Jon Afrizal*
“Tulisan yang baik adalah jika pembaca ikut larut di dalamnya.”
Ini adalah prasa yang selalu diulang-ulang oleh para penulis, sejak jaman tulisan mulai ada, hingga saat ini, mungkin. Karena, hingga saat ini, tidak diketahui siapa penulis pertama yang menggunakan prasa ini.
Sebelumnya, kita telah bicara masalah psikologis. Psikologi para sumber ketika kita – jurnalis – melalukan wawancara.
Dan sangat tidak adil, jika penulis hanya melihat orang lain, tanpa melihat dirinya sendiri. Maka, “permainan” psikologis pun diperlukan dalam setiap penulisan.
Sebelum meminta pembaca larut di dalam tulisan, tentunya penulis yang terlebih dahulu melibatkan emosinya; baik ketika liputan maupun ketika menulis.
Beberapa orang akan mengatakan “empathy”. Yakni suatu perasaan dimana penulis merasakan apa yang dirasakan “objek” atau orang dan suasana yang akan ditulisnya.
Seperti berusaha ikut merasakan kesedihan dan rasa putus asa yang dirasakan seorang korban yang rumahnya terbakar, misalnya. Tentu saja, ini semua butuh latihan.
Butuh banyak kali liputan hingga dapat merasakan apa yang dirasakan “objek” dari tulisan. Tetapi, ketidakpahaman wartawan muda sering terlihat, tepat ketika berada di lokasi liputan.
“Apa yang ibu rasakan saat ini?” Pertanyaan ini sering kita dengar dari mulut seorang wartawan yang sedang melakukan liputan terkait musibah.
Layakkah pertanyaan ini diajukan kepada mereka yang jelas jelas tengah menderita? Bagaimana, jika kondisi berbalik, dan si wartawan yang merasakannya?
Persoalan rumit bagi wartawan muda, adalah memposisikan diri untuk sederajat dengan sumbernya. Dalam persoalan ini, tentu saja kita akan bicara terkait empathy tadi.
Adalah tidak mungkin setara atau merasakan apa yang diderita orang, jika tidak ada unsur psikologi yang diterapkan oleh si wartawan.
Kita tidak sedang membahas teori terkini tentang psikologi. Melainkan memperlakukan perasaan kita setara dengan mereka, seperti korban kebakaran, misalnya.
Jika tidak, maka tentu saja tidak akan dihasilkan sebuah tulisan yang “layak”. Melainkan hanya sebuah berita tentang sebuah rumah yang terbakar saja.
Sebuah tulisan yang “dingin” dan tidak menggerakan empathy para pembacanya. Sebab, tugas seorang jurnalis adalah membuat para pembacanya terinspirasi dengan tulisannya.
Jika nanti, para pembacanya akan membantu korban, misalnya, bisa dikatakan bahwa jurnalis itu punya tujuan dalam menulis, dan tujuannya telah tercapai.
Ada banyak cara untuk merasakan apa yang diderita orang lain, jika kita bicara tentang liputan terkait musibah atau konflik.
Jurnalis yang sudah terbiasa melalukan peliputan dan penulisan terkait ini, akan mengambil sikap untuk melihat sekililing terlebih dahulu. Ia akan memperhatikan dengan cermat apa yang tengah dilakukan para korban.
Terkadang, untuk menghilangkan ke-jengah-an, ia pun ikut berbaur dengan para korban, dan membantu mereka. Setelah dirasa kondisi telah memungkinkan, ia akan mendekati korban.
Selanjutnya, ia akan berkata, “Apinya terlalu besar. Andai saja kita punya peralatan yang memadai ….”
Ini adalah kata pembuka yang baik untuk memulai sebuah wawancara dengan korban.
Ada dua hal yang dapat diperhatikan di sini. Pertama, jurnalis tadi telah ikut serta membantu korban. Kedua, ia menggunakan kata “kita”.
Tentu adalah kata yang tepat di saat itu. Kata “kita” menunjukan bahwa jurnalis tadi adalah bagian dari mereka, korban.
Ada banyak cara untuk itu, dan tidak melulu terkait contoh kasus di atas saja. Seiring bertambahnya jam peliputan, sudah seharusnya jurnalis mengasah cara ia mendekati “objek” berita.
Sebab, setiap kondisi memiliki keunikan. Sehingga tidak bisa disamaratakan begitu saja. ***
* Jurnalis TheJakartaPost