Yang Tertutup Diserang, Yang Terbuka Semakin Dirajam: LGBTQ di Tahun Politik (2)

Ilustrasi, foto: viva.co.id

Mami Yuli yang pergi dari rumah karena kemarahan keluarga, yang tidak menerima orientasi seksualnya. Dia hidup sengsara, tinggal di kolong jembatan, pernah tak makan selama 3-5 hari. Pil pahit kehidupan dia telan sendiri. Tekadnya kuat agar transgender lain, tak mengalami nasib serupa.

Mami Yuli pun berjuang selama 30 tahun di garis pendidikan, sekarang sedang merampungkan S3 bidang hukum. Negara mengakuinya karena prestasi, dia pun aktif menjadi pembicara di sejumlah kegiatan pemerintah.

Mami Yuli, tahu betul kepedihan menjadi berbeda; terusir, disiksa dan ditangkapi aparat. Untuk itu dia mendirikan Save House di kawasan Depok. Tempat itu digunakan untuk menampung korban penyiksaan 12 transpuan di Provinsi Aceh, yang dilakukan polisi syariah. Yang lain, adalah korban gempa dan tsunami Palu.

“Bukan hanya korban persekusi online, yang terusir dari rumah, kita tampung. Sekitar 10-20 orang setiap hari kita bantu,” kata Mami Yuli penuh harapan.

Bentuk bantuan macam-macam, kata Mami tidak hanya bantuan hukum, melainkan menyediakan tenaga psikiater dan psikolog untuk mengatasi trauma. Bagi yang membutuhkan pendekatan agama, Save House akan mendatangkan tokoh agama seperti pendeta dan ustadz, ada juga biksu.

Untuk membuat transpuan mandiri, Mami Yuli membekali mereka dengan keterampilan kerajinan tangan seperti menjahit, merangkai bunga, membuat kue, tata rias, dan memotong rambut. Kesadaran tentang keluhuran budaya timur, Mami Yuli mengajarkan kepada para penghuni Save House untuk akur dengan tetangga. Lalu meningkatkan pendidikan untuk mencapai prestasi. Ia mencontohkan dirinya, yang memiliki pendidikan tinggi.

Pada suatu ketika, saat memasuki tahun politik 2019 lalu. Kemapanan Mami Yuli, yang telah terbuka dan diterima banyak orang menerima ujian berat. Penggalangan dana yang telah terbuka sejak lama, diserang warganet.

“Sekarang sedang program doktor. Tapi terkendala dana. Penggalangan dana secara online terganggu. Karena maraknya isu Lesbian Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT),” Mami menunjukkan postingan kitabisa.com yang mengalami serangan online seperti ujaran kebencian dan pelecehan.

Netizen banyak berkomentar buruk. Mereka menggangap Mami Yuli berbahaya apabila berhasil meraih gelar doktor bidang hukum tata Negara. Dia akan memperkuat kelompok LGBT. Sehingga sulit untuk diberantas. Komentar miring yang beredar di media sosial, kata Mami Yuli, menurunkan jumlah donor.

“Dari target Rp 100 juta, baru terkumpul Rp12 juta,” kata dia dengan nada pesimis.

Sebagai rumah bagi transpuan, Save House pernah mendapatkan kucuran dana dari pemerintah. Dananya memang tidak besar, namun cukup untuk menghidupi 300 orang dari 1.000 yang diusulkan.

Namun ketika isu LGBTQ menggelinding di tahun politik, pendanaan untuk Save House distop tanpa alasan yang jelas. Mami Yuli meyakini, penyetopan bantuan pemerintah dipengaruhi tingginya sentimen terhadap kelompok LGBT baik secara (daring) online maupun offline (luring) selama dua tahun terakhir.

“Jangankan masyarakat biasa. Pejabat Negara, anggota dewan, polisi, politikus sekarang memusuhi kami,” kata Mami.

Hal senada dikatakan Dewan Pengurus SuaraKita, Teguh Iman Affandi. Dia menyebutkan selama 2016 lalu, sejumlah pejabat Negara, anggota politikus, dan tokoh agama gencar menyebarkan disinformasi terkait LGBT.

Quotes dari orang berpengaruh tersebut kemudian dikutip media mainstream dan digoreng di media sosial. Dampak dari masifnya penyebaran disinformasi LGBT memicu kepanikan moral dan ketakutan di masyarakat.

Kebencian terhadap LGBT dibalut dengan sentimen agama, budaya dan ideologi pancasila. Hal ini telah melegitimasi masyarakat untuk melakukan serangan secara online dan offline. Bentuk serangan beragam mulai dari ujaran kebencian, pelecehan sampai dengan persekusi online yakni doxing dan profiling.

Ia mencontohkan pada Minggu 14 Januari 2018, Polisi resort Cianjur, Jawa Barat menangkap lima orang gay yang dituduh sedang melakukan pesta seks. Polisi dalam keterangannya membongkar bahwa pesta seks yang terjadi berawal dari aplikasi Blued, yakni aplikasi kencan gay.

Setelah video penangkap beredar luas di media sosial, pada bulan yang sama, terjadi penangkapan 12 transpuan oleh Polisi dan Polisi Syariah pada Minggu, 28 Januari 2018 di Aceh. Beberapa video dan foto penyiksaan terhadap transpuan, kata Teguh juga beredar luas di media sosial. Ini membuat kebencian terhadap LGBT meluas. Dampaknya, pasangan lesbian ditangkap polisi layanan sipil atas laporan tetangga di Depok, Jawa Barat pada 27 Februari 2018.

“Viral di media sosial. Masyarakat, polisi dan tokoh agama di daerah lain bergerak, menyisir tempatnya masing-masing. Diskriminasi dan kriminalisasi terhadap kelompok LGBT terus meluas dari online ke offline dan sebaliknya saling mempengaruhi,” kata Teguh menjelaskan.

Setelah kelompok LGBT mengalami persekusi ruang publik dan ruang private secara offline, gerakan dari individu dan kelompok LGBT kembali dipersempit secara online. Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melakukan filtering dan pemblokiran terhadap kampanye LGBT di online.

Kominfo, kata Teguh memblokir permanen situs suaraKita pada 2013. Untuk menghormati keputusan pemerintah, SuaraKita membuat alamat situs baru. Namun kembali mendapat ancaman pemblokiran pada 2016 lalu. Sebagai organisasi yang bergerak di bidang advokasi dan perlindungan keamanan individu LGBT, kata Teguh Facebook juga pernah menghapus akun SuaraKita. Atas perintah dari Kominfo, Google Play Store juga memblokir aplikasi kencan gay seperti Blued, Grindr, U2nite, Dattch, Hornet dan BoyAhoy.

“Twitter cukup ramah. Mereka minta kita verifikasi. Supaya akun-nya lebih kuat dan tidak mudah dimatikan,” kata Teguh sembari tersenyum bahagia.

Tindakan diskriminasi dan kriminalisasi yang dilakukan pihak anti-LGBT menguat sejak 2016. Pendapat dari Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan mengatakan homoseksual bertentangan dengan budaya Indonesia. Harus dilarang, sebagai gerakan keberadaan LGBT harus ditentang. Pernyataan kontroversi terus menggelinding, yang kemudian ditegaskan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, dia mengatakan perilaku seksual menyimpang seperti LGBT merupakan urusan pribadi, namun hal itu tidak boleh diutarakan ke publik, apalagi mengajak orang lain untuk turut mendukung berbagai kegiatan kelompok LGBT.

Dua hari usai pernyataan Wakil Presiden RI, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melakukan konferensi pers, Rabu 17 Februari 2016. Ketua MUI, Maaruf Amin kala itu menyebutkan telah mengeluarkan fatwa MUI Nomor 57 Tahun 2014 tentang Lesbian, Gay, Sodomi, dan Pencabulan. Dalam fatwa ini, kata Teguh, MUI mengharamkan LGBT karena mengandung kejahatan dan sumber penyakit menular HIV/AIDS.

Ekpresi kebencian terhadap kelompok anti-LGBT semakin mengkhawatirkan. Aliansi Cinta Keluarga (AILA) melakukan judicial review tentang perluasan makna zina pada pasal 284, perkosaan pasal 285 dan hubungan anak di bawah umur pasal 292 pada KUHP tentang kekerasan seksual, kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

“Mereka mau pidanakan individu dan aktivis LGBT,” kata Teguh lirih.

Selama periode sidang di MK dari Mei 2016 sampai Desember 2017, tekanan terhadap individu dan aktivis LGBT sangat tinggi. Organisasi masyarakat seperti Front Pembela Islam (FPI) rutin melakukan sweeping dan persekusi. Begitu juga polisi melakukan penangkapan, penutupan dan pembubaran ruang private dan publik LGBT.

Ruang online dibanjiri disinformasi yang memicu ujaran kebencian dan pelecehan online. Selama periode ini, SuaraKita menerima ratusan laporan untuk advokasi, pemulihan pasca trauma dan perlindungan keamanan.

Untuk memperkuat individu dan kelompok, SuaraKita membangun jaringan untuk menggalang dukungan. SuaraKita, kata Teguh lagi, berjejaring dengan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) perguruan tinggi, tokoh agama, tokoh perempuan dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Dengan banyaknya dukungan, SuaraKita melalui beragam platform media sosial mengedukasi masyarakat dengan pendekatan saintis, advokasi dan budaya.

“Edukasinya kita bekerja sama dengan perguruan tinggi Universitas Indonesia, Unila, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah dan lainnya. Kita beri pemahaman kepada masyarakat, bahwa manusia itu beragam, bukan hanya heteroseksual, namun ada juga homoseksual dan biseksual,” kata Teguh lagi.

Dalam dua tahun terakhir, kata Teguh ada pola baru dalam persekusi terhadap kelompok LGBT. Razia kerap dilakukan kelompok intoleran bersama polisi atau oleh polisi saja. Selain Aceh dan Cianjur, terjadi di Bandung pada awal 2016 serta di Jakarta pada Mei dan Oktober 2017. Di Bandung Polisi bersama Front Pembela Islam menyisir rumah kos untuk memburu LGBT. Di Jakarta polisi menggerebek sebuah rumah toko di kawasan Kelapa Gading dan menangkap 141 pria dengan tuduhan melakukan pesta seks.

Tuduhan serupa dilekatkan pada 51 lelaki di sebuah tempat kebugaran di kawasan Harmoni pada Oktober 2017.

Teguh mengatakan periode 2016 sampai 2018, permintaan untuk konseling online kepada SuaraKita meningkat signifikan. Kebanyakan muncul pertanyaan tentang hukum mati yang berkaitan dengan fatwa MUI.

Selanjutnya ujaran kebencian ‘darah LGBT halal ditumpahkan’. Sebagian akhirnya keluar dari sekolah karena tingginya kasus bullying dan pelecehan. Para siswa juga khawatir tentang guru agama yang mengutuk homoseksual. Sejumlah aktivitis LGBT pernah didoxing, data pribadi seperti rumah, sekolah, alamat dimunculkan di media sosial. Terbentuknya polarisasi masyarakat dan mental ‘kita dan mereka’ memiliki agenda untuk menciptakan kepanikan moral dan ketakutan terhadap LGBT.

Isu ini telah menjadi komoditas politik. Menurut Icon dari Federasi Arus Pelangi, masyarakat menempatkan kelompok LGBT sebagai ‘musuh nomor satu’. Sebanyak 26,1 persen responden menempatkan LGBT pada urutan pertama sebagai orang dengan identitas yang paling tidak disukai. Bandingkan dengan komunis, yang dipilih 16,1 persen responden.

Sebagaimana isu komunis, kata Icon kebencian terhadap LGBT dihembuskan melalui disinformasi. Ada propaganda bahwa LGBT menular dan identik dengan pedofilia. Berikutnya, muncul kampanye ujaran kebencian. “Yang terakhir ini bahkan ada yang mengajak membunuh,” kata Icon merujuk pada poster ajakan pembunuhan yang disebarkan lewat media sosial.

Disinformasi LGBT bertentangan dengan agama, perbuatan menyimpang, sumber penyakit menular dan gangguan kejiwaan serta mengancam generasi muda telah meningkatkan serangan kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas ini. Setidaknya sekitar 89,3 persen LGBT di Indonesia mengalami kekerasan dan serangan. Menurut catatan Arus Pelangi, kata Icon sepanjang tahun 2013 hingga 2015 terdapat 110 kasus. Angka tersebut memingkat signifikan pada periode Januari-Maret 2016, Arus Pelangi, organisasi yang membela hak-hak LGBT mencatat ada 142 kasus diskriminasi di 10 kota, dari penangkapan hingga ujaran kebencian, yang ditujukan kepada mereka yang dianggap LGBT.

Sementara pada 2017 sekurang-kurangnya ada 973 kasus penganiayaan terhadap orang yang dicurigai sebagai LGBT.

Untuk mengatasi itu, Federasi Arus Pelangi gencar melakukan edukasi dan kampanye positif, sebagai narasi pembanding terhadap beberapa disinformasi yang beredar luas. Beberapa diantaranya memuat tranning keamanan digital, melatih individu untuk mengadvokasi diri sendiri dan membuat loka karya di kampus.

“Selain advokasi, kita juga bantu dengan psikiater atau psikolog untuk mengatasi trauma,” kata Icon usai menghadiri workshop Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia tentang keberagaman gender dalam perspektif hak azasi manusia di Jakarta, Selasa 30 Oktober 2018.

Sebaliknya, Sekretaris Indonesian Psychiatric Association, Agung Frijanto menuturkan orang dengan orientasi seksual seperti homoseksual dan biseksual menurut UU No 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, termasuk dalam kategori Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK). Sedangkan orang dengan ekspresi gender seperti transgender dikategorikan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).

“Tidak semua orang dengan masalah kejiwaan, akan berkembang menjadi gangguan jiwa. Banyak faktor yang mempengaruhi; faktor genetik, neurobiologik, psikologik, sosial, budaya dan spiritualitas,” kata Agung menegaskan.

Indonesian Psychiatric Association mendorong pemerintah memberikan hak asasi manusia kelompok LGBT berupa pelayanan kesehatan jiwa secara terintegrasi, komprehensif dan berkesinambungan melalui upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative. Khusus yang telah mengalami gangguan jiwa, pemerintah harus memberikan jaminan ketersediaan obat psikofarmaka, mendapat perlindungan dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi oleh masyarakat.

Desakan kepada pemerintah agar merehabilitasi kelompok LGBT juga datang dari Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA). Bahkan, gabungan dari berbagai organisasi masyarakat yang fokus pada upaya-upaya penyelamatan keluarga, perempuan dan anak-anak, melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka memandang ada permasalahan asusila yang bertentangan dengan ideology bangsa.

“MK memang menolak judicial review yang diajukan AILA. Kita akan perjuangkan ke Dewan Perwakilan Rakyat, agar melakukan revisi hukum untuk mengatur kelompok LGBT. Bukan. Bukan semangatnya untuk mengkriminalisasi kelompok LGBT, justru kita melindungi mereka, dari kriminalisasi masyarakat,” kata Rita Soebagio, pendiri AILA sembari menunjukkan gesture simpati kepada kelompok LGBT.

Sejak Januari 2018, AILA telah melakukan diskusi dengan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengusulkan beberapa versi rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Seks sesame jenis harus diatur oleh undang-undang, yang kaitanya kepada pidana seks di luar nikah. Hal ini untuk melindungi generasi muda dari pengaruh LGBT.

Keresahan masyarakat terhadap penyebaran LBGT, kata Rita senada dengan hasil survey Saiful Mujani Research & Consulting menunjukkan pada Desember 2017 lalu, sekitar 87,6 persen masyarakat merasa sangat terancam dengan keberadaan kelompok LGBT. Sebanyak 53,3 persen responden tak menerima bila ada anggota punya orientasi homoseksual dan biseksual. Serta sebanyak 79,1 persen mereka tidak mau bertetangga dengan LGBT. Rita meyakini potensi intoleransi terhadap LGBT akan semakin tinggi.

Apabila pemerintah tidak merevisi aturan, agar kelompok LGBT ditangkap kemudian direhabilitasi. “Kita mau menolong mereka. Mau melindungi generasi penerus bangsa. Bukan mau menghukum,” kata Rita penuh semangat.

Atas dasar kemanusiaan, tambah Rita, AILA bergerak bukan dengan kebencian melainkan kasih sayang. Kelompok LGBT ini adalah saudara kita yang sedang sakit. Maka dibutuhkan tindakan penyembuhan agar kembali kepada fitrahnya, heteroseksual. Untuk menolong kelompok LGBT, ada organisasi sayap dari AILA yakni Peduli Sahabat yang bergerak di pendampingan, pemulihan trauma dan konseling.

Sudah ada 100 orang LGBT dari seluruh Indonesia yang sadar dan meminta disembuhkan. “Kita berikan pendampingan secara online maupun offline. Kebanyakan ustadz atau pemuka agama dan juga pskiater,” kata perempuan yang berusia lebih 40 tahun ini.

Untuk melindungi generasi muda terpapar LGBT, pihaknya membentuk pasukan siber. Tujuannya untuk mengedukasi masyarakat tentang bahaya LGBT. Kampanye anti-LGBT kita galakkan di media social seperti facebook, twitter, instagram dan situs web komunitas. Ada banyak seperti organisasi Gerakan Peduli Remaja, Jalinan Keluarga Dakwah, Sekolah Pemikiran Islam, dan Indonesia tanpa Jil.

Dia mencontohkan, salah satu kampanyenya, kata Rita, seperti kejadian gempa dan tsunami di Palu, berkorelasi dengan azab dari Allah Swt terhadap orang yang menentang larangan agama. Kita sadarkan masyararakat atas bahaya LGBT, karena penyebar virus HIV/AIDS dan perbuatan menyimpang.

Sebagai organisasi yang berjuang melindungi keluarga Indonesia dari bahaya LGBT, kata Rita, AILA senantiasa menguatkan peranan pasukan siber untuk memantau dan melaporkan kampanye LGBT kepada pemerintah dan polisi. Menurut kajian kami, terjadi peningkatan signifikan pada anak SMP-SMA yang menjadi LGBT, pada 2016 sekitar 1.000 anak, kemudian pada 2017 lalu sudah mencapai 2.000 orang.

AILA menemukan anak usia 14 tahun di Jawa Barat sudah terpapar LGBT. “Setiap hari 5-6 anak menjadi gay atau lesbian,” kata Rita sembari menghela nafas panjang. Tidak hanya membentuk pasukan siber, AILA sudah melakukan kerja sama dengan Indonesian Psychiatric Association.

Kerja sama ini berupa riset multidisiplin ilmu, untuk mengatasi kampanye LGBT secara online dan offline. AILA juga rutin menggelar diskusi, lokakarya dan seminar tentang bahaya LGBT di perguruan tinggi. “Kita semua jihad, berjuang mengatasi serangan LGBT,” kata Rita tegas.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts