Jon Afrizal*
PDF file adalah jendela baru bagi beberapa orang, termasuk aku. Jendela untuk melihat ke banyak tempat, seluas mata yang mandang.
Begitu juga dengan sejarah sebuah negeri yang berada di bibir (sungai) Batanghari ini. Banyak hal-hal yang hilang atau pun tidak tertuliskan dalam buku-buku sejarah resmi, kini dapat ditemukan.
Ada begitu banyak penelitian yang belum sempat dibukukan (dicetak) yang akan kita jumpai. Ada pula cara baru untuk menelusuri jejak sebuah negeri, yang entah mengapa, sejarahnya menjadi kabur ini.
Sejarah bukanlah bacaan berat lagi, tetapi sudah seperti buku-buku ber-genre lainnya. Siap untuk dilahap mata dan dinikmati batin, kapanpun kita mau.
Adalah pernyataan selama ini, dimana, “Sejarah adalah milik para pemenang.” Kini, semua bisa berubah. Sejarah adalah milik siapapun yang paham untuk menggunakan teknologi dengan baik.
Jika, misalnya, sejarah yang tertuliskan adalah dengan menggunakan bahasa asing, pun juga bisa ditranslate ke Bahasa Indonesia.
Sehingga, jika selama ini sejarah adalah monopoli sebuah golongan, maka adalah memungkinkan jika saat ini kita semua bisa melakukan rekonstruksi terhadap sejarah, yang kita anggap keliru itu.
Persoalan di seputar klaim Pulau Berhala, misalnya. Jika kita memang memahami arti dari sejarah, tentunya berpulang pada ratusan tahun lalu, dimana tidak ada batas teritori Provinsi Jambi ataupun Provinsi Kepulauan Riau.
Sebab, berdasarkan peta yang dibuat di masa pemerintahan Belanda, pulau kecil yang berada di selat yang bernama sama itu adalah dalam gugusan Kerajaan Lingga.
Bagaimana mungkin, kita harus mendudukkan sebuah persoalan yang berbeda; secara jaman. Pertama adalah pada masa kerajaan, dan kedua adalah pada masa otonomi daerah. Sementara, si pembuat peta adalah pemerintah Belanda, yang telah hengkang dari Hindia Belanda, atau sekarang disebut Republik Indonesia, pada tahun 1945 hingga 1950 lalu.
Sehingga, kebingungan kebingungan terkait identitas ini dapat direkonstruksi dengan baik. Merekonstruksi sejarah, adalah, melalukan perbaikan terhadap sejarah yang tercatat secara umum di buku-buku sejarah.
Tentu butuh waktu, dan kesabaran. Sebab, perlu timbang menimbang rasa, guna menghindari pertikaian, terkait kelompok yang sebelumnya dianggap menguasai sejarah secara umum, dengan kelompok yang akan memperbaiki alur cerita sejarah ini.
Tersebab, sejarah adalah luka. Di sana ada orang kalah dan pemenang, ketertindasan dan penindas, tangisan dan tertawa. Sehingga, merekonstruksi sejarah harus diperlakukan selayak merawat luka. Hingga luka itu benar-benar sembuh, meskipun masih berbekas di tubuh. *
* Jurnalis TheJakartaPost