KILAS JAMBI – Kelompok Pengelola Hutan Adat Depati Kara Jayo Tuo, Desa Rantau Kermas, Kecamatan Jangkat Kabupaten Merangin Jambi mendapatkan penghargaan Kalpataru Kategori Penyelamat Lingkungan dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penghargaan ini akan diserahkan oleh Presiden RI pada Pembukaan Peringatan Hari Lingkungan Hidup yang diselenggarakan pada 11 Juli 2019 nanti.
Kepala Desa Rantau Kermas, Hasan Apede, mengaku bangga dan bahagia. Hutan Adat yang awalnya mereka kelola untuk mempertahankan tata guna air dan mencegah bahaya longsor di sekitar desa mendapatkan penghargaan.
“Kami mengelola kawasan ini secara arif dengan nilai-nilai adat kami. Karena memang kawasan desa kami berada di lingkung bukit. Jika kami salah kelola maka bencana yang datang, kini dengan adanya penghargaan ini menjadi nilai tambah dan penyemangat kami untuk terus menjaga hutan adat kami,” kata Hasan Apede.
Secara geografis, desa yang berada pada ketinggian 900 – 1800 meter dari permukaan laut, memiliki bentang alam perbukitan dan pergunungan serta lembah dengan sejumlah anak sungai yang memberikan pemandangan eksotik di wilayah ini. Puncak tertinggi di desa ini merupakan Gunung Masurai dan di lembahnya menghampar danau yang indah yang dikenal dengan danau Depati Empat.
Hanya saja dengan topografi ini mengharuskan masyarakat arif dalam mengelola sumber dayanya. Karena itulah sejak zaman dahulu diturunkan dari generasi ke generasi untuk melindungi kawasan terutama daerah hulu air dan daerah lereng perbukitan. Tata kelola lahan sangat menyesuaikan dengan kontur dan kondisi alam, areal persawahan di daerah lembah dan perbukitan yang tidak terlalu curam menjadi areal agroforest sedangkan yang curam dan hulu air ditetapkan sebagai daerah terlarang untuk alih fungsi.
Komitmen baik dalam menjaga kelestarian dan pengelolaan kawasan hutan, sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan mencegah bahaya longsor. Awalnya perlindungan kawasan hutan ini hanya disepakati secara lisan saja.
Secara tertulis perlindungan kawasan dengan sebutan Hutan Adat baru dilakukan pada tahun 2000 lalu. Pada saat itu masyarakat Rantau Kermas menyepakati peraturan desa nomor 01/kades/RK/3/2000 tentang kelompok pengelola, sistem pengelolaan dan pemanfaatan hutan adat.
Perdes yang ditetapkan pada tanggal 16 April 2000, hingga kini masih berlaku di masyarakat. Peraturan desa ini menjadi dasar pengajuan hak kelola hutan kepada Bupati Merangin saat itu.
Butuh waktu panjang dan pengulangan usulan supaya hutan adat Rantau Kemas yang juga kawasan penyangga TNKS ini diakui Bupati. Pengakuan Bupati datang melalui SK No.146/DISBUNHUT/2015, yang menetapkan areal seluas 130 ha yang berada di dua lokasi sebagai Hutan Adat Desa Rantau Kermas.
Pengakuan hutan adat dari Bupati Merangin diikuti dengan keluarnya SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan SK.6741/Menlhk-pskl/kum.1/12/2016 tentang penetapan Hutan Adat Marga Serampas Rantau Kermas.
“Pengakuan para pihak atas hutan adat ini merupakan bentuk penghargaan para masyarakat yang sudah mengelola hutannya dengan baik, di tengah ancaman terhadap kawasan hutan yang semakin tinggi,”kata Rudi Syaf Direktur Komunitas Konservasi Indonesia Warsi yang sudah melalukan pendampingan pada masyarakat di kawasan ini sejak 1996.
Kegiatan pertama WARSI di daerah ini melalui Pre Implementasi Program Integrated Conservation and Development Project (ICDP) pada kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Kegiatan dilanjutkan dengan pelaksanaan program ICDP yang dilakukan untuk pengembangan pembangunan terpadu dengan mengedepankan nilai-nilai konservasi.
“Kegiatan ini mensingkronkan konservasi sekaligus mampu meningkatkan ekonomi masyarakat di sekitar TNKS,”kata Rudi.
Untuk mendukung ini, WARSI juga berkegiatan di wilayah ini dengan program rempah organik dengan menghubungkan langsung petani kayu manis Rantau Kermas dengan pembeli internasional. Dilanjutkan dengan kegiatan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang memunculkan hutan adat Rantau Kermas.
“Kini masyarakat Rantau Kemas semakin mandiri dengan ekosistem yang menjadi penopang hidup mereka. Seperti listrik yang bisa dinikmati 24 jam non stop dengan bayaran yang sangat murah, juga ada pengembangan kopi Serampas yang kini menembus pasar-pasar premium, serta program pohon asuh dari Hutan Adat Rantau Kermas,” lanjut Rudi.
Pemeliharaan hutan yang dilakukan masyarakat ini, mampu memperlihatkan bahwa hutan adat yang terpelihara dengan baik, mampu untuk mencegah bahaya bencana ekologis, sekaligus mampu mendatangkan manfaat nyata bagi masyarakat sekitarnya.
Dahulu tidak pernah Orang Rantau Kermas berpikiran akan mampu mengoperasikan alat-alat elektronik yang butuh listrik, seperti mesin cuci, penanak nasi listrik, televisi dan jenis elektronik lainnya. Dengan jarak tempuh lebih dari 3 jam dari ibukota Kabupaten menjadikan desa ini sangat sulit di jangkau listrik PLN.
Namun kini hampir di semua rumah yang lebih dari 127 KK memiliki alat elektronik. Bahkan listrik dengan kapasitas 41.000 watt yang mampu dihasilkan PLTMH hanya separonya yang terserap untuk kebutuhan masyarakat termasuk saat beban puncak.
Dari air sungai yang stabil sepanjang tahun yang bersumber dari hutan adat menjadi sumber energi listrik. Sempat berganti beberapa kali alat pembangkit, dari kincir hingga kini sudah permanen dengan mikro hidro. “Kami juga tidak menyangka hanya dengan menjaga hutan kami bisa hidup seperti orang di kota, malahan kami tidak mengenal istilah ada listrik mati, full listrik kami 24 jam sehari,”kata Hasan Apede.
Apalagi semenjak Rantau Kermas yang sudah mendapatkan perda pengakuan masyarakat hukum adat Serampas dan kemudian hutan adatnya di-SK-kan oleh Menteri, keberadaan masyarakat Rantau Kermas dalam mengelola hutan semakin kuat. (rilis)