Rumah Perjuangan berukuran 7×12 meter itu telah kokoh berdiri di Desa Pemayungan, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi. Lokasinya hanya sepelemparan batu dari jalan koridor hutan tanaman industri.
Di rumah itu hampir tiap bulan sekitar 100 petani yang tergabung dalam Perkumpulan Petani Pemayungan Mandiri (PPPM) menggelar musyawarawah. Strategi untuk merebut hak atas tanah itu ditelurkan dari dalam rumah itu.
Tak hanya strategi, pelatihan dan penguatan kapasitas bagi anggotanya pun sudah digelar di rumah tersebut. Keluh kesah, hingga ide-ide gerakan berkecamuk di rumah yang kini dibikin permanen di desa mereka.
“Kalau dulu sebelum ada Rumah Perjuangan ini kami mau diskusi atau rapat anggota harus numpang di rumah Pak Sum (aggota PPPM). Sekarang sudah semakin ringan, punya tempat sendiri, sudah mulai tertata,” kata Ketua Perkumpulan Petani Pemayungan Mandiri (PPPM) Angga dihubungi dari Jambi, Kamis (16/3/2023).
Rumah Perjuangan itu mereka tata sedemikian rupa. Dari sebelunya hanya rumah panggung kecil, kini telah diubah menjadi lantai ubin. Dindingnya setengah batako dan papan. Teras dan ruangan pertemuan dibikin lebih lebar sehingga bisa menampung lebih banyak orang.
Pada bagian di atas atapanya dipasang solar panel. Kini setrum yang mengalir ke rumah tersebut berasal dari energi matahari. Dari solar panel itu, kemudian setrum di simpan ke aki kapasitas 100 watt dan mereka gunakan untuk penerangan.
Penggunaan solar panel ini sebagai salah satu langkah penggunaan energi bersih dalam penyediaan kebutuhan energi listrik. Dengan menggunakan solar panel, ongkos operasional menjadi lebih murah.
“Awalnya kami pikir dari pada pakai genset masih beli bensin lagi. Kalau solar panel kan kita tidak perlu ongkos lagi. Selain untuk lampu, bisa untuk cas HP,” kata Angga.
Dulunya sebelum direnovasi menjadi Rumah Perjuangan tersebut hanyalah rumah panggung yang berdiding papan. Dulu tampak kusam, tanpa penerangan dan air bersih.
Sekarang rumah tersebut berubah total. Fasilitas di dalamnya terdapat perlengkapan alat tulis, rak arsip, meja yang berguna untuk menunjang proses kegiatan yang akan dilakukan oleh kelompok tani itu.
Rumah Perjuangan yang dibangun ini diharapkan bisa menjadi tonggak penguatan basis petani yang sampai sekarang masih terus memperjuangkan hak atas tanah.
Konflik Agraria yang Tak Kunjung Usai
Akhir 2022 lalu, P3M mendapat dukungan dari Dana Nusantara yang diinisiasi oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) untuk pembentukan pusat pendidikan rakyat.
Fungsinya untuk merevitalisasi, memulihkan, berinovasi dan berkolaborasi untuk meningkatkan kapasitas, kualitas pengetahuan dan keterampilan masyarakat adat dan komunitas lokal dalam mempertahanan, melindungi dan mengelola tanah, lingkungan hidup.
Sokongan dana itu kemudian digunakan untuk merenovasi Rumah Perjuangan di Desa Pemayungan. Rumah Perjuangan yang dibikin untuk P3M ini menurut Angga, amat diperlukan. Sebab, daerah tersebut kasus konflik lahan antara petani dan perusahaan sampai sekarang masih terus terjadi.
Konflik ini terjadi ketika masuknya perusahaan hutan tanaman industri karet PT Lestari Asri Jaya–anak usaha PT Royal Lestari Utama (RLU) mendapatkan izin konsesi hutan tanaman industri (HTI) di Tebo pada 2009. Wilayah kebun masyarakat dan petani di daerah itu diklaim perusahaan masuk ke wilayah konsesinya.
Banyak lahan garapan masyarakat masuk dalam konsesi perusahaan dan memicu konflik berkepanjangan. Pada 2018 konflik antara masyarakat dan perusahaan meletus.
Bertahun-tahun para petani bergelut dengan rasa masygul, kesal hingga putus asa. Karena kebutuhan ekonomi untuk keluarga, mereka terus berusaha bertahan.
“Mau bagimana lagi, ya mau enggak mau harus tetap bertahan, karena semua sumber penghidupan kami sudah ada di sini (Pemayungan).” kata Teguh, petani yang tergabung dalam PPPM.
Sampai sekarang perkumpulan organisasi ini mewadahi hampir 100 petani yang berkonflik dengan LAJ dan PT Wana Mukti Wasesa. Total lahan yang berkonflik mencapai 370-an hektare.
Desa Pemayungan, berdasarkan hasil kajian yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi merupakan satu di antara ratusan desa yang sampai sekarang mendera konflik agraria dengan perusahaan.
Adapun jumlah konflik agraria di Provinsi Jambi mencapai 156 kasus. Konflik agraria ini sampai sekarang belum terselesaikan.
Konflik-konflik agraria itu memunculkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berupa kekerasan, baik itu berupa kriminalisasi, intimidasi dari aktor relasi kuasa yang lebih tinggi. Perusahaan pemegang izin konsesi HTI masih mendominasi konflik dengan masyarakat atau mencapai 70 persen, kemudian disusul perkebunan kelapa sawit 20 persen, dan konsesi perusahaan restorasi ekosistem 10 persen.
Secara nasional, Walhi mencatat penguasaan agraria sebesar 70 persen dikuasai oleh perusahaan kehutanan, 16 persen perusahaan perkebunan, dan 7 persen dikuasai golongan kaya, sementara sisanya dikuasai oleh masyarakat miskin. Dampaknya 10 persen orang kaya telah menguasai 77 persen kekuasaan nasional.
Kebijakan pertanian yang tidak pro terhadap petani turut memperparah kemiskinan pedesaan. Catatan Aliansi Petani Indonesia (API) rata-rata terdapat 59 rumah tangga tani yang keluar dari sektor pertanian/jam. Kondisi yang terjadi itu adalah tak bisa dilepaskan dari dampak penguasaan lahan secara-besaran oleh korporasi sehingga berdampak pada konflik agraria yang tak berujung.
Penguatan Basis Petani di Desa
Serikat yang diberi nama Perkumpulan Petani Pemayungan Mandiri (PPPM) pada 2020 menjadi gerakan perjuangan mereka. Anggota perkumpulan tersebut, terus berjuang untuk tanah garapannya yang diklaim sebagai wilayah konsesi perusahaan.
Manajer Advokasi, Kajian dan Kampanye Walhi Jambi Eko Mulia Utomo mengatakan, Rumah Perjuangan diperlukan untuk mengefektifkan anggota PPPM berdiskusi. “Fungsinya sebagai ruang belajar bersama untuk proses kaderisasi, edukasi, dan penguatan basis petani di kampung,” katanya.
Di tegah konflik dengan perusahaan yang belum menemukan titik temu, menurut Eko, diskusi penting bagi masyarakat tani.
“Kalau di Walhi itu kan ada PKRD, pendidikan Kader Rakyat Dasar yang mempelajari hukum kritis, paralegal dan sebagainya. Sehingga butuh tempat dan ruang privat,” kata Eko.
Menurutnya Eko, Rumah Perjuangan itu dibangun sebagai bentuk perlawanan masyarakat yang tengah menuntut haknya pada perusahaan. Dia berharap, Rumah Perjuangan di Pemayungan bisa menjadi contoh bagi masyarakat di tempat lain, terutama di wilayah yang tengah berkonflik dengan perusahaan.
“Harapan kita setiap wilayah punya rumah perjuangan masing-masing,” ujar Eko.
Kemudian lanjut Eko, melalui wadah ini mereka bisa mengonsolidasikan gerakan lingkungan, gerakan petani, dan gerakan pembaruan agraria di seluruh wilayah Nusantara.
Reforma agraria, dan lingkungan mesti disatu-padukan dan bergotong-royong. Hal itu untuk memastikan penguatan basis di kampung. Dia menambahkan menambahkan, kehadiran Rumah Perjuanhan ini uga akan membuat rakyat semakin kuat dan solid.
“Ini bisa memperkuat bagi perjuangan reforma agraria, lingkungan hidup. Dan juga petani membangun solidaritas lebih luas lagi dalam membangun gerakan,” demikian Eko Mulyo Utomo.
Keterangan foto utama: Pengurus dan anggota Perkumpulan Petani Pemayungan Mandiri (PPPM) ketika berdiskusi di Rumah Perjuangan. (Kilasjambi.com/dok Walhi Jambi)