Kisah Orang Rimba di Pilkada: Hanya Dijadikan Komoditas Politik

Potret kehidupan Orang Rimba di Bungo Jambi, sebagian dari mereka telah menjalani hidup menetap namun masih banyak yang menjalankan tradisi nomaden, foto: kilasjambi.com

KILAS JAMBI – Masih terekam jelas di ingatan Perencam, bila ia sudah melewati beberapa periode pemilihan umum. Namun, tidak ada yang berubah secara signifikan dalam kehidupan sosialnya dengan menyandang status sebagai Orang Rimba.

Perencam bersama komunitas adat terpencilnya di Pasir Putih, Dusun Dwi Karya Bakti, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo, Jambi, memang sudah bisa menggunakan hak pilihnya di pemilu. Sebab secara administrasi, ia dan komunitasnya sudah tercatat dalam data base kependudukan.

Perencam ingat betul sudah beberapa kali “meramaikan pesta demokrasi” dengan menyalurkan hak politiknya di bilik suara, baik itu untuk memilih wakilnya di legislatif maupun eksekutif.

Meski begitu. Ia mengaku tak terlalu mengenal profil seseorang yang dicoblosnya itu, karena hanya mengikuti arahan dari Tumenggung (kepala suku) Orang Rimba.

Idak kenal, idak masuk ke pemukiman,” kata Perencam dengan aksen khas Orang Rimba, di kediamannya, akhir Juli lalu.

Perencam menceritakan pengalamannya saat pemilihan presiden dan pemilihan legislatif Februari 2024 lalu, tidak ada satu pun kandidat yang menyapa mereka, “Idak jugo sosialisasi,” katanya singkat.

Termasuk soal pemilihan kepala daerah (pilkada) yang sebentar lagi mereka hadapi, hingga saat ini dirinya belum mengetahui siapa saja kandidat yang mencalonkan diri.

“Siapo yang datang ke rumah itu lah yang dipilih,” katanya realistis.

Sebenarnya Perencam juga ingin menyampaikan aspirasinya bila ada pasangan calon di pilkada yang mampir ke pemukiman untuk mendengarkan keluhan mereka. Tak muluk-muluk, Perencam hanya ingin menyampaikan setidaknya kebutuhan dasar mereka terpenuhi.

“Kami air tu lah, antrian mau mandi. Terutama anak yang mau sekolah,” kata Perencam.

Tapi sepertinya keinginan Perencam untuk menyampaikan aspirasi bagaikan “pungguk merindukan bulan”, harapannya sulit terpenuhi melalui jalur politisi.

Timses Hanya Sebarkan APK

Hal serupa disampaikan Didi, perempuan rimba yang masih satu komplek dengan Perencam. Tim sukses kandidat hanya menyebarkan alat peraga kampanye (APK), tidak ada yang menyampaikan narasi secara khusus akan membantu kehidupan Orang Rimba.

“Tergantung kami lah, siapo yang datang ke rumah itu lah yang kami pilih, kalau yang idak datang dak kami pilih,” kata Didi tegas.

“Siapo yang datang melamar itu lah yang dipilih,” tambahnya.

“Kalo presiden kan orangnyo jauh, jadi tau dari TV, timnyo jugo tidak ado yang datang sosialisasi,” kata Didi lagi.

Bahkan, ia mengungkap, ada tim sukses calon yang hanya datang meminta KTP dan kemudian memberikan uang. Sebuah doktrin pragmatisme yang mulai disusupi ke Orang Rimba.

Saat menyalurkan hak pilihnya, Orang Rimba tidak disiapkan tempat pemungutan suara khusus, mereka dicampur dengan warga lokal. Mereka mendapatkan surat undangan mencoblos dari pihak desa.

“Pihak desa tidak mempengaruhi soal pilihan,” kata Didi.

Jarang Dapatkan Bansos

Baya, perempuan rimba lainnya mengaku memilih wakilnya tidak melihat secara fisik, tapi yang terpenting baginya bisa memperhatikan kehidupan marjinal mereka.

“Percuma kito milih gagah cantiknyo kalau kito dak pernah ketemu,” kata Baya yang sudah ikut pemilu sejak tahun 2014.

Hanya saja Baya mengatakan, Tumenggung tetap punya peran dalam mengatur kelompoknya saat hari pemilihan, siapa yang sedang pergi berladang diminta balik saat hari pencoblosan.

Sudah berpartisipasi di dua periode pemilu. Baya merasa tidak ada perubahan ekonomi di kehidupannya. Mereka masih mengandalkan berladang di sepetak lahan garapannya, ada juga yang menggantungkan hidupnya dengan bekerja di perusahaan.

Beberapa fasilitas dan kebutuhan dasar juga masih sulit Orang Rimba dapatkan meski sudah terdata dalam administrasi kependudukan.

Dari kiri: Baya, Didi dan Perencam, foto: kilasjambi.com

“Kami jarang dapat bantuan sosial,” kata Baya.

Ada lagi kebutuhan paling mendesak yang mereka inginkan, yaitu air bersih. Meski pemerintah sudah mendirikan fasilitas kamar mandi dan toilet di pemukiman Orang Rimba, tapi mereka kesulitan air. Instalasi pipa dan wadah penampungan air yang sudah terpasang juga tidak bisa mengalirkan air.

“Tidak ada sumur bor. Sumur yang ada sekarang tidak terlalu dalam, debit air yang tersedia dak biso menuhi semua kebutuhan Orang Rimba di pemukiman. Berebutan kalau mau mandi,” kata Baya.

Hanya Pelengkap Suara

Ulvi, Fasilitator Pundi Sumatera, lembaga non profit yang mendampingi kelompok Orang Rimba di Pelepat mengaku bila mereka yang memang mendorong masyarakat adat ini bisa mengakses layanan dasar KTP elektronik.

“Tujuannya agar mereka bisa terdata dalam program pendidikan dan kesehatan pemerintah,” kata Ulvi.

Namun ia menegaskan, bila lembaganya tidak memberikan pendidikan khusus soal politik ke Orang Rimba. Pundi Sumatera fokus dalam pemberdayaan, pendidikan untuk peningkatan kapasitas dan kemandirian.

“Kalau ada tim sukses yang masuk kita hanya mendampingi, tidak ikut mengarahkan. Palingan saya membantu menyederhanakan bahasa aspirasi yang Orang Rimba sampaikan,” kata Ulvi.

Pengalamannya selama mendampingi Orang Rimba, Ulvi mengungkapkan bila partisipasi mereka tinggi dalam memilih tapi banyak yang golput.

“Mereka bingung dengan banyaknya surat suara yang tidak menampilkan gambar kandidat,” kata Ulvi.

Ulvi memiliki pandangan bila Orang Rimba cenderung hanya dijadikan komoditi politik saat musim pemilu. Ini terbukti dari kehidupan sosial sekitar 167 jiwa kelompok rimba di Pelepat yang masih jauh dari kata sejahtera.

Komunitas adat yang dipimpin oleh Tumenggung Hari dan Tumenggung Badai itu menjalani hari-harinya masih dalam pusaran serba kekurangan.

Ulvi juga menyoroti peran penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) yang minim dalam memberikan sosialisasi mengenai tahapan pemilu secara langsung ke masyarakat adat.

“Tidak ada komisioner KPU kabupaten maupun provinsi yang datang langsung, sebatas PPS. Itu pun hanya mendata pemilih dan menempelkan stiker tanda telah dicoklit,” kata Ulvi.

Kondisi demokrasi ini makin terdegradasi dengan tidak adanya partai politik yang memberikan pendidikan politik positif kepada Orang Rimba, “antek-antek” partai hanya memberikan brosur dan mengajak memilih. Cuma sebatas itu.

“Ada lah mobil keliling sosialisasi datang dari penyelenggara pemilu. Mereka ini hanya sebagai pelengkap suara saja,” kata Ulvi.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jambi membantah bila mereka dianggap mengabaikan komunitas adat di pemilihan umum. KPU mengklaim masif melakukan sosialisasi melalui PPK dan PPS.

“Bahkan kita bersama KPU RI sudah turun memastikan hak pilih suara Suku Anak Dalam terpenuhi,” kata Komisioner KPU Provinsi Jambi, Fachrul Rozi.

Prinsipnya, katanya, mereka sama seperti warga lainnya yang juga mempunyai hak pilih, KPU memastikan bagaimana keterpenuhan haknya bisa terakomodir tapi dengan catatan harus memenuhi persyaratan sebagai pemilih, salah satunya memiliki KTP elektronik.

“Kami bekerja sama dengan Dukcapil dan sudah ada yang terdata dalam data pemilihan,” kata Fachrul Rozi.

Begitu juga dengan sosialisasi, “Paling tidak kita menyampaikan kepada mereka agar tahu bila, Rabu, 27 November 2024 adalah hari pencoblosan dan diminta datang ke TPS,” katanya.

KPU Provinsi Jambi juga meminta sosialisasi lebih dimasifkan dengan meminta jajaran KPU kabupaten melalui PPK dan PPS untuk membuat jadwal khusus sosialisasi ke Orang Rimba.

Hanya saja, ia mengakui memang tidak disediakan TPS khusus bagi Orang Rimba, mereka diarahkan ke TPS terdekat.

“Harus ada pembauran, tidak ada pengelompokkan khusus,” kata Fachrul Rozi.

Namun ada kendala yang dihadapi KPU dalam memaksimalkan partisipasi Orang Rimba dalam pemilu, “Kendalanya KTP sebagian dipegang oleh Tumenggung, belum lagi yang masih menjalankan tradisi nomaden (hidup berpindah-pindah),” katanya.

Kebijakan Pembangunan yang Inklusif

Sukmareni dari KKI Warsi, lembaga yang punya rekam jejak panjang dalam mendampingi Orang Rimba di Jambi mengatakan, dalam tahun politik penting juga melakukan advokasi dengan mendorong para calon kelapa daerah untuk memiliki kebijakan yang lebih berpihak terhadap masyarakat adat.

“Karena yang penting itu kebijakan dari kepala daerah terhadap kelompok masyarakat yang rentan seperti Orang Rimba,” kata Reni.

Baya dan Didi dua peremuan masyarakat adat yang telah berulang kali mengikuti pemilu, foto: kilasjambi

Menurutnya, pembangunan yang berkelanjutan pada dasarnya tidak hanya memerlukan strategi ekonomi yang matang, tetapi juga harus menyertakan penguatan budaya lokal, perlindungan sosial masyarakat adat terpencil dan pelibatan masyarakat adat sebagai bagian integral dari proses pembangunan yang inklusif.

Dengan memperhatikan kearifan lokal dan melibatkan masyarakat adat, lanjutnya, kita dapat menciptakan kebijakan yang lebih responsif, adil, dan sesuai dengan kebutuhan serta aspirasi masyarakat.

“Untuk mendapatkan ini, penting adanya kebijakan inklusi untuk kelompok masyarakat ini,” kata Reni.

Dari catatan Warsi, setidaknya populasi Orang Rimba di Jambi mencapai 5.235. populasi ini tersebar di Kabupaten Merangin, Sarolangun, Bungo, Batang Hari dan Tebo. Ceruk suara ini tentu menggiurkan bagi politisi untuk mendulang perolehan suara mereka di pemilu. Ironisnya, suara kelompok marjinal yang mereka kantongi hanya sebagai pelengkap. Setelah pemilu berlalu, kelompok ini hak-haknya kembali terabaikan.

 

Tulisan ini didukung oleh Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) dalam program “Lokakarya Liputan Kolaboratif Jurnalis Masyarakat Adat dan Jurnalis Lokal”

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts