KILAS JAMBI – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jambi memperingati HUT ke-13 di Taman Budaya Jambi, Kamis (21/11). Kegiatan ini bukan hanya menjadi momen untuk merayakan Sejarah dan perjalanan AJI, tetapi juga sebuah ajang untuk mengingatkan kembali tentang perjuangan hak asasi manusia khususnya bagi masyarakat adat yang kerap kali terpinggirkan.
Suwandi, Ketua AJI Jambi dalam sambutannya berbicara tentang perjalanan panjang yang telah dilalui oleh AJI sebagai organisasi pers yang hadir di masa Orde Baru. Sebuah organisasi yang tidak hanya bergerak di bidang sosial, tetapi juga berjuang untuk mengatasi berbagai masalah lingkungan dan hak-hak dasar masyarakat adat.
Suwadi menegaskan bahwa perjuangan untuk masyarakat adat, adalah perjuangan yang tidak mudah. “Kami tidak berjalan sendiri dalam perjuangan ini. Kami didukung oleh jaringan aktivis lingkungan di Jambi yang memiliki visi misi yang sama,” katanya.
Memperjuangkan hak-hak masyarakat adat yang sering kali terabaikan, katanya, terutama mereka yang tinggal di sekitar hutan, sering kali tidak mendapat kesempatan yang layak untuk memperoleh hak-hak mereka yang seharusnya dipenuhi oleh negara.
Lebih lanjut, ia mengkritik kebijakan yang memberikan izin kepada perusahaan untuk mengeksploitasi hutan-hutan yang seharusnya menjadi rumah bagi masyarakat adat.
“Ini adalah masalah besar. Hutan-hutan yang diberikan izin kepada perusahaan-perusahaan besar sering kali tidak mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat adat yang berada di pinggir hutan. Seharusnya mereka menjadi tuan rumah, bukan malah terpinggirkan,” katanya.
Pesan kuat yang disampaikan Suwadi adalah pentingnya memastikan bahwa hak-hak masyarakat adat, terutama yang berada di pinggiran hutan tidak diabaikan. Ia memperingatkan bahwa kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh deforestasi dan emisi karbon dari aktivitas perusahaan berpotensi membantu peningkatan iklim global.
“Jika kita tidak hati-hati, ini akan merusak iklim kita, dan tentunya akan berdampak pada kehidupan kita semua,” ujarnya.
Selain isu hak masyarakat adat dan lingkungan, Suwadi juga menyoroti masalah lain yang semakin berkembang di era digital ini yaitu misinformasi dan disinformasi.
“Teknologi saat ini memungkinkan kita untuk memproduksi dan menyebarkan informasi dengan sangat cepat. Tetapi, di sisi lain hal ini juga berisiko menyebarkan informasi yang menyesatkan. Informasi yang salah bisa menurunkan nilai-nilai keberagaman, menimbulkan polarisasi, bahkan mengancam demokrasi kita,” katanya menegaskan.
Dalam kesempatan itu, ia mengajak masyarakat untuk lebih kritis terhadap informasi yang beredar di media sosial dan media massa.
“Kita harus sadar bahwa informasi yang salah dapat merusak tatanan sosial dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, negara harus hadir untuk mengatur etika dalam menggunakan teknologi, agar tidak merugikan semua orang,” ujarnya.
Suwadi juga menekankan pentingnya pendidikan dan kesadaran masyarakat dalam menghadapi tantangan informasi di era digital.
“Perubahan sosial yang kita harapkan harus muncul dari kesadaran bersama. Kita harus berpikir dan bertindak dengan bijak agar masa depan yang lebih baik dapat tercipta untuk semua, termasuk masyarakat adat yang menjadi bagian dari kekayaan bangsa ini,” katanya.
Penulis: Fittri
Mahasiswa Magang Prodi Jurnalistik Islam, Fakultas Dakwah, UIN STS Jambi