Apolah idak atiku ibo, hutan Batang Damar
Api dimakan api….
Itulah penggalan lirik senandung Pematang Dhamma yang didendangkan dalam sebuah gelaran sarasehan kebudayaan bangsa samudra, bertajuk “Api” yang digelar perkumpulan Wangsamudra, Senin malam, 17 Agustus 2020.
Saksikan: Sarasehan Kebudayaan Bangsa Samudra dengan Seri Diskusi Tajuk API #4
Senandung tradisional ini dinyanyikan oleh komunitas Gerakan Muarojambi Bersakat, Desa Jambi Tulo, Kabupaten Muaro Jambi. Alunannya merdu, senandung ini dilantunkan oleh seorang ibu dan anak.
Sementara alat musik tradisional seperti gambang, biola, rebana siam, dan gong, yang dimainkan oleh bapak-bapak dan anak muda. Dengan penuh penghayatan, lirik dari Pematang Dhamma ini berisi tentang kidung ratapan dan kesedihan.
Dalam kidung ini menggambarkan hutan Pematang Damar–hutan keramat yang dikenal dengan surganya anggrek alam dan kearifan lokanya, kini berada diambang kehancuran karena aktivitas korporasi.
Adi Ismanto dari komunitas Gerakan Muarojambi Bersakat, menceritakan, senandung Pematang Dhamma dibuat setahun yang lalu. Syair yang lahir dari kidung ini bermula dari kemasygulan komunitas Gerakan Muarojambi Bersakat akan kerusakan hutan Pematang Damar.
Pada tahun 2013 sebuah perusahaan perkebunan sawit ekspansi di hutan itu. Bersamaan dengan waktu itu mereka menyelamatkan anggrek alam yang hidup di hutan Pematang Damar. Kemudian Pematang Damar atau hutan Batang Damar hancur terbakar tahun 2015.
Rawa gambut di hutan Batang Damar hancur, kobaran api turut memanggang tanaman anggrek alam yang dikenal sebagai tanaman dewo itu. Setelah kebakaran tahun 2015, aktivitas perusahaan sempat reda. Tapi, kini aktivitas alat berat muncul lagi di hutan Batang Damar.
“Sekarang (hutan pematang damar) itu jadi lahan perusahaan, kami dengan kawan kawan mendalami musik tradisi dan membuat lagu tentang pematang damar,” kata Adi saat berkisah awal mula lahirnya kidung Pematang Dhamma di acara sarasehan kebudayaan Wangsamudra.
“Kita turut prihatin dengan apa yang dialami oleh masyarakat di Jambi Tulo, semoga saja aktivitas itu ada kebijakan dari pemerintah yang kemudian bisa menghentikan (kerusakan pematang damar) itu,” sambung Syam Terajana, tuan rumah sarasehan kebudayaan bangsa samudra bertajuk “Api” itu.
Hutan Pematang Damar Diambang Kehancuran
Masyarakat di Jambi Tulo, Kecamatan Maro Sebo, telah lama menabalkan hutan Pematang Damar sebagai hutan larangan yang amat sakral. Hutan itu dulunya menjadi istana tanaman anggrek alam. Tanaman ini sering disebut dengan istilah tanaman dewo.
Tercatat dalam identifikasi ada 84 jenis anggrek alam di hutan Pematang Damar. Anggrek-anggrek itu dulunya hidup liar di rawa gambut. Jenisnya beragam, ada Dendrodium Pomatocalpa dan masih lainnya. Bahkan sangking banyak jenisnya, ada anggrek yang diberi label dengan nama kampung.
Dulunya di dalam hutan itu dikeramatkan, orang tak bisa masuk secara sembarang. Di dalam hutan itu terdapat aneka kearifan lokal. Selain sebagai daerah tangakapan air, di hutan itu terdapat jejak peninggalan kanal kuno–terhubung ke kompleks Percandian Muarajambi.
“Di situ ada peninggalan, ada aliran kanal kuno, ditemukan juga pecahan keramik. Cerita dari orang tua, dulu di situ dipakai sedekah umo,” ujar Adi.
Kemudian saat hari besar, seperti malam tahun baru masehi, di kawasan Pematang Muncul sebuah fenomena langka, yakni memancarkan cahaya seperti bola api. Namun, masyarakat di sana menyebutnya dengan cahaya kunang-kunang.
“Sampai sekarang kami tidak bisa membuktikan secara ilmiah itu fenoma apa, tapi wujudnya ada,” kata Adi.
Dulu hutan Pematang Damar dengan segala isinya telah menjadi sumber penghidupan masyarakat. Namun sekarang Pematang Damar telah diekspansi oleh PT Sumber Sedayu dan PT Agro Bumi Lestari.
Raungan buldozzer milik korporasi itu begerak membuat kanal-kanal baru. Bekas sawah-sawah kuno tak tersisa. Rawa gambut di sanapun perlahan kerontang.
Pematang Damar dengan luas sekitar 240 hektare itu akan berubah menjadi perkebunan sawit dan jabon. Lalu akankan ada kebijakan yang nurani untuk Pematang Damar agar tetap lestari?