Globalisasi, Siap atau Tidak, Harus!

Jon Afrizal*

Setiap saat, kini, telinga kita selalu dijejali dengan istilah “pasar bebas”. Padahal, di pasar terdekatkan pun kita tidak “free” untuk mengambil barang dagangan tanpa bayar.

Hampir 20 tahun berselang, yakni di era harga nongkrong di beberapa warung internet (warnet) di Kota Jambi adalah Rp8.000 per jam, istilah itu mulai dihembuskan. Disebut sebagai Globalisasi.

Mari, kita sedehanakan sesuai bahasa keseharian. Globalisasi biasa diartikan dengan “World is a small vilage”.

Sebagai sebuah dusun (village = hamlet), maka semua penduduk akan terhubung antara satu dengan lainnya. Tanpa batas dan sekat, meskipun, terkadang bersifat gunjingan semata.

Faktanya, kini, kita sering menemui gosip yang belum jelas kebenarannya. Datangnya, bisa saja dari belahan dunia yang lain. Mungkin saja, tentang sesuatu yang “viral”.

Itu adalah contoh nyata dari globalisasi, yang telah menyebabkan dunia selayak sebuah dusun. Semua ini berkat teknologi, yang terus berkembang.

Dari mesin ketik menjadi komputer, dari telepon model putar menjadi smartphone, dari buku tulis menjadi PDF yang dibaca di tablet, dan berbagai hal lainnya.

Sehingga, globalisasi adalah keniscayaan dalam peradaban manusia. Dan, tidak seharusnya kita bertanya, “Siapkah kita?”

Persoalannya, kita hanya harus memahaminya saja. Untuk beradaptasi terhadap peradaban.

Satu yang berada dalam pusaran globalisasi, adalah ekonomi. Sehingga, kehidupan ekonomi pun menjadi sangat mendunia dan terbuka (free). Tidak ada lagi batas teritori antar wilayah negara.

Sehingga, kegiatan investasi dan perdagangan (market = trade) menjadi liberal atau terbuka (free). Lihat saja di Provinsi Jambi ini, banyak Penanaman Modal Asing (PMA) yang bisa berkegiatan di sini. Itu satu bentuknya.

Kegiatan ekonomi yang mereka lakukan pun beragam. Mulai dari perkebunan hingga ke pertambangan. Dan, adalah muskil, jika menerapkan kebijakan nasionalisasi, seperti di era awal pemerintahan Soekarno dulu.

Sebab, sangat terkait dengan politik yang juga mengglobal. Seperti sebuah mata rantai yang saling terhubung.

Pemerintah pun telah mengantisipasinya. Satu diantaranya adalah dengan Undang-Undang nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Isi dari undang-undang itu adalah tata cara investor dapat berinvestasi di wilayah hukum Indonesia.

Sikap yang dibuat pemerintah, adalah dengan menimbang berbagai faktor. Seperti, dengan sebutan “negara berkembang”, maka putaran modal jangka panjang pun diperlukan.

Selain juga lapangan pekerjaan bagi banyak orang, karena keterbatasan pemerintah dalam menciptakan lapangan pekerjaan. Tetapi, amanat dari pemerintah, harus ada alih teknologi dan alih keterampilan.

Secara teori, pada awalnya, mereka yang dianggap pintar akan menularkan ilmunya kepada pegawai mereka. Lalu, pegawai mereka akan pintar, dan selanjutnya, pegawai itulah yang (akan) menggantikan jabatan dari si pemberi ilmu tadi. Tentu juga dengan berbagai kemudahan fasilitas pendidikan yang ia dapatkan.

Tetapi, realita boleh dipersandingkan dengan teori. Dan, itulah yang harus diperbaiki.

Pendidikan yang tidak menyiapkan keterampilan, tentu saja harus jadi pertimbangan. Dimana, pada akhir sesi wawancara ketika pertama kali hendak berkerja, setiap pelamar kerja akan di-interview dengan sebuah pertanyaan skak-mat, “Anda ingin dibayar berapa?”.

Banyak dari sarjana lulusan perguruan tinggi dibuat berkelu lidah dengan pertanyaan ini. Ia akan mengukur diri, terkait apa saja yang ia bisa, selain, tentunya, mendengarkan para dosen memberikan kuliah di kelas.

Lagi-lagi, pemerintah juga telah mengantisipasi ini. Secara teori, terdapat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Ini adalah pengejawantahan Sekolah Tehnik Menengah (STM) dan Sekolah Menengah Kesejahteraan Keluarga (SMKK) pada masa lalu

Dan, sudah seharusnya, sesuai dengan teori, setiap tamatan sudah bisa berkerja dengan keahlian yang dia dapatkan di sekolah. Setelah berkerja, ia dapat menyerap ilmu lanjutan di tempat ia berkerja.

Semudah itukah? Fakta dan realita, cek dan cross cek tentu saja perlu. Dan persoalan ini tentunya tidak hanya dilihat sebagai “seorang pedagang yang datang ke Tanah Melayu” saja, seperti pada masa lalu.

Harus ada persaingan yang sangat ketat, seiring dengan liberalisasi ekonomi. Sebab, bersaing akan membuat “seekor harimau memiliki wilayah jelajahnya sendiri.” Itu ungkapan yang tepat, kira-kira.

Ada banyak “Orang Jambi” yang menjelajah Asia dengan keahliannya. Itu satu contoh kasus, dan satu contoh dari globalisasi juga.

Sehingga, “wilayah jelajah” di sini pun harus meliberalisasi juga. Atau, “Bukan Macan Kampung”. Begitulah sikap bijak kita untuk “Peradaban Yang Mendunia” ini.

Bagi anak yang masih bersekolah, tidak ada salahnya untuk mulai diajarkan untuk berkerja secara paruh waktu, tanpa melupakan pendidikan sekolahnya. Sama seperti banyak anak muda di negara maju.

Budaya? Secara perubahan, kita semua telah satu budaya. Siapa pun setidaknya, pernah satu kali dalam seumur hidupnya mencicipi minuman bersoda dengan merek “Coca-Cola”, atau menggunakan sepatu sport bermerek “Nike”.

Persoalannya, apakah mereka yang tinggal di Liverpool sana juga pernah mengenakan baju batik motif “Kapal Sanggat” dari Jambi, misalnya? Itulah persoalannya, dan itulah Globalisasi yang sebenarnya. ***

* Jurnalis TheJakartaPost

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts