Perang Melawan Plastik dan Persoalan Budaya

Jon Afrizal*

“Anda butuh kantong belanja?” Demikian seorang kasir di sebuah mall di Kota Jambi bertanya kepada anda setiap hendak membayar barang-barang belanjaan.

Pertanyan ini telah lebih dari satu tahun selalu berdengung di telinga. Ini adalah implementasi dari Peraturan Walikota (Perwal) Jambi nomor 54 tahun 2018 tentang kebijakan strategi daerah tentang pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga.

Penerapan dari Perwal ini, adalah, tertanggal 1 Januari 2019 lalu, siapapun yang berbelanja di mall, supermarket, waralaba modern dan sejenisnya diharuskan untuk membawa kantong belanja sendiri.

Harus? Yup, tentu saja digunakan penekanan “harus”. Sebab, jika anda tidak membawa kantong belanja sendiri, maka kasir akan dengan suka rela memberikan kantong belanja, dengan, membebankan pembelian kantong belanja itu kepada anda.

Sebenarnya, Perwal ini adalah amanat Peraturan Daerah nomor 8 tahun 2013 tentang pengelolaan sampah. Ini juga adalah turunan dari kebijakan strategi nasional untuk pengurangan timbunan sampah di sumber sampai 30 persen hingga 2025.

Tujuan utama dari Perwal ini adalah “stop penggunaan kantong plastik”. Dan, Perwal tadi telah pula di-Perda-kan, yakni Peraturan Daerah nomor 61 tahun 2018 tentang pengurangan penggunaan kantong plastik.

Memang benar, perang melawan plastik tengah terjadi di hampir seluruh belahan dunia ini. Dan, Kota Jambi pun ingin berpartisipasi dalam “Gerakan Bersama Anti-Plastik” itu.

Mari kita telisik satu persatu. Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Jambi, jumlah penduduk Kota Jambi yang berkisar 1 juta orang pada siang hari, dan 750.000 orang pada malam hari ini telah menghasilkan 3,21 ton sampah per hari per kilometer per segi. Atau totalnya hingga 19.800 ton per bulan untuk 205,4 kilometer persegi yang adalah luasan total Kota Jambi.

Sampah domestik itu, begitu istilahnya menurut DLH, yang diproduksi oleh masyarakat diketahui sebanyak 65 persen adalah sampah organik, dan sisanya sebesar 35 persen sampah anorganik.

Secara pengertian yang sederhana, sampah organik adalah sampah yang dapat diurai secara alami di bumi. Sementara sampah anorganik adalah sampah yang sulit atau butuh waktu lama untuk diurai di bumi, dimana bahan-bahan dari plastik termasuk kategori ini.

Ups, nyatanya, hanya 35 persen saja sampah yang tidak bisa didaur secara alami oleh bumi, di Kota Jambi ini.

Lalu, masih berdasarkan data DLH, dari total sampah yang ditimbulkan itu, sebesar 75 persen terangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Talang Gulo, dan 25 persen tidak terangkut.

Bagaima anda melihat persoalan ini, setelah melakukan pembandingan secara sistematis antara data-data dari DLH dengan semangat Kota Jambi untuk ikut serta dalam “Perang Melawan (Sampah) Plastik” secara global?

Aku pernah mendapatkan sekantong kain cinderamata dari, katakanlah, kelompok yang menggaungkan semangat anti terhadap penggunaan plastik di Indonesia. Yakni sepasang sendok-garpu yang terbuat dari kayu, serta sebuah pipet yang terbuat dari bambu.

Untuk pipet ini, disertakan sejenis ijuk bertangkai sejenis besi yang dapat dimasukan ke rongga pipet untuk membersihkan pipet setelah digunakan.

Aneh? Tentu saja kita sedang bicara budaya di sini. Budaya penggunaan plastik yang telah berlangsung lama. Sebagai contoh, banyak minuman bersoda yang beberapa dekade lalu menggunakan kemasan botol kaca, kini berganti dengan kemasan botol plastik.

Coba perhatikan, hampir seluruh perangkat di rumah anda, kini menggunakan plastik. Tetapi, tidak semua plastik tidak bisa mengurai di bumi.

Kita ambil contoh dari sebuah negara yang telah lama berperang melawan penggunaan plastik, yakni, Amerika. Pada situs foresteract.com dinyatakan bahwa American Society of Plastic Industry telah membuat sistem dengan kode atau simbol yang berbentuk segitiga arah panah, dalam beberapa produk.

Bentuk ini merupakan simbol daur ulang dan di dalamnya terdapat nomor yang merupakan kode dan resin yang memiliki informasi tertentu. Terdata sekitar tujuh jenis produk di sana.

Seperti, polyethylene terephtalate (PET), misalnya. Produk jenis ini adalah untuk satu kali penggunaan saja. Seperti botol minyak goreng, botol kemasan air mineral, botol sambal, jus, botol kosmetik, dan botol obat.

Lalu, apakah anda melihat tanda berbentuk segitiga arah panah, jika anda (terpaksa) membeli kantong belanjaan?

Lagi-lagi, kita bicara masalah kebiasaan, yakni budaya untuk “tidak ribet”. Begini, apakah anda pernah berada dalam kondisi tidak sedang ingin berbelanja, tetapi karena sesuatu dan lain hal, anda terpaksa berbelanja? Atau, apakah anda terbiasa untuk membawa berbagai jenis kantong ketika sedang berpergian dari rumah?

Pola hidup serba ringkas yang telah diterapkan oleh banyak orang, yakni hanya membawa sedikit bawaan ketika berpergian, seharusnya juga menjadi satu poin yang harus diperhatikan di sini.

Dan, seharusnya juga menjadi peluang usaha bagi siapa yang tertarik. Sebagai contoh, membuat tas dari kain, dengan harga jual yang terjangkau dan stylish bagi siapa saja.

Sejujurnya, semangat Anti-Plastik berurusan dengan persoalan ekologi. Yakni menjaga bumi agar menjadi tempat yang lebih baik bagi penghuninya. Mari, kita bantu untuk menjaganya. ***

* Jurnalis TheJakartaPost

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts