Puteri Soraya Mansur*
Sekitar abad 4 Masehi, kebudayaan Helenistik berkembang pesat di Semenanjung Balkan. Sebuah percampuran budaya besar di belahan dunia yang menyatukan Barat dan Timur.
Percampuran budaya Barat dan Timur pun berlangsung 14 abad selanjutnya akibat imperialisme yang disebut kebudayaan Indis. Kebudayaan Indis muncul di Hindia Belanda kisaran abad 18 hingga 20 sebagai perpaduan kebudayaan Belanda yang merepresentasikan Barat dan kebudayaan Jawa yang merepresentasikan Timur.
Mulanya hanya kebudayaan Jawa saja yang kuat menciptakan kebudayaan Indis, belakangan kebudayaan suku bangsa lainnya di Hindia Belanda pun memiliki kontribusi juga.
Arsitektur menjadi satu dari sekian objek akulturasi kebudayaan sehingga menghasilkan ragam bangunan Indis yang tersebar di seluruh kota-kota besar kala itu. Satu di antaranya ialah Kota Jambi. Bangunan Indis yang terlihat nyata terdapat dalam arsitektur Rumah Batu Olak Kemang. Bangunan tersebut disebut rumah batu lantaran rumah penduduk di Jambi pada waktu itu terbuat dari kayu. Rumah yang terbuat dari batu bata masih langka karena hanya bangunan-bangunan milik Belanda yang terbuat dari bahan itu dan mereka sering menyebutnya ‘benteng’.
Pemilik Rumah Batu Olak Kemang bernama Sayyid Idrus Al-Jufri atau dikenal Pangeran Wiro Kusumo. Seorang keturunan Arab dari Hadramaut yang memiliki pengaruh kuat dalam Kesultanan Jambi di periode akhir.
Ia juga seorang pedagang yang menjadi penghubung antara pemerintah lokal maupun pemerintah kolonial dengan pedagang-pedagang asing. Tak diragukan lagi bahwa sosoknya memiliki kekayaan yang melimpah sehingga mampu membangun rumah yang terbuat dari batu bata. Menantu dari Sultan Thaha Saifuddin itu bisa dikatakan sebagai pionir dari masyarakat non-Eropa yang membuat rumah batu.
Apabila didasarkan pada nilai-nilai estetika yang memberi kesan dan mewakili sejarah kala itu, maka romantisme Rumah Batu Olak Kemang sangat kental terasa dari dua aspek yakni arsitektur dan sejarah.
Arsitek dari bangunan yang berlokasi di tepi Sungai Batanghari itu ialah Datuk Sin Thay. Seorang pedagang dari Cina pertama yang menetap di Jambi dan menjadi mualaf sehingga keberadaannya sangat diterima oleh pihak Kesultanan Jambi yang salah satunya ialah Sayyid Idrus Al-Jufri.
Sayyid Idrus Al-Jufri mempercayakan arsitektur bangunan rumahnya kepada Datuk Sin Thay yang ternyata memadukan empat gaya arsitektur yaitu lokal, Eropa, Cina, dan Arab. Hanya saja, gaya yang paling dominan ialah lokal, Eropa, dan Cina. Unsur Arab justru nyaris tidak terlihat karena hanya ada tulisan Arab di dinding rumah tersebut.
Bangunan Rumah Batu Olak Kemang terdiri dari dua lantai yang masing-masing memberikan ciri khas dua dari tiga gaya arsitektur. Lantai satu menjadi representasi gaya Eropa dengan bahan bangunan terbuat dari batu bata, sedangkan lantai dua menjadi representasi gaya lokal dengan bahan bangunan terbuat dari kayu. Bahkan tangga di bangunan ini merupakan kombinasi dari gaya Eropa dan lokal. Bagian bawah terbuat dari batu bata sedangkan bagian atasnya terbuat dari kayu. Seolah menggambarkan bahwa ada dunia penghubung antara budaya lokal dan pendatang (Eropa dan lainnya). Apabila dikaji lebih dalam mengenai filosofi tangga sebagai ruang penghubung ini akan ditemukan perspektif baru tentang pemaknaan sebuah bangunan Indis di Jambi.
Meskipun lantai dua dipengaruhi oleh gaya lokal, namun kombinasi gaya Eropa terlihat jelas dari bentuk jendela yang tinggi dan lebar dengan dua daun jendela luar dan dalam. Pintu luar semuanya terbuat dari kayu dan pintu dalam terbuat dari kayu yang tengahnya diberi kaca. Terdapat model jendela lain sebagai kombinasi lokal dan Eropa yakni jendelanya berbentuk lebar dan tinggi dengan satu jendela yang terbelah menjadi dua mewakili gaya Eropa. Sedangkan di jendela tersebut terdapat pembatas yang terbuat dari kayu yang diukir sebagai ciri khas bangunan lokal.
Gaya Cina kental terlihat pada bentuk bangunan bagian depan yang simetris berbentuk heksagon, begitu pula bagian atapnya yang dihiasi ornamen patung-patung naga. Ornamen Cina juga ditemukan di gapura dan pintu masuk. Ornamen yang masih terlihat jelas hingga saat ini ialah naga dan bunga teratai. Relief naga terukir di kedua sisi pintu masuk dan bunga teratai berada di tengahnya. Naga sebagai simbol kekuatan, keadilan, dan kekuasaan, sedangkan bunga teratai sebagai simbol kesucian. Relief pada pintu utama itu bisa diartikan bahwa bangunan tersebut menjadi tempat sakral yang dikelilingi oleh kekuatan, keadilan, dan kekuasaan sang pemilik.
Atap gapura juga sangat khas gaya Cina dengan ornamen naga yang saling berhadapan dan ekornya yang melengkung sehingga menambah bangunan semakin estetik. Gapura dengan gaya Cina menunjukkan bahwa memang Olak Kemang dahulunya Kampung Pecinan di Seberang Kota Jambi sebelum berpindah ke Kota Jambi di Thehok yang sekarang lebih identik sebagai Kampung Pecinan.
Menurut Zulqayyim dalam disertasinya berjudul “Profanisasi dan Sakralisasi Ruang Sosial Kota Jambi, 1850-an – 1940-an”, hal tersebut dikarenakan adanya profanisasi Kampung Pecinan lama dengan Kampung Pecinan baru yang berkaitan dengan aspek kedua romantisme bangunan Rumah Batu Olak Kemang.
Aspek sejarah yang membuat Kampung Pecinan lama menjadi tidak profan salah satunya dikarenakan penggunaan Rumah Batu Olak Kemang sebagai tempat prosesi Sultan “Bayang” yakni sultan yang diangkat atas persetujuan pemerintah kolonial Belanda. Istilah itu muncul karena Sultan Thaha Saifuddin tidak mau tunduk dengan pemerintah kolonial Belanda sehingga menyebabkan peperangan panjang dan kebijakan pengangkatan Sultan “Bayang” sebagai pengganti Sultan Thaha Saifuddin dilakukan. Ada empat Sultan “Bayang” yang dinobatkan dalam Rumah Batu Olak Kemang milik Sayyid Idrus Al-Jufri yang dianggap sebagai perantara antara pihak kesultanan dengan pemerintah kolonial Belanda.
Setidaknya ada empat prosesi penobatan yang dilakukan di bangunan tersebut, meliputi pemberian gelar dan pemakaian baju kebesaran kepada Sultan dan Pangeran Ratu; penobatan raja sehari; penobatan Sultan dan Pangeran Ratu; serta penyematan Keris Singa Merjaya kepada Pangeran Ratu.
Menurut Zulqayyim, meskipun Kampung Pecinan sebagai pusat dagang telah berpindah akibat alih fungsi Rumah Batu Olak Kemang dalam penobatan Sultan “Bayang”, namun kampung tersebut menemukan identitas baru yaitu sebagai “Serambi Mekah” Kota Jambi pada perkembangan selanjutnya. Bisa diartikan bahwa dua aspek romantisme itu saling berkaitan satu sama lain hingga mengubah satu tatanan ruang sosial dalam kosmologis masyarakat Melayu Jambi.
*Puteri Soraya Mansur, alumni Magister Sejarah UGM yang mengajar di SMAN 10 Batanghari.