induk Lereh ada banyak tanaman obat di dalam hutan. Misalnya cendawan hahati (Polyporus sp) untuk obat sakit kuning. Untuk menggunakan cendawan ini, harus dipanaskan dan dihaluskan terlebih dahulu. Serbuknya dicampur daun tembakau yang telah dibakar. Selanjutnya, dicampur dengan minyak lalu digosok-gosokkan di sekujur tubuh anaknya.
Selanjutnya ada daun Sengkubung atau sengkrubungon (Macaranga gigantea) untuk mengobati diare. Kulit batangnya diambil lalu direbus bersama segelas air sampai mengeluarkan getah berwarna merah, yang keluar dari pori-pori kulit kayu. Air berwarna kemerahan itulah yang diminum sebagai obat. Rasanya agak sepat dan pahit, tetapi manjur untuk mengobati penyakit.
Menurut Induk Lereh, pengetahuannya tentang meramu obat diwariskan secara turun-temurun. Pengetahuan awal mereka dapatkan dari petunjuk Dewa yang hadir lewat mimpi. Begitu pula sejumlah petunjuk mengenai bahan-bahan yang digunakan dan cara pengolahannya.
Meramu obat membutuhkan ketepatan bahan, takaran, serta cara mengolah. Kalau bahannya kurang, kata Induk Lereh, manfaatnya bisa berbeda. Tak jauh beda dengan prinsip orang modern dalam meracik obat kimia.
Dua dasawarsa lalu, tim gabungan peneliti dari LIPI, Departemen Kesehatan, dan IPB menggelar ekspedisi Biota Medika di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Dengan bantuan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, tim menjelajah Bukit Duabelas yang kala itu masih berstatus Cagar Biosfer.
Tim menginventarisasi biodiversitas flora fauna dan cendawan yang digunakan Orang Rimba sebagai bahan obat. Hasilnya, ada 137 jenis obat dari alam yang mujarab untuk mengobati beragam jenis penyakit yang umum diderita Orang Rimba. Mulai dari penyakit kulit, masalah pencernaan, hingga penyakit dalam.
Bahan obat itu terdiri dari 101 jenis tumbuhan yang dapat digunakan untuk mengobati 54 jenis penyakit. Selain itu, ada 9 jenis satwa yang organnya ampuh mengobati 11 jenis penyakit. Ada pula 27 jenis cendawan untuk mengobati 24 macam penyakit.
Bagian yang digunakan untuk bahan obat bervariasi. Mulai dari akar, kulit batang, daun, jamur, hingga organ tertentu pada satwa. Begitu pula cara pengolahannya yang beragam. Misalnya, bahan ditumbuk dan direbus, lalu air rebusannya diminum. Ada pula yang dibakar, dilayukan di atas perapian, atau langsung digosokkan ke bagian yang sakit.
Bergam tanaman tersebut diperkirakan mengandung zat yang dapat dimanfaatkan sebagai obat untuk sakit mata, kulit, gangguan saluran pencernaan, sakit kepala, luka luar, hingga penyakit dalam.
Kajian farmakologi dari daun sengkubung menunjukkan tanaman sejenis mahang itu mengandung flavonoid, saponin, polifenol, dan antraquinon.
Flavonoid berfungsi membantu tubuh menyerap vitamin C, mencegah dan mengobati alergi, infeksi virus, artritis, dan kondisi peradangan tertentu. Sementara itu, Saponin berfungsi sebagai antibakteri, antifungi, serta ampuh menurunkan kolesterol dalam darah dan menghambat pertumbuhan sel tumor.
Adapun polifenol merupakan antioksidan yang mengurangi angka kesakitan berbagai penyakit serius, seperti kanker, diabetes, infeksi, hingga hipertensi. Begitu pula antraquinon yang merupakan antijamur, antimalaria, antibakteri, antikanker, dan antioksidan.
Dengan demikian, hasil uji semakin menampakkan kandungan zat yang berkhasiat untuk mengobati penyakit tertentu. Bahkan, terungkap pula kandungan beragam senyawa lainnya. Dengan demikian, pemanfaatan tumbuhan tersebut bisa lebih luas lagi.
Untuk saat ini, kata Induk Lereh pengetahuan tentang ramuan obat telah hilang di generasi muda, khususnya setelah hutan mereka hilang dan kini hidup nomaden di perkebunan sawit. Meskipun tidak hilang, dengan tidak adanya hutan, maka Induk Lereh tidak bisa mengobati orang yang sakit.
“Kami punya ramuan obat, punya ritual pengobatan. Semua itu butuh hutan. Bahkan Dewo yang dihadirkan dalam ritual pengobatan, butuh bungo dewo (Saraca Asoca), untuk memanggilnya,” kata Induk Lereh.
“Piado rimbo piado bungo, piado bungo piado dewo,” kata Induk Lereh yang menggambarkan kegergantungan Orang Rimba dengan hutan, baik secara ruang hidup, ekonomi maupun teologis (kepercayaan).
Lantaran sudah kehilangan hutan, katanya Orang Rimba kini menerima layanan kesehatan gratis dari pemerintah. Sehingga jika ada yang batuk, cukup membawanya ke puskesmas. Setelah mendapatkan obat, biasanya akan sembuh setelah meminumnya beberapa kali.
Keragaman tumbuhan dan pemanfaatan obat alam ini bisa punah jika tidak dilestarikan. Pengetahuan lokal meramu pun terancam hilang. Serbuan penyakit ganas tak ada yang menahan. “Kami kini sakit terus. Kami dikutuk Dewo, karena hutan sudah habis. Kalau begini terus, kami akan binaso (musnah),” kata Induk Lereh lirih.