KILAS JAMBI – Kasus HIV/AIDS meningkat dalam lima tahun terakhir, terutama kalangan di usia anak.
Dari 36 kasus ADHA, penularannya beragam. Anak di rentang usia 0-14 tahun kebanyakan penularannya itu melalui ibu ke anak pada saat persalinan. Sedangkan usia 14 tahun ke atas kebanyakan penularan melalui seks beresiko atau disebabkan mendapatkan kekerasan seksual.
“enularan HIV/AIDS melalui seks bebas menunjukkan tren peningkatan sejak lima tahun terakhir, meskipun untuk angka yang tercatat memang relatif kecil,” kata Ketua Yayasan Kanti Sehati, Eboy.
Walaupun menurutnya Jambi merupakan kota kecil, kasus ADHA yang tercatat cukup tinggi yakni 36 kasus. Usia 3-10 tahun sebanyak 27 anak. Sedangkan usia 11-16 tahun sebanyak 25 orang.
“Namun angka kecil ini, bukan berarti tidak ada kasus. Penderita HIV/AIDS seperti gunung es. Sekarang penderita memilih sembunyi untuk menghindari diskriminasi dan perundungan,” kata Eboy.
Dengan tidak terdeteksi dini, ADHA akan rentan menularkan kepada orang lain. Sebab virus dalam tubuhnya tidak segera ditangani dengan ARV rutin.
Diskriminasi paling sering terjadi di tingkat keluarga dan sekolah. Bentuknya dijauhkan, dikucilkan dan dipisahkan. Tentu ini menjadi penghambat dalam pengobatan.
Selain diskriminasi, sambung Eboy, kendala pengobatan adalah ADHA telah menjadi yatim piatu. Kedua orang tuanya meninggal dan tinggal di rumah nenek.
Kerabat seperti paman dan bibi termasuk kalangan tidak mampu. Perhatian dari orang tua sangat dibutuhkan ADHA.
ADHA perlu mendapatkan pendidikan apa yang boleh dan tidak boleh. Kemudian mendapat dukungan, agar dia terus bersemangat dan menjadi anak normal.
Dengan kematian orang tua, menempatkan mereka pada risiko pelecehan dan pengucilan dari masyarakat, yang membuat mereka bisa kehilangan kebutuhan primer seperti rumah dan pendidikan.
Hasilnya, banyak anak yatim piatu karena AIDS tumbuh dalam kondisi miskin dan beberapa akan menjadi tunawisma dan dipaksa tinggal di jalanan.
Tidak adanya perlindungan dan perawatan orangtua, dikombinasikan dengan infeksi HIV, berkontribusi secara signifikan terhadap peningkatan kematian anak-anak di negara-negara yang paling banyak terkena dampak HIV/AIDS.
Hal senada dikatakan Fadil Rulian, dokter Anak di RS Raden Mattaher Jambi, Fadil menuturkan seharusnya tidak ada stigma dan diskriminasi terhadap ADHA. Harapannya mereka tetap bisa tinggal bersama dengan keluarganya, bisa belajar dan bermain bersama teman teman sebaya.
Pada dasarnya, sambung Fadil ADHA secara umum dalam kondisi sehat dan bisa beraktivitas seperti anak lain.
“Masalah diskriminatif dan biasanya berakhir dengan perundungan itu sebenarnya timbul ketika status penyakit anak diketahui secara luas,” kata Fadil.
Padahal tidak ada kewajiban bagi orangtua atau wali untuk memberitahukan status penyakit anak pada orang lain, termasuk pada sekolah.
Apa dampaknya dari diskriminatif, kata Fadil, tumbuh kembang dan perkembangan mentalnya akan terganggu seperti minder, tidak percaya diri dan terkadang bisa berakhir dengan depresi.
“Menurut saya ketika anak sudah mencapai masa pubertas, sebaiknya boleh diberitahu tentang status penyakit dan resikonya,” kata Fadil.
“Umur berapa sebaiknya harus diberitahu sangat bervariasi ya, disesuaikan dengan tingkat perkembangan mentalnya (mungkin pada saat pubertas),” kata Fadil menambahkan.
Mengenai apakah ADHA setelah dewasa boleh menikah, menurut Fadil boleh. Artinya penderita sudah mengetahui dirinya mengidap HIV/AIDS memiliki kemungkinan menikah jika ia menyiapkan segala sesuatu sebelum menikah.
“Seperti minum ARV secara rutin, status kesehatan dalam keadaan baik, pasangan seperti ini keduanya harus diedukasi tentang cara berhubungan seks yang aman,” kata Fadil menegaskan.
Harus rutin minum obat, kata Fadil, harapannya untuk menekan infeksi sehingga risiko pasangan tertular lebih rendah dan berada dalam kondisi imun yang terbaik sehingga tidak terjangkiti virus.
“Pernikahannya direncanakan sehingga potensi terjangkiti akan makin berkurang,” terang Fadil.
Sementara itu, hasil penelitian Sugiharti dkk, yang terbit di Jurnal Kesehatan Reproduksi menyebutkan karakteristik ADHA, secara keseluruhan mayoritas usia ADHA berada di usia 5-9 tahun (41,8%), berstatus masih sekolah (58,7%), pendamping ADHA adalah orangtua kandung (61,7%) dan sumber penularan HIV berasal dari Ibu (91,5%).
“Stigma dan diskriminasi mendorong orang tua atau wali menyembunyikan status ADHA kepada lingkungan maupun terhadap penderita itu sendiri,” kata Sugiharti.
Dari 201 ADHA yang berusia di atas 18 bulan, 54 menutup status dan 147 status sudah terbuka.
ADHA kehilangan akses pelayanan publik, kehilangan martabat dan meningkatnya kemiskinan dan deprivasi.
Laporan United Nation Internationa Children’s Emergency Fund (UNICEF) Indonesia menyatakan, bahwa diperkirakan tiap 25 menit terdapat 1 orang baru terinfeksi HIV. Satu dari lima orang yang terinfeksi di bawah usia 25 tahun. (swd)