Pemimpin Ideal Dalam Perspektif Ulama

Ambali Wijaya

Oleh: Ambali Wijaya*

Seiring berjalannya waktu, tidak terasa Pemilu 2024 di Indonesia telah memunculkan calon kandidat pemimpin yang memperkenalkan dirinya di tengah masyarakat (baik citizen maupun nitizen). Hal-hal seperti sosialisasi ini tentunya sudah lazim dilakukan oleh calon-calon sebelumnya.

Meski pun terbilang waktu “pertarungan” politik itu masih lama lagi, tetapi calon-calon tersebut sudah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi Pemilu pada 2024.

Guna menghindari terjadinya kesalahan masyarakat di dalam memilih calon-calon pemimpin yang ideal untuk memimpin bangsa dan negara, maka sudah semestinyalah masyarakat itu untuk mengetahui terlebih dahulu kriteria-kriteria pemimpin yang layak untuk memimpin. Salah satu perspektif yang bisa dimajukan untuk menjadi ukuran pemimpin ideal adalah pandangan ulama.

Politik adalah tentang penyatuan kekuasaan, meningkatkan kualitas, dan energi, memantau dan mengendalikan kekuasaan, dan menggunakan kekuatan untuk mencapai tujuan kekuasaan negara dan lembaga lainnya. Sedangkan dalam pandangan Abdul Ghani, perjuangan politik tidak selalu “de kunst het mogelijke” tetapi seringkali “de kunst van onmogelijke.” Artinya, politik adalah seni kemungkinan dan ketidakmungkinan. Politik sering diartikan sebagai “machtsvorming en machtsaanwending” (pembentukan dan penggunaan kekuasaan).

Di dalam Islam, tentang berpolitik telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Adalah Bani Israil, mereka diurusi (siyasah) urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah.” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).

Dari sabda Rasulullah SAW di atas, sangatlah jelas bahwasanya politik atau siyasah bermakna mengurusi urusan masyarakat. Dengan demikian, seorang pemimpin adalah manusia yang mampu memanusiakan manusia.

Ibnu Taimiyyah dalam Kitab Siyasah as-Syar’iyyah, menjelaskan bahwa kedudukan agama dan negara adalah saling berkelindan; tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa, maka agama berada dalam bahaya. Sementara itu, tanpa wahyu (agama), negara pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik. Dari pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa Ibnu Taimiyyah memberikan standar bagi seorang pemimpin adalah yang memiliki konsep kenegaraan yang kokoh di sisi lain, dan konsep pemikiran kegamaan di sisi lainnya.

Al-Farabi mengemukakan syarat-syarat pemimpin Islam yang baik dan dipandang patut dijadikan contoh, yaitu ada beberapa indikatornya sebagai berikut: (1) Pemimpin haruslah seorang yang memiliki kemampuan dalam berfilsafat, (2) Pemimpin harus berilmu dan mampu menjunjung tinggi hukum, adat istiadat, tradisi dan moral, (3) Pemimpin harus dapat menarik kesimpulan baru tentang konsep yang belum pernah dibuat sebelumnya; (4) Pemimpin harus memiliki pertimbangan baik dalam menyimpulkan undang-undang baru dan berupaya menigkatkan kesejahteraan negara, (5) Pemimpin harus bisa menjadi panutan bagi masyarakat yang dipimpinnya, (6) Pemimpin harus memiliki tubuh yang kuat agar bisa menjalankan misi perang, (7) Pemimpin harus menjadi pemimpin militer, dan menguasai seni berperang.

Penulis sangat berharap nantinya agar Islam dapat menjadi sumber meta konseptual dalam berpolitik. Di dalam politik tentu ada perdebatan-perdebatan namun Islam hendaknya menjadi perekat dan dapat meredam potensi perselisihan politik tersebut dengan dalil-dalil naql-nya.

Benturan kepentingan yang memunculkan konflik politik ini kerap terjadi di setiap mendekati perhelatan Pemilu. Bukan hanya kandidat-nya saja yang berselisih, akan tetapi tim sukses dan masyarakat pendukungnya pun bisa ikut berselisih di dalam politik. Hal demikianlah yang harus berubah di dalam tradisi berpolitik ke depan.

Guna menghindari hal yang demikian, hendaknya masyarakat Indonesia ke depannya dapat lebih arif lagi di dalam mengamati siapakah calon-calon yang masuk dalam kriterianya. Selektif dalam menentukan pemimpin tentunya akan berdampak baik jangka pendek maupun jangka panjang bagi masyarakat itu sendiri.

Melalui Bulan Suci Ramadan 1444 H ini, semoga masyarakat menjadi lebih teduh dalam menghadapi perbedaan pandangan politik. Hendaknya momentum Ramadan kali ini juga dapat dijadikan momentum bagi segenap anak bangsa untuk berdoa kepada Allah SWT, agar pada tahun 2024 nantinya Indonesia mendapatkan pemimpim yang berkualitas dalam memajukan bangsa dan negara Indonesia yang tercinta.

 

*Mahasiswa Prodi AFI UIN STS Jambi

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts