KILASJAMBI – Berkat perjuangan Kolonel Abunjani dan pasukan melawan penjajah Belanda hingga genjatan senjata pada perjanjian Renvile, wilayah Jambi dapat dipertahankan. Ia juga yang mewakili Indonesia dalam perundingan dengan wakil Belanda di Muara Tembesi terkait serah terima Kota Muara Bungo ke pelukan tanah air.
Namun pemerintah Indonesia masih menolak usulan Kolonel Abundjani, untuk ditetapkan sebagai pahlawan nasional tahun ini. Padahal jasanya untuk mempertahankan kemerdekaan di Jambi, bahkan Indonesia begitu besar.
Berdasarkan surat dari Kementrian Sekretariat Negara RI, Nomor R-09/KSN/SM/GT.02.00/11/2023, lima nama usulan yang telah ditetapkan pahlawan nasional adalah Ida Dewa Agung Jambe dari Provinsi Bali, kemudian Bataha Santiago dari Provinsi Sulawesi Utara, lalu M Tabrani dari Jawa Timur, seterusnya Ratu Kalinyamat dari Jawa Tengah, kemudian KH Abdul Chalim dari Jawa Barat dan terakhir KH Ahmad Hanafiah dari Lampung.
“Nama Kolonel Abundjani belum ditetapkan sebagai pahlawan nasional, meskipun sudah diusulkan tahun lalu,” kata Sejahrawan dari Universitas Jambi, Irhas Fansuri Mursal melalui pesan singkat, Minggu (12/11/2023).
Ia mengatakan Kolonel Abundjani tergolong unik, meskipun sudah mengundurkan diri dari tentara, ketika wafat jenazahnya tetap disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Garis perjuangan Kolonel Abudjani tak mengenal kata lelah apalagi menyerah. Ia bertempur melawan Belanda pada tahun 1947 saat agresi I tentara Belanda, yang membonceng pasukan sekutu, untuk kembali menjajah Indonesia.
Perjuangan Kolonel Abudnjani dengan pimpinan daerah Jambi Muhammad Isa, berhasil mempertahankan sebagian besar daerah Jambi, khususnya Kota Jambi dari aksi pendudukan kembali oleh tentara Belanda.
Ketika bertempur dengan Belanda, pejuang-pejuang ini kekurangan logistik. Sehingga Abunjani berinisiatif mendirikan Badan Keuangan Perjuangan guna memobilisasi perdagangan karet dari Jambi ke Singapura.
Pesawat tempur Catalina
Keuntungan dari perdagangan karet ini, kemudian sekitar 10 persen disisihkan untuk dana perjuangan. Usaha tersebut selain untuk membantu perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI, juga dapat digunakan untuk sewa-beli pesawat Catalina (RI 05) sebagai pesawat penghubung ke Bukittinggi atau ke Yogyakarta ibu kota RI dalam keadaan darurat.
“Tidak hanya itu, keuntungan perdagangan karet juga untuk memasok perlengkapan dan perbekalan pasukan, serta mendukung perdagangan barter komoditi lada, vanili dan karet,” tulis Irhas dalam dokumen usulan pahlawan nasional dari Jambi.
Kolonel Abunjani juga berhasil melaksanakan pencetakan dan penyediaan uang Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatera (URIPS) sebagai alat penukar yang sah di Jambi pada masa geriliya dan menembus blokade Belanda melalui laut dan udara sehingga Jambi menjadi pensuplai barang kedaerah lain di wilayah Republik Indonesia.
Setelah Belanda melancarkan Agresi Militer II pada 29 Desember 1948, Ibukota Yogyakarta diduduki Belanda serta Presiden dan Wakil Presiden bersama sejumlah pejabat tinggi ditahan. Mengisi kekosongan pemerintahan, di Bukittinggi dibentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di bawah pimpinan Sjafruddin Prawiranegara yang menjalankan pemerintahan Republik secara bergerilya.
“Pada hari yang sama Jambi juga diserang dan kemudian diduduki Belanda. Kala itu Abunjani bersama dengan Raden Inu Kerdapati dan M Kamil melakukan pengungsian. Sebagai Komandan STD Abunjani bertindak cepat memindahkan pusat pemerintahan dan markas pertahanan ke Bangko.
“Sesuai dengan surat kuasa Residen Jambi Raden Inu Kerdapati kepada M Kamil (Bupati Jambi Hilir) pada 1 Januari 1949 untuk meneruskan Pemerintahan Darurat Keresidenan Jambi,” kata Irhas.
Dari sini Abunjani kemudian mengorganisasikan kembali pertahanan daerah dan ikut membentuk dan memimpin pemerintahan darurat sebagai bagian dari PDRI, tambah Irhas.
“Meskipun mengalami berbagai serangan dari Belanda, perjuangan dan pemerintahan darurat Keresiden Jambi berjalan sebagaimana mestinya,” kata Irhas.
Sebulan kemudian, Kota Bangko diserang dari udara oleh pasukan Balanda secara terus menerus selama 2,5 jam. Banyak kerusakan yang terjadi. Rumah sakit, gedung sekolah, kantor pemerintah dan gudang PU, dan bangunan lain rusak atau habis terbakar.
Sepuluh hari kemudian, urusan PDRI dari Sumatera Barat datang meninjau keadaan. Demi menjaga keamanan dan pertahanan daerahnya, Abundjani yang juga diangkat sebagai Wakil Gubernur Militer Sumatera Selatan untuk Jambi, lalu memindahkan markas pertahanan dan pasukannya ke Muara Siau, 30 km dari Bangko.
“Berkat perjuangan dan kepemimpinannya, Abunjani dan pasukannya berhasil mempertahankan wilayahnya hingga disepakatinya gencatan senjata dengan Belanda setelah Perjanjian Renvile,” kata Irhas.
Pasca Konferensi Meja Bundar (KMB) Komandan STD Abudjani dan Residen H Baksan menjadi wakil Republik dalam perundingan dengan wakil Belanda di Muara Tembesi terkait serah terima Kota Muara Bungo kepada pihak Republik. Setelah itu dilanjutkan penyerahan daerah dan kota-kota lain di Jambi.
Abundjani menelan pengkhianatan
Sebagai seorang yang ahli dalam strategi perang, Abundjani pernah gagal karena adanya pengkhianatan. Peristiwa itu bermula ketika Abudjani memerintahkan pasukan untuk memasang bambu rucing, karena pasukan Belanda menyerang kota Jambi dari dua arah, yaitu udara dan laut.
Pasukan payung Belanda kerepotan mendarat di lapangan terbang Paal Merah. Karena parasutnya tersangkut bambu runcing. Namun permasalahannya, upaya tersebut gagal dilakukan karena komandan pasukan yang ditugaskan mempertahankan lapangan terbang Paal Merah menjalin hubungan secara rahasia dengan mata-mata Belanda.
Komandan tersebut memerintahkan anak buahnya yang sudah bersiap-siap menghadapi Belanda untuk menyimpan senjata dengan alasan pemeriksaan kesiapan persenjataan dalam menghadapi serangan pasukan Belanda.
Hal ini merupakan alasan sang komandan yang telah “berkompromi” dengan Belanda, akibatnya ketika Belanda menyerang tidak ada perlawanan dan dengan cepat Belanda berhasil menduduki lapangan terbang dan kemudian berhasil menerobos dan menguasai kota Jambi.
Hal ini jugalah yang mendorong Kolonel Simbolon mengunjungi Jambi dan bergabung dengan pasukan Garuda putih yang dikomadoi oleh Abunjani.
Kendati begitu, pasukan laut Belanda kewalahan menghadapi senapan mesin 12.7 sebagai upaya untuk menghadang serangan Belanda yang masuk melalui jalur laut di tepi Sungai Batanghari.
Masa kecil Abudjani
Abundjani lahir 24 Oktober 1918 di Batang Asai, Sarolangun-Bangko, sebagai anak keempat dari lima bersaudara.
“Beliau berasal dari keluarga terpandang: ayahnya yang bernama Makalam, adalah seorang demang masa Hindia Belanda, berasal dari Kerinci, sedangkan ibunya, Siti Umbuk, berasal dari Desa Keladi,” kata Irhas.
Berkat kedudukan orangtuanya memungkinkan Abundjani mendapat pendidikan sangat baik pada masa itu: setelah menyelesaikan pendidikan dasar di Jambi, ia dikirim ke Bandung untuk bersekolah di MULO, lalu melanjutkan ke MOSVIA (sekolah pamong praja zaman Belanda).
“Sayang ia tidak menamatkan pendidikan terakhir ini karena bala tentara Jepang keburu masuk dan menduduki Indonesia,” kata Irhas.
Pada masa pendudukan Jepang Abunjani sempat mengikuti pendidikan di Shonanto (Singapura), selanjutnya masuk pelatihan militer Jepang, Giyugun, di Pagar Alam, Sumatera Selatan.
Kelak, setelah Proklamasi Kemerdekaan, hasil didikan perwira Jepang inilah yang menjadi tulang punggung pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di mana kebanyakan mereka menjadi perwira tentara dan pemimpin perjuangan di daerahnya masing-masing di Sumatera. (wendi)