Oleh: Bahren Nurdin*
DALAM beberapa pekan terakhir, hiruk-pikuk melanda tubuh Muhammadiyah pasca diundangkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024. Regulasi tersebut membuka peluang bagi organisasi masyarakat (ormas) untuk mengelola lahan pertambangan. Saya melihat adanya pro dan kontra yang ‘membelah’ internal Muhammadiyah, dari level atas hingga akar rumput.
Tapi jangan bayangkan warga Muhammadiyah pecah dan gontok-gontokan. Tidak. Bukan begitu ‘adat’ orang Muhammadiyah dalam menyikapi suatu persoalan. Mereka akan ‘bertengkar’ dalam pandangan dan pemikiran yang kemudian akan meramaikan mimbar-mimbar akademik dengan berbagai diskusi dan seminar.
Lihat saja, kampus-kampus di bawah naungan Muhammadiyah hari-hari ini ramai dengan diskusi dengan mendatangkan para pakar dan ahli untuk mendapatkan pemikiran-pemikiran yang menyala dan berkilau seperti batu bara juga emas.
Paling tidak ada dua pandangan dasar; pro dan kontra. Bagi kubu yang mendukung, mereka berpandangan bahwa sumber daya alam berupa tambang seharusnya dikelola dengan bijaksana agar tidak menimbulkan kerusakan lingkungan yang masif.
Sebagai organisasi besar yang memiliki kapasitas manajerial dan sumber daya yang memadai, banyak pihak menilai Muhammadiyah adalah ormas paling tepat untuk mengelola pertambangan di Indonesia.
Para pendukung berargumen bahwa Muhammadiyah memiliki visi besar tentang pemberdayaan masyarakat dan pelestarian alam yang sejalan dengan pengelolaan tambang yang berkelanjutan. Dengan mengedepankan prinsip-prinsip etika, transparansi, dan akuntabilitas, Muhammadiyah dinilai mampu menjalankan aktivitas pertambangan dengan tetap menjaga keseimbangan lingkungan.
Selain itu, Muhammadiyah juga dianggap memiliki integritas moral yang tinggi serta jaringan akar rumput yang kuat di seluruh pelosok negeri. Hal ini dapat membantu organisasi ini dalam mengawasi dan mengontrol kegiatan pertambangan agar tidak merugikan kepentingan masyarakat sekitar.
Dengan rekam jejak panjangnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, para pendukung yakin Muhammadiyah mampu mengoptimalkan pengelolaan tambang untuk kesejahteraan umat.
Keuntungan dari aktivitas pertambangan dapat dimanfaatkan untuk membiayai program-program sosial Muhammadiyah yang telah berjalan maupun yang akan dikembangkan di masa depan.
Namun, di sisi lain, kubu yang kontra mengkhawatirkan regulasi ini justru menjadi ‘jebakan batman’ yang akan menjerumuskan Muhammadiyah dalam framing negatif. Kelompok ini mengajukan fakta bahwa selama ini Muhammadiyah telah menjadi organisasi terkaya di dunia tanpa harus mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia.
Bagi kelompok ini, keterlibatan Muhammadiyah dalam pengelolaan tambang berpotensi memicu kontroversi dan menuai kecaman dari banyak pihak. Mereka khawatir citra Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang menjunjung nilai-nilai spiritualitas akan tercoreng dengan aktivitas eksploitasi sumber daya alam yang rentan menimbulkan kerusakan lingkungan.
Selain itu, mereka juga mempertanyakan kapasitas dan keahlian Muhammadiyah dalam menangani operasi pertambangan yang kompleks. Mereka mengkhawatirkan jika pengelolaan tambang tidak dilakukan secara profesional, maka berpotensi terjadi berbagai permasalahan seperti pencemaran lingkungan, konflik dengan masyarakat lokal, hingga praktik bisnis yang tidak etis.
Lebih jauh lagi, kelompok ini menyoroti kekhawatiran bahwa keterlibatan Muhammadiyah dalam pertambangan dapat membuka peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan dan praktik korupsi. Mereka mengkhawatirkan jika terjadi penyelewengan, maka kepercayaan publik terhadap Muhammadiyah sebagai organisasi yang bersih dan berintegritas akan runtuh.
Dalam diskusi-diskusi ilmiah yang elegan dan akademis –ciri khas warga Muhammadiyah– kekhawatiran yang kerap mencuat adalah narasi bahwa “Muhammadiyah kaya karena mengeksploitasi SDA dan merusak alam”. Sebagian berpendapat, alih-alih terjun ke tambang, Muhammadiyah lebih baik fokus pada jalur yang selama ini telah dilaluinya.
Kehebatan Muhammadiyah dalam menjalankan organisasinya telah diakui dunia. Jangan sampai “gegara nila setitik, rusaklah susu sebelanga”, di mana nilai yang didapat dari tambang tak seberapa, namun menghilangkan jerih payah organisasi selama ini.
Namun demikian, saya percaya Muhammadiyah telah memiliki mekanisme yang sangat apik dalam mengambil keputusan. Begitu banyak orang pintar, cerdas, dan bijaksana dalam tubuh organisasi ini. Rasanya tidak mungkin Muhammadiyah akan bertindak semberono dalam merespons isu sensitif ini.
Apa pun keputusan dan sikap yang diambil Muhammadiyah kelak, pasti telah melewati pertimbangan terbaik. Muhammadiyah akan tetap menjadi Muhammadiyah yang elegan, penuh pembaruan, dan berkemajuan.
Muhammadiyah telah menunjukkan dedikasinya yang begitu besar dalam memperjuangkan kemajuan bangsa dan umat manusia. Sepanjang sejarahnya, organisasi ini telah mengukir tonggak-tonggak monumental, baik di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, maupun pemberdayaan masyarakat. Integritas moral dan visi kemanusiaan Muhammadiyah telah diakui oleh dunia internasional.
Sudah selayaknya kepercayaan diberikan sepenuhnya kepada pengurus Muhammadiyah untuk mengambil keputusan terbaik terkait isu pengelolaan tambang ini. Dengan khazanah keilmuan dan kebijaksanaan yang dimiliki, tentu Muhammadiyah akan menemukan jalan terbaik agar kepentingan organisasi, bangsa, dan umat manusia secara universal dapat terwadahi dengan baik. Semoga.
*Wakil Ketua; Pimpinan Ranting Istimewa NSW, Australia