Jon Afrizal*
Masa kecil, bagi banyak warga di Kota Jambi adalah memahami alam. Yakni menyusuri sungai-sungai kecil yang berpangkal di kawasan yang tinggi, dan pada akhirnya ke Danau Sipin.
Suatu keasikan tersendiri, dimana kita akan melihat ular berwarna melata dari satu helai daun ke helai daun lainnya. Pada saat biawak berburu ikan di kolam-kolam warga, ketika perutnya mulai lapar di ujung senja.
Hurray, waktu pulang sekolah telah berdentang seiiring bunyi bekas velg mobil yang dipukul oleh penjaga sekolah. Dan, dimulailah petualangan yang mungkin saja tak akan sebanding dengan Huck Finn dan Tom Sawyer-nya Mark Twain.
Tetapi tetap saja asik dan mencumbu rintangan. Parit-parit kecil itu begitu menantang untuk dijelajahi satu per satu.
Umumnya, rumah hanya diisi oleh penganan di dalam tudung saji. Dan, ibu yang sibuk mencari nafkah sebagai pegawai negeri sipil, yang akan pulang pada pukul 14.00 WIB nanti.
Seperti ada yang meng-komandoi, sekitar lima anak akan membawa bekal masing-masing. Ada yang membawa sedikit nasi, minyak sayur, dan ada juga yang membawa minyak tanah, juga panci kecil.
Tapi, yang utama ada, buluh atau bambu yang telah berubah warna menjadi cokelat muda; pancing, yang telah dilengkapi dengan seutas tali senar plastik berukuran halus.
Satu yang sangat dipahami di antara anak-anak itu, adalah untuk menjaga peralatan pancing masing-masing. Jangan sampai buluh pancing tergeletak di tanah dan dilangkahi kawan yang lain. Jika itu yang terjadi, maka ikan apapun tidak akan memakan umpan berupa ulat yang mereka gali dari tanah gembur di sekitar pokok pohon pisang.
Ayo, kegiatan dimulai. Tangan kanan masing-masing anak melempar pancing yang ditajur ke kali. Fokus dan tenang. Butuh waktu 10-15 menit, hingga, olala, ikan gabus abu-abu kecokelatan memakan umpan.
Suasana tetap tenang, meskipun bertarung di dalam pikiran masing-masing. Lima menit selanjutnya, jenis ikan yang sama memakan umpan dipancing yang sama.
Sekitar pukul satu siang, “Rajo Batu!” teriak mereka ramai-ramai. Artinya, hanya satu anak itu saja yang mendapatkan lima ekor ikan gabus.
Dengan cekatan, ranting dikumpulkan bersusun berserak di antara tiga batu. Api ditiup untuk dinyalakan, dan panci kecil pun diletakan di atasnya.
Dan, entah bagaimana cara membersihkan ikan yang tepat, yang jelas, isi perut ikan dikubur semuanya. Jika dibuang sembarangan, maka artinya kawasan itu bukan lagi milik mereka, melainkan milik biawak.
Bergemeritik bunyi minyak sayur, dan ikan pun dimasak ala kadarnya. Makan siang di atas rumput sambil derai tertawa mengingat apa yang terjadi di sekolah tadi.
Tetapi, anak-anak adalah pribadi yang selalu mencoba sesuatu yang baru. Setelah beberapa waktu memancing, maka, selanjutnya, pasangan sandal akan berjejer dengan rapi di pinggir kali.
Yup, nyerok. Nyerok adalah sejenis menangkap ikan dengan cara paksa, dengan menggunakan bekas tudung saji, ke arah pinggir kali yang airnya lebih dalam, atau sejenis lubuk.
Jelas saja, ikan yang didapat lebih beragam dan banyak. Namun resikonya adalah kulit telapak kaki yang, bisa saja terbelah, karena sisa pecahan piring atau gelas yang terbuat dari kaca.
Jika sore sudah menjelang, maka setiap anak akan bergegas pulang ke rumah. Sebab, itu artinya cartoon time. Saat menonton film kartun di saluran satu-satunya, tepat pada pukul lima sore. Karena, aki telah di-cas. Yaah, listrik baru menyambangi rumah-rumah penduduk secara massal pada sekitar tahun 1982.
Setelah itu, ramai mereka menuju langgar, sebutan untuk mushala kecil di kampung masing-masing. Salat Magrib berjamaah, mengaji alif-ba-ta hingga waktu salat Isya.
Bagi banyak anak, Warta Berita adalah sesuatu yang membingungkan. Sehingga, tepat pukul sembilan malam adalah saatnya ke peraduan.
Sebab, besok adalah hari libur, dan mereka punya percobaan baru.
Selesai sarapan, mereka pun ke kali. Tetapi, tanpa membawa apapun.
Sesampai di kali, rencana diimplementasikan. Satu per satu batu di susun membentuk setengah lingkaran ke satu arah di kali. Sementara sisi lainnya, air tetap mengalir.
Bendung. Dan, tangan-tangan menelungkup membuang air ke arah air kali yang mengalir.
Setelah bagian tadi mulai mengering airnya, maka tidak hanya ikan gabus saja, tetapi juga ikan lele, betok dan sepat, termasuk ikan gapi.
Hasil tangkapan dibagi rata, dan dibawa pulang untuk digoreng pada saat menjelang jadwal makan siang.
Sesampai di rumah, ehm, setiap ibu akan dengan murka menjewer telinga. Dengan telunjuk mengarah ke kaki masing-masing anak, yang penuh dengan bekas luka gatal, yang biasa disebut koreng.
Tidak jadi makan siang dengan ikan hasil bendung, melainkan sebuah buku tulis kosong telah menunggu untuk ditulis hingga lembar terakhir.
Di-setrap. Yakni hukuman ala sekolah di masa Belanda lalu. Hanya satu kalimat yang akan ditulis secara terus menerus, dengan menggunakan huruf halus-kasar. Yakni, “Saya tidak akan mencari ikan di parit lagi”.
Buku tulis yang berisi sekitar 60-an lembar itu akan selesai ditulis sesuai proyeksi. Tiga hari lamanya.
Setrap jenis ini, tidak hanya bersifat hukuman semata. Melainkan juga membuat banyak orang yang kini berusia di atas 40 tahun masih tetap bisa menulis huruf halus-kasar dengan rapi. ***
* Jurnalis TheJakartaPost