Pilkada Jambi dan Para Pendengung

Oleh: Herri Novealdi *)

DUA kali sudah digelar debat kandidat Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jambi. Pertama kali 24 Oktober 2020 lalu. KPU menyelenggarakan debat, dan ketiga calon gubernur Jambi yang naik panggung.

Sabtu (21/11) kemarin, debat kandidat lagi. Giliran ketiga calon wakil gubernur Jambi yang dipertontonkan adu argumen, dan diperdengarkan komitmen mereka.

Dari perjalanan dua kali debat kandidat siapa unggul? Alat ukurnya tentulah banyak. Untuk menilai mestilah juga objektif.

Kemampuan berkomunikasi, penguasaan materi, seberapa realistis dan berkualitas visi misi, serta seperti apa gaya kepemimpinan, adalah yang perlu dinilai. Di samping memang banyak lagi hal lain yang perlu dinilai.

Tapi bukan bermaksud mengecilkan hal krusial tersebut. Di sisi lain sebenarnya juga terjadi yang tak kalah menarik sebenarnya. Lihat di dua kali debat kandidat. Bagaimana kerumunan di media sosial terjadi. Sampai-sampai ada yang bilang bahwa lebih seru melihat perbincangan di media sosial tentang debat ketimbang acara debatnya itu sendiri.

Ada yang menulis Cek Endra-Ratu Munawwaroh unggul, ada juga yang menyebut Fachrori Umar-Syafril Nursal unggul, ada juga menyebut Al Haris-Abdullah Sani yang unggul. Semuanya menyampaikan pendapatnya masing-masing. Semua mengklaim paling benar dan sesuai fakta objektif. Entah mana yang benar.

Ujung-ujungnya kita kesulitan mencari penilaian objektif terkait hasil debat kandidat. Terutama siapa yang unggul saat debat, atau yang lebih jauh lagi, siapa yang layak kita pilih di Pilkada Jambi.

Memang tak juga juga tepat kalau mengandalkan media sosial untuk mencari hasil penilaian debat. Tentulah yang paling pas adalah dengan bertanya ke ahlinya atau ada pihak maupun lembaga melakukan penilaian objektif. Tapi belakangan itu dirasa sulit dicari di Jambi.

Sementara kita tidak bisa mengingkari fakta sekarang adalah era disrupsi. Di tengah masyarakat, media sosial menjadi salah satu tempat mencari informasi, dan di sisi lain ada orang-orang yang sedang aktif “bekerja”  membangun, mengarahkan opini ataupun menggoreng isu. Mereka yang bekerja itulah para pendengung, atau istilah kerennya buzzer. Bisa dilihat di Facebook misalnya, yang banyak digunakan masyarakat Jambi.

Di Pilkada Jambi kali memang sudah diwarnai itu. Lihat bagaimana pendengung membangun dan menciptakan opini tertentu. Bisa diperhatikan sendiri dengan saksama, bila kita mau.

Buzzer dan Echo Chamber

Buzzer berarti lonceng, bel, atau alarm. Awalnya ini dimaksudkan untuk mengumpulkan banyak orang di suatu tempat dan tujuannya untuk menyampaikan pengumuman.

Tren pendengung sejatinya terjadi sejak tahun 2009. Awal kemunculannya untuk tujuan promosi merek maupun produk di media sosial. Jadi lebih pada konteks pemasaran suatu produk. Mereka adalah individu ataupun akun media sosial yang punya kemampuan mengamplikasi pesan yang bergerak.

Motifnya bisa karena bayaran, atau karena atas dasar sukarela mempromosikan sesuatu. Belakangan fenomena pendengung berubah. Mereka masuk dalam urusan politik untuk mempengaruhi persepsi ataupun membangun opini di tengah masyarakat. Bahkan khusus untuk urusan politik, bisa lebih dari itu.

Fenomena pendengung dalam momen politik mulai dirasakan masyarakat Indonesia saat kontestasi Pilkada DKI 2012.  Fanatisme publik terbangun dan terlihat begitu kentara saat Pilkada DKI saat itu. Fenomena itu pun berlanjut saat Pilkada DKI Jakarta berikutnya dan di gelaran pemilihan presiden yang dampak polarisasinya masih terasa sampai sekarang.

Terlihat betul di sejumlah media sosial publik terpolarisasi secara ekstrem karena terbangun fanatisme luar biasa. Dan ini tentu ada kaitannya dengan para aktivitas pendengung selama tahapan Pemilu berlangsung.

Aktivitas pendengung tersebut tak bisa dilepaskan dengan efek echo chamber (ruang gema). Dengan echo chamber pengguna media sosial terhubung dengan orang-orang berpikiran serupa.

Saat mendapatkan informasi di media sosial, mereka mendapat dukungan dari rekan yang berpikiran serupa. Akan terus berulang hingga pengguna media sosial percaya bahwa inilah fakta sesungguhnya.

Dengan kata lain, pengguna media sosial bisa dengan mudah percaya, meskipun tak melihat langsung suatu peristiwa. Mereka menganggap dukungan mayoritas temannya di media sosial mewakili suara orang banyak.

Padahal belum tentu. Mereka tak sadar sudah terkelompok dalam massa yang homogen di media sosial karena internet filter bubbles. Dalam Pilkada di Jambi fenomena ini terlihat sekali.

Terlebih karena gelaran Pilkada di Jambi kali ini tak persis seperti sebelumnya. Di tengah pandemi Covid-19 membuat kandidat dan tim sukses juga sangat mengandalkan saluran media sosial untuk mencitrakan dirinya.

Bisa dilihat sendiri bagaimana sejumlah media sosial sangat dimanfaatkan pada Pilkada Jambi. Memang Pemilu terdahulu pemanfaatan media sosial juga dimaksimalkan. Tapi tentunya pada Pilkada kali ini, makin berpengaruh terhadap masyarakat. Karena Covid-19 membatasi pertemuan secara tatap muka.

Di sinilah menjadi titik krusialnya. Bagaimana jika publik justru hanya mendapat informasi hanya dari media sosial. Itupun informasi yang disebarkan oleh kumpulan para pendengung. Syukur-syukur kalau memang informasi itu fakta.

Yang justru menjadi rentan adalah bila sebuah informasi dibangun atas dasar misinformasi, disinformasi, ataupun konten fabrikasi. Publik sangat berisiko terpapar informasi tersebut.

Arena dua kali debat kandidat itulah contohnya. Masing-masing tim sukses pendukung menyebarkan informasi sebanyak-banyaknya di media sosial: Bahwa kandidatnya-lah yang memenangi perdebatan; bahwa kandidatnya-lah paling mewakili keinginan masyarakat; ataupun bahwa kandidatnya-lah yang terhebat.

Akhirnya, masyarakat jadi bingung karena ulah para pendengung. Penilaian subjektif dan objektif seolah menjadi sulit dipilah. Padahal kita tentu ingin mendambakan sekali masyarakat Jambi memilih memang atas dasar hati nurani dan karena alasan objektivitasnya.

Dan sekarang, kita patutlah khawatir dengan dampak yang dibuat oleh orang–yang disadarinya atau tidak–sudah menerapkan doktrin Joseph Goebbels di era Nazi dulu. Kebohongan yang dikampanyekan secara terus-menerus dan sistematis akan berubah menjadi (seolah-olah) kenyataan. Sedangkan kebohongan sempurna, adalah fakta kebenaran yang dipelintir sedikit saja.

* Penulis adalah jurnalis/akademisi. Tinggal di Jambi.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts