- Alih fungsi hutan yang menjadi identitas dan ruang hidup Orang Rimba telah masif terjadi. Kini akibatnya Orang Rimba menghadapi krisis iklim, sampai ancaman krisis kesehatan.
- Kearifan lokal Orang Rimba juga semakin tergerus karena rimba raya tak bisa lagi dipijak. Tanaman obat dan tradisi ritus semakin sulit dilakukan.
- Sementara dukungan pemerintah terkait mitigasi krisis iklim masih sangat minim. Program merumahkan Orang Rimba justru tidak memberikan solusi dan kesejahteraan.
- Orang Rimba–komunitas minoritas masih sulit adaptasi dengan perubahan pola cuaca yang terjadi, karena masih memikirkan bagaimana penghidupan untuk generasi mereka nanti.
Hutan bagi Orang Rimba melambangkan jati diri. Tapi kini bagi sebagian besar Orang Rimba yang tersebar di sejumlah daerah di Provinsi Jambi, merasa kehilangan identitasnya sebagai Orang Rimba. Pohon setubung dan pohon tenggeris sebagai penanda awal mereka hidup di bumi sudah sulit ditemukan.
Pohon setubung dan tenggeris digunakan Orang Rimba sebagai lokasi untuk memancang ari-ari bayi ketika mereka lahir di bumi. Harapannya pohon itu kelak tumbuh besar.
“Sekarang kedua pohon yang jadi tanda itu sudah sulit didapatkan karena deforestasi dan alih fungsi,” kata Koordinator Komunikasi KKI Warsi Sukmareni kepada Kilasjambi.com, Minggu (29/1/2023).
Dalam kosmologi Orang Rimba, hutan memiliki multifungsi dalam menunjang segala kehidupannya. Orang Rimba memiliki ruang-ruang tradisional di dalam hutan antara lain pasoron, tanah bedewo, paranokan.
Selain sebagai ruang hidup, hutan menyediakan sumber makanan. Bahkan keberadaan hutan juga menjadi medium untuk menghubungkan kepercayaan mereka kepada dewa-dewa.
“Piado rimbo, piado bungo. Piado bungo, piado dewo.”
Bait seloka itu diucapkan dari mulut Tungganai Basemen, tetua adat Orang Rimba di wilayah Air Hitam, Sarolangun, Jambi. Seloka ini telah mereka kenal sedari nenek moyang dulu.
Basemen–sesepuh Orang Rimba paruh baya yang paling disegani oleh kelompoknya itu mengartikan maksud dari seloko yang dia ucapkan.
“Tidak ada hutan, tidak ada bunga-bunga. Kalau tidak ada bunga, maka tak ada dewa yang memberikan berkah bagi kehidupan.”
Begitulah petuah moyang Orang Rimba yang menggambarkan bahwa mereka sangat dekat dengan hutan. Bagi Orang Rimba kata Basemen, bait seloka ini memiliki makna amat dalam.
Orang Rimba adalah masyarakat adat di Provinsi Jambi yang bertempat tinggal di kawasan hutan. Mereka hidup berkelompok satu sama lain dan setiap kelompok dipimpin oleh seorang tumenggung (pemimpin adat). Masyarakat adat orang rimba sebagian besar percaya pada dewa dan roh leluhur.
Survei terbaru yang dilakukan KKI Warsi–sebuah lembaga nirlaba yang fokus mendampingi komunitas masyarakat adat Oorang Rimba mencatat, jumlah populasi Orang Rimba mencapai 6.000 jiwa. Jumlah tersebut tersebar di beberapa kabupaten di wilayah Provinsi Jambi.
Orang Rimba atau Suku Anak Dalam (SAD)–masyarakat adat di Provinsi Jambi sangat bergantung pada hutan. Hutan diibaratkan supermarket. Di dalam hutan banyak menyediakan segala kebutuhan seperti sumber makanan dan ramuan obat.
Dulu mereka hidup ajek di dalam hutan. Selain sebagai ruang hidup, hutan mereka yakini bisa melindungi dari penyakit.
Tapi kini hutan dan bunga yang menjadi tempat penghidupannya musnah karena berganti komoditas monokultur. Pun demikian hutan peyangga di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) sudah sedikit menyediakan sumber pangan bagi komunitas mereka.
Menarik untuk dicatat bahwa keberadaan Orang Rimba kini terus-menerus terancam oleh krisis iklim. Hilangnya kawasan hutan begitu cepat mengubah pola ketahanan Orang Rimba. Akibat krisis iklim ini telah memanifestasikan dalam berbagai cara di berbagai sendi kehidupan mereka seperti: ekonomi, identitas, budaya, dan kesehatan.
Diserang Penyakit
Orang Rimba sudah lama menjadi saksi eksploitasi hutan. Wajah mereka murung tatkala melihat rimba-rimba raya hilang ditebang. Alat-alat berat meraung dan keluar-masuk hutan.
Hutan penyangga Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), yang tadinya menjadi tumpuan penghidupan Orang Rimba, telah terfragmentasi, beralih fungsi menjadi perusahaan perkebunan kelapa sawit dan konsesi hutan tanaman industri.
Hasil catatan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, luas konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) di Jambi mencapai 1,5 juta hektare. Eksploitasi dan penebangan besar-besaran itu berada di wilayah hutan tropis dataran rendah .
Beberapa bekas HPH di kawasan orang rimba setengah dekade terakhir berubah jadi izin Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan luas mencapai 318.851 hektare. Al hasil ruang hidup orang rimba terkepung perkebunan sawit skala besar dan industri monokultur cangok lahan.
Di sebelah selatan dan barat penyangga TNBD telah menjadi perkebunan kelapa sawit PT SAL. Begitu pula di sebelah selatan sudah terdapat izin konsesi HTI milik PT JAW dan PT LKU di bagian utara. Sementara di sebelah timur merangsek perkebunan kelapa sawit milik PT Bahana dan konsesi HTI milik PT Wana Perintis.
Kanan kiri, depan belakang wilayah hutan yang dulunya sebagai ruang penjelajahan Orang Rimba kini begitu cepat dialifsungsikan.
Orang Rimba sejatinya adalah orang-orang yang bergantung pada hutan dan menggantungkan mata pencaharian dengan berburu dan mengumpulkan sumber daya hutan.
Kini di tengah ketiadaan rimba, mereka bertahan hidup di tengah ketidakpastian. Aktivitas sehari-hari mereka untuk mencari makanan dan penghidupan semakin susah. Hilangnya hutan semakin memperuncing persoalan kesehatan mereka.
Dalam beberapa tahun terakhir, Orang Rimba lebih rentan terhadap penyakit karena kehidupan yang terkontaminasi limbah industri perkebunan.
“Rimbo habis, sudah hopi biso (tidak bisa) beri pelindung. Gelabah (penyakit) mudah datang,” kata Basemen.
Penyakit infeksi malaria menjadi momok dan sulit dihindari oleh kelompok Orang Rimba. Sejak satu dekade terakhir hutan semakin masif beralih fungsi, rombongan orang rimba di kelompok Berseh menghadapi banyak masalah kesehatan.
Hilangnya hutan itu berakibat pada tingginya angka tingkat keterjangkitan orang rimba oleh virus hepatitis B dan malaria .
KKI Warsi dan Lembaga Bio Molekuler (LBM) Eijkman pada tahun 2015 pernah melakukan studi kesehatan Orang Rimba. Pada studi itu tim mengambil sampel darah Orang Rimba di 3 kabupaten, yakni Sarolangun, Tebo, dan Batanghari.
Hasil studi pada Orang Rimba itu menunjukan 24,26 persen yang terkena malaria. Prevalensi malaria di kelompok Orang Rimba masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan data umum prevalensi malaria di Provinsi Jambi.
Selain itu, kedua lembaga tersebut dalam risetnya menemukan bahwa 4 dari setiap 10 Orang Rimba terjangkit oleh penyakit hepatitis B.
Dinas Kesehatan Provinsi Jambi dalam pemetaan reseptif menemukan varian baru zoonosis malaria monyet ekor panjang atau Plasmodium knowlesi. Zoonosis malaria itu telah ditemukan menjangkiti Orang Rimba di Kabupaten Tebo atau tepatnya di wilayah Muara Tabir di sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD).
Temuan kasus malaria yang ditularkan dari monyet itu kata Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eva Susanti, ditemukan pada tahun 2018, saat program mass blood survey (MBS) yang dilakukan di kelompok Orang Rimba. Pemeriksaan parasit varian baru malaria ini dilakukan lewat pemeriksaan berantai polimerase (PCR).
“Ada temuan 6 kasus Plasmodium knowlesi di kelompok orang rimba yang masuk wilayah kerja Puskesmas Bangun Seranten,” kata Eva.
Fragmentasi habitat fauna akibat deforestasi dan konversi lahan mendorong potensi penyebaran zoonosis atau penyakit menular dari hewan ke manusia semakin meningkat. Pertemuan satwa dan manusia menjadi lebih intens karena terbukanya hutan itu.
Eva tak menampik terbukanya kawasan hutan itu membuat genangan air. Hal ini turut meningkatkan populasi nyamuk yang membawa sumber penyakit.
Kearifan Lokal dan Tanaman Obat Hilang
Mengenakan kaus hitam dengan bawahan cawat, Tungganai Basemen masygul tatkala melihat kondisi rimba yang telah berabad-abad menjadi tempat tinggal kelompoknya. Luasan hutan sebagai sumber penghidupan dan tradisi orang rimba terus menyusut.
Selain berdampak pada kesehatan, kondisi ini turut melemahkan kearifan lokal dalam memanfaatkan tanaman obat dari hutan.
Misalnya dulu kata Basemen, saat orang rimba sakit terkena malaria atau yang kerap disebut domom kuro, mereka tak perlu risau. Biasanya mereka selalu diobati dengan ramuan dedaunan yang berasal dari dalam hutan. orang rimba akan masuk ke hutan untuk mencari daun jerampang, berumbung, dan daun sungke.
Dalam sistem tradisional mereka, dedaunan tersebut bisa mengobati demam panas. Namun kondisi sekarang tanaman obat tersebut sudah sulit didapat.
“Dulu yang namonyo di rimbo segalo ado, kalau anak sakit diobati pakai tumbuhan obat, sekarang iko lah dak ado,” ujar Basemen.
Antropolog dari KKI Warsi Robert Aritonang menjelaskan, dalam kehidupan Orang Rimba banyak ditemukan tradisi yang kaitannya dengan ritual dan ramuan obat.
Hasil ekspedisi Biota Media pada tahun 1998 oleh IPB, LIPI, Universitas Indonesia, KKI Warsi, dan Departemen Kesehatan, menemukan ada 101 jenis tumbuhan dan 27 jenis cendawan berkhasiat obat terdapat hutan Jambi.
Tak hanya ramuan obat tradisional. Orang Rimba dalam menangkal penyakit dengan beragam ritual, salah satunya besale. “Mereka (Orang Rimba) kaya akan pengetahuan mereka sendiri dalam pengobatan, termasuk cara menghindar dari wabah penyakit mereka sudah ada caranya,” kata Robert dalam kesempatan sebelumnya.
Orang Rimba percaya memiliki keahlian dewa obat. Orang Rimba masih memiliki budaya meramu obat tradisional dedaunan dan akar obat-obat yang berasal dari hutan. Selain itu, dalam kosmologi orang rimba, mereka memiliki ritual pengobatan untuk menyembuhkan penyakit berat.
Namun hilangnya hutan semakin mengikis kebudayaan Orang Rimba, baik itu meramu obat atau sebagai medium menjalankan ritual.
“Sumber obat di hutan semakin berkurang, kalaupun ada mereka harus jalan jauh ke lokasi pedalaman,” ujar Robert.
KKI Warsi mencatat dalam lima tahun terakhir deforestasi di Jambi semakin tak terbendung. Pada tahun 2015, luas tutupan hutan primer masih 1,1 juta hektare. Setahun kemudian hutan primer Jambi tersisa 970.434 hektare.
Kemudian pada tahun 2017-2018 luas hutan Jambi kembali menyusut menjadi 920.730 hektare. Pada tahun 2019, hutan Jambi juga masih menyusut menjadi 900.713 hektare.
Data terakhir pada tahun 2020 Luas kawasan hutan primer di Jambi terus mengalami penyusutan. Saat ini hutan Jambi tersisa 882.272 hektare atau 17 persen dari total luasan provinsi ini.
Krisis Iklim dan Tercerabutnya Hak Orang Rimba
Tumenggung Meriau dan beberapa anggota kelompoknya kembali ke peraduan di sudung–pondok semi permanen, beratap terpal, tanpa dinding, dan beralas pelepah sawit.
Gulita malam itu menyergap di kebun sawit yang menjadi tempat tinggal kelompok Meriau. Di luar sudung, belasan anak-anak kumal masih bersendau-gurau. Tak ada penerangan.
Orang Rimba kelompok Tumenggung Meriau menjadi satu di antara yang hidupnya masih menumpang di perkebunan sawit. Terkadang mereka terusir dan memaksa harus pindah ke tempat lain untuk mendirikan sudung.
Tak peduli malam, siang, dan hujan. Kalau sudah diusir, mereka harus berbondong-bondong mencari tempat lain untuk hidup.
Aktivitas sehari-hari mereka untuk mencari penghidupan semakin susah. Hewan buruan sudah menjadi barang langka.
Hidup di kebun perusahaan terkadang bikin mereka sangat kesulitan untuk mendapatkan pasokan makanan. Kadang mereka harus memungut berondolan sawit yang jatuh, namun sangat berisiko dikejar aparat keamanan perusahaan.
Hal yang tak kalah mengkhawatirkan adalah soal pemanasan global dan cuaca ekstrem. Ini turut menjadi ancaman untuk eksistensi kelompok minoritas Orang Rimba. Hak-hak mereka seperti hak ekonomi, sosial, dan budaya menjadi terganggu.
Selain itu hak kesehatan, hak lingkungan hidup Orang Rimba tercerabut akibat krisis iklim ini. Hutan yang sejatinya menjadi tempat mereka berlindung, dan mencari makan berganti komoditas monokultur.
Koordinator Komunikasi KKI Warsi Sukmareni menjelaskan, krisis iklim yang terjadi telah mengubah banyak aspek dalam setiap sendi kehidupan masyarakat, termasuk Orang Rimba. Begitu pula yang paling tampak soal degradasi lingkungan, Orang Rimba makin sulit mendapatkan air sungai yang bersih.
Selain itu, pola musim buah sudah sangat jauh berubah. Dulu orang rimba mengenal dengan musim pertahunan agung–musim buah melimpah yang terjadi setahun sekali. Namun belakangan musim pertahunan agung itu terjadi empat tahun sekali.
“Ini kan perubahan yang nyata. Ketika kondisi berubah, maka ketersediaan pangan menjadi sangat sedikit dan akan menggangu ekonomi mereka,” kata Reni.
Sumber nutrisi yang biasanya mudah didapatkan di hutan sekarang telah berkurang. Akibatnya, orang rimba kesulitan mendapat asupan makanan berupa protein dan karbohidrat.
Hilangnya kawasan hutan tersebut, juga membuat Orang Rimba tergusur. Orang Rimba kerap sulit mengakses akses kesehatan dan dibayangi kemiskinan.
Menurut mantan Direktur KKI Warsi Rudi Syaf, dari jumlah populasi Orang Rimba saat ini sekitar 99 persen hidup dalam kondisi miskin. Selain tinggal di sekitar kawasan hutan, Orang Rimba juga hidup secara semi nomaden di sepanjang jalan lintas tengah Sumatra, Jambi.
“Mau pakai ukuran atau paramater apapun, Orang Rimba itu adalah kelompok masyarakat yang paling miskin dan rentan kesehatannya,” kata Rudi Syaf.
Sementara itu, Koordinator Pusat Kajian Hak Asasi Manusia (HAM) dan Pembangunan Universitas Jambi Doni Yusra mengatakan, secara konstitusional negara bertanggung jawab terhadap hak ekonomi warganya, termasuk suku minoritas yang rata-rata hidupnya berada dibawah garis kemiskinan.
“Yang terjadi di kawasan mereka (Orang Rimba) diberikan izin perkebunan kelapa sawit, sehingga apa yang terjadi mereka akan bentrok dengan perusahaan,” ujar Doni.
Dalam aspek hak ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob) itu kata dia, telah diakui dilindungi oleh instrumen-instrumen hak asasi manusia internasional dan regional. Negara wajib memenuhi setiap hak warga negaranya.
Hak asasi manusia kata Doni, melekat dengan urusan kesejahteraan manusia yang harus menjadi perhatian seluruh pihak. Selain itu hak asasi manusia, menurut dia, bukan semata-mata berbicara mengenai norma-norma dan instrumen hukum.
Melihat kehidupan masyarakat adat–sebagai warga negara yang hidupanya masih terus dibayangi ketidakpastian secara ekonomi dan budaya, Doni bilang, negara–pemerintah abai memenuhi hak warga negaranya.
Memang sudah banyak program pemerintah yang digulirkan pemerintah, salah satunya program hunian bagi Orang Rimba. Namun program ini menurut Doni, tidak memberikan solusi dan terlalu memaksa, sehingga yang terjadi tidak memberikan kesejahteraan bagi mereka.
Orang Rimba punya kearifan lokal tidak bisa tinggal di dalam rumah yang tertutup. Merekaq terbiasa menempati sudung–rumah pernanen yang terbuka tanpa dinding.
“Kearifan lokal yang ada di masyarakat adat itu adalah kekayaan, ini yang harus dipertahankan,” kata Doni.
Apa yang dialami Basemen dan Meriau adalah bagian dari sekrup kecil bagaimana Orang Rimba di Provinsi Jambi hidupnya masih dibayangi ketidakpastian.
Dukungan pemerintah terkait mitigasi krisis iklim masih sangat minim. Orang Rimba–komunitas minoritas masih sulit adaptasi dengan perubahan pola cuaca yang terjadi, karena masih memikirkan bagaimana penghidupan untuk generasi mereka nanti.
“Berikan kami tempat hidup. Kami tinggal di sini (rimba) sudah sejak nenek puyang kami, tapi kami diusir terus,” kata Tumenggung Meriau.
(Gresi Plasmanto)