Sebatang tiang listrik masih berdiri di simpang empat di Tempino, Kecamatan Mestong, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi. Bentuknya yang berbeda dari banyaknya tiang listrik sekarang, menandakan tiang listrik itu dibangun sudah lama.
Dalam sebuah arsip foto perpustakaan digital Belanda tahun 1949, terlihat sejumlah tentara Belanda dengan kendaraan militer sedang bercengkrama di simpang empat Tempino, tak jauh dari tiang listrik itu.
Tiang listrik yang bentuknya menyerupai tangga tersebut pada bagian bawahnya telah berkarat. Meski sudah lama, keberadaanya masih digunakan untuk mengalirkan setrum, terlihat di atasnya masih terdapat kabel disambungkan ke tiang listrik lain.
Tiang listrik itu menurut warga di Tempino dibangun oleh Belanda tahun 1940, sewaktu daerah tersebut masih menjadi lumbung minyak. Tiang itu dibangun di lokasi yang strategis. Tak jauh dari simpang empat juga pernah berdiri bangunan pasar dan gedung bioskop.
Selain ada gedung bioskop, juga berdiri sebuah bangunan tua peninggalan belanda. Bangunan berkelir biru yang dulunya digunakan sebagai tempat pertemuan pegawai minyak itu, kini tak terurus.
Siang itu, Kamis 9 Juli 2020, awak Kilasjambi.com menyambangi Tempino. Di sana kami bertemu dengan Udin, penerus usaha warung Sup Pak Kutar. Warung tersebut sudah melegenda dan kerap didatangi pejabat di Jambi.
Pak Udin, pria paruh baya kelahiran Tempino 1958 tersebut mengisahkan, tempo dulu saat masih berjaya sebagai lumbung minyak Tempino tumbuh seperti desa metropolitan.
Namun, seiring dengan sumber minyak yang kian habis, Tempino hanya menyiasakan sisa-sisa masa keemasanya. Beragam peninggalan masa kolonial masih dapat kita jumpai di sana.
“Di sini dulu ada Pasar Tempino dibangun tahun 1933. Dan itu di atas sana habis tanjakan masih banyak rumah-rumah gedong peninggalan Belanda,” kata Udin kepada kami.
“Angker…,” timpal Udin santai sembari menyembulkan asap rokok kretek dari bibirnya itu.
Bangunan rumah gedong pada masa itu kata Udin yang ceritanya didapat dari orang tua, dulunya ditempati oleh bos pegawai minyak yang saat itu bernama Nederlandsch Indie Aardolie Maatschaooij (NIAM), perusahaan patungan Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) dan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1922.
“Yang pekerja biasa rumahnya di bedeng-bedeng, sekarang sudah enggak ditempatin lagi, banyak ditinggalkan,” kata Udin.
Tempino adalah desa dengan bentuk kelurahan. Kawasan ini terletak tak jauh dari jalan raya lintas Sumatera yang dekat dengan batas Jambi-Sumsel.
Berjarak 28 kilometer dari pusat Kota Jambi, dulunya sejak masa kolonial Belanda dikenal menjadi salah satu lumbung minyak di Provinsi Jambi.
Bahkan dalam sebuah catatan sejarah, Belanda menjadi Tempino sebagai target untuk direbut kembali pada tahun 1948, atau setelah masa kemerdekaan Republik Indonesia.
“Di Tempino ini ada 127 sumur minyak, sekarang sumur sudah tua banyak yang enggak produksi lagi,” kata Udin.
Menyilau Masa Kejayaan Minyak di Jambi
Tempino menjadi salah satu kawasan sumber minyak di Jambi. Pipa-pipa minyak dari Tempino dialirkan ke Plaju, Sumatra Selatan. Pipa-pipa tersebut, masih dapat ditemui disepanjang jalan lintas Jambi-Sumsel.
Peneliti sejarah dari Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Kepulauan Riau, Dedi Arman dalam sebuah penelitannya mengungkapan, potensi minyak di Jambi ditemukan Nederlandsch Indische Aardolie Maatschappij (NIAM), perusahaan patungan Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) dan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1922.
“Jaringan pipa pertama yang mengalirkan minyak dari Jambi ke Palembang dibuka tahun 1923,” tulis Dedi Arman dalam sebuah makalahnya yang berjudul Perkembangan Industri Perminyakan Jambi 1922-2011.
Saat itu, pengeboran sumur minyak dilakukan di Bajubang yang kini menjadi nama sebuah kecamatan di Kabupaten Batanghari. Tak hanya di Bajubang, tahun 1929 ditemukan ladang minyak di Kenali Asam dan tahun 1930 ditemukan lagi sumur minyak di Tempino.
Selama masa depresi tahun 1930-an, kata Dedi, Jambi merupakan satu-satunya tempat dimana BPM meluaskan sumur-sumur minyaknya. Minyak mendatangkan setengah juta gulden antara tahun 1923 dan 1930.
Namun, minyak tak memberikan kesejahteraan pada masyarakat Jambi pada periode awal ini. Pekerja disektor perminyakan ini orang dari Luar Jambi. Tahun 1929, pengeboran minyak di Jambi menyerap 2.400 pekerja. Umumnya mereka dari Jambi dan ada juga sebagian kecil dari Palembang dan Minangkabau.
“Masyarakat Jambi lebih suka menjadi majikan di kebun karet ketimbang bekerja jadi pekerja perusahaan minyak Belanda,” kata Dedi.
Pada masa itu kegiatan penambangan minyak telah melahirkan kota-kota kecil yang menjadi pusat keramaian dengan fasilitas yang lengkap, seperti Bajubang dan Tempino.
Dalam perkembangannya, pengelola perminyakan di Jambi berganti-ganti sejak masa kemerdekaan hingga masa reformasi. Antara lain, dikelola Permiri, NIAM, PN Pertamin, PN Pertamina, Pertamina, PT Pertamina EP Regional Sumatera, JOB PTM Gulf Resoyrce Jambi Ltd, PT Pertamina UBEP Jambi dan PT Pertamina EP Asset 1 Field Jambi.
Kemudian berjalannya waktu Pertamina memindahkan kantor pusatnya dari Bajubang ke Kenali Asam tahun 2011. Secara perlahan Bajubang berubah seperti kampung lainnya di Kabupaten Batanghari.
Tak hanya Bajubang, Tempino yang dulunya dikenal sebagai lumbung minyak, kini pun diselimuti sunyi, tak seramai dulu lagi kala menjadi desa metropolitan.
“Pernah di Tempino ini mau dijadikan destinasi wisata sejarah, tapi enggak tau sekarang gimana,” kata Udin. Dia pun kemudian tetap kembali ke dapur Warung Sup Pak Kutar yang melegenda itu.