Jambi, kilasjambi.com – Konflik Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) dan manusia terjadi di ujung Pemusiran, dalam dua tahun terakhir. Satwa berbelalai yang makin kehilangan habitatnya itu men-dozer hamparan kebun sawit milik warga.
Sejak 2019, warga di Dusun Pemusiran Hulu, Desa Pemusiran, Kecamatan Mandiangin, Kabupaten Sarolangun, kewalahan menghalau kawanan Gajah yang mencabuti tanaman sawit milik mereka. Makin sempitnya tutupan hutan untuk tempat mencari makan, membuat gerombolan hewan bertubuh tambun itu menjadikan tandan sawit sebagai bahan pokok utama untuk memenuhi kebutuhan pencernaannya.
“Siang malam (Gajah) tidak pergi,” kata Kepala Desa Pemusiran, M. Bukhori, saat ditemui di balai desa di penghujung Agustus lalu.
Bukhori sendiri mengaku menjadi salah satu korban “ngamuk-nya” Gajah di ujung desa mereka, pondok semi permanen dan puluhan batang sawitnya miliknya dirusak Gajah. Ia pun pasrah dan tak bisa berbuat apa-apa.
Pihaknya, telah membuat laporan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) di Bangko, Kabupaten Merangin. Dan ke Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Sarolangun.
Dari laporan itu, BKSDA merespon dengan mensosialisasikan kepada warga cara menghadang dan mengusir Gajah, ”Kita diajarkan mengusir Gajah dengan petasan,” kata Bukhori.
Hanya saja, cara ini tak lagi efektif. Ia mengatakan, Gajah yang awalnya memang takut dan pergi menjauh, namun lama-kelamaan bisa beradaptasi dan kebal dengan suara petasan. Sehingga Gajah datang kembali.
“Warga juga sudah kesulitan anggaran untuk membeli petasan, dan belinya juga jauh dari desa,” kata Bukhori.
Untuk sekali belanja petasan, Bukhori menyebut, warga bisa menghabiskan biaya sekitar 600 ribu rupiah.
Dulu, warga bersama BKSDA pernah menggiring Gajah jauh ke dalam hutan, saban hari dilakukan hingga dua bulan lamanya. Tapi kini Gajah datang lagi.
“Personel BKSDA juga sudah hampir setahun tak masuk lagi,” tambahnya.
Empat Hektare Habis Dalam Semalam
Dwi Suwondo, Kepala Dusun Pemusiran Hulu mengatakan, warga yang paling terdampak berada di RT 17 dan 18. Dwi menyebut, dalam semalam kawanan Gajah bisa merusak hingga empat hektare lahan sawit milik warga.
“Satu rombongan bisa sampai tujuh ekor Gajah. Namun yang indukkannya, yang paling besar tiap malam datang, yang disasar memang kebun sawit.” kata Dwi.
Ia mengatakan, jika kebun sawit warga memang berdekatan dengan areal PT. REKI (Restorasi Ekosistem Indonesia) dan PT. AAS (Agronusa Alam Sejahtera). Dwi menduga Gajah yang merusak kebun warga merupakan Gajah yang dilepasliarkan di PT. REKI.
“Jarak kebun warga dengan lahan PT. REKI hanya 2-3 kilometer,” katanya.
Meski mengusir Gajah dengan petasan tak lagi efektif, akan tetapi cara tersebut tetap mereka lakukan. Bila petasan habis, mereka akan menggunakan senjata api rakitan jenis kecepek, untuk menakuti Gajah, itu pun dari jarak paling dekat 100 meter.
“Sepertinya Gajah ini sudah terlatih,” kata Dwi.
Dwi menceritakan, ada warga yang menjadi korban langsung dari amukan Gajah, warga bernama Gunawan tersebut diseruduk Gajah. Beruntung, Gunawan selamat dari maut, meski begitu ia harus terbaring total berbulan-bulan lamanya.
“Gunawan hanya bisa makan bubur selama tiga bulan,” kata Dwi.
Sayangnya, kilasjambi.com tidak bisa mendapat kesaksian langsung dari Gunawan. Saat kilasjambi.com tiba di desa Pemusiran di penghujung Agustus kemarin, yang bersangkutan sedang tidak berada di tempat karena sedang berada di luar desa membawa armada truk batu bara.
Warga Berniat Pasang Racun
Tak mempan lagi dengan suara petasan dan letupan kecepek, warga kata Dwi, bahkan berniat untuk memasang racun. Namun mereka menyadari konsekuensinya akan dipidana.
“Kalau tidak ada denda dan dipenjara, istilahnya masyarakat sanggup untuk membunuh Gajah dengan diracun,” katanya.
Gajah Sumatera masuk dalam satwa dilindungi menurut UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan diatur dalam peraturan pemerintah, yaitu PP 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dalam Pasal 40 ayat (2) jo Pasal 21 ayat (2) huruf a dan b yaitu, “Setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup”. Dengan ancaman hukuman penjara lima tahun dan denda paling banyak Rp100 juta.
Dwi berharap ada solusi dari pemerintah melalui BKSDA, menurutnya warga menginginkan Gajah digiring ke tempat yang lebih jauh dari desa mereka.
“Masyarakat hanya mau nyaman dan aman,” kata Dwi.
Rugi Ratusan Juta Rupiah
Rahmat Pratolo, termasuk warga yang ketiban nahas, kebunnya sawitnya juga “diamuk” Gajah. Bahkan, hingga tiga kali kebunnya dirusak, sampai tahun 2020 total ada 17 hektare lahan sawit miliknya habis dibabat Gajah.
“Sawit yang dirusak buah pasir yang baru berusia tiga tahun, Gajah makan umbutnya” kata Rahmat.
Rahmat mengaku kini dirinya sudah trauma untuk memanam sawit lagi, pondok yang berada di kebun sawitnya juga sudah dihancurkan Gajah.
Uang ratusan juta yang ia investasikan ke kebun sawit, kini sudah tak berbekas, “Total kerugian saya sekitar Rp300 juta,” keluhnya.
Rahmat juga termasuk warga yang ikut bersama BKSDA menggiring Gajah jauh dari desa mereka selama hampir dua bulan, namun upaya itu kini sia-sia.
“Waktu itu kami menggiring Gajah setiap hari dari jam delapan pagi hingga jam enam sore,” katanya.
Hidup Berdampingan dengan Gajah
Kepala BKSDA Jambi, Rahmad Saleh mengatakan, wilayah di ujung Pemusiran memang merupakan habitat atau wilayah kantong Gajah. Menurutnya, yang menjadi substansi masalahnya saat ini telah terjadi perubahan lansekap di wilayah Pemusiran, masyarakat membudidayakan tanaman yang memang disukai Gajah, yaitu sawit.
Untuk memitigasi konflik dengan Gajah, Rahmad mengaku pihaknya telah memberikan pelatihan ke masyarakat di Pemusiran sebanyak dua kali yaitu di tahun 2019 dan 2020.
“Mengurus Gajah dan masyarakat ini harus kolaborasi, yang paling penting itu kita berdayakan masyarakat agar bisa hidup berdampingan dengan Gajah,” kata Rahmad, saat dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis, 09 September 2021.
Rahmad telah merekomendasikan program koservasi Gajah di wilayah Pemusiran, program yang didanai TFCA (Tropical Forest Conservation Action) itu akan bekerja sama dengan PT. REKI, program serupa yang telah digagas Rahmad Saleh dalam program Pusat Konservasi Gajah di Kabupaten Tebo. Program diharapkan bisa membentuk daya dukung habitat Gajah.
“Kita berharap program ini berjalan secepatnya, setengah dari program melibatkan langsung masyarakat,” katanya.
Ia menyebut, Gajah di wilayah Pemusiran langsung di bawah pengawasan BKSDA Jambi, sejak lama ada lima ekor Gajah betina di wilayah tersebut. Lalu, didatangkan Gajah jantan pada tahun 2017 dan 2019, masing-masing satu ekor. Agar satwa dilindungi itu berkembangbiak.
Harus Pahami Wilayah Jelajah Gajah
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi, Abdullah mengatakan, konflik antara Gajah dengan masyarakat memang tidak bisa dihindari di wilayah konservasi satwa, dari beberapa kasus yang di-advokasi Walhi seperti di wilayah Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), kebun masyarakat yang terletak di jalur atau wilayah jelajah Gajah kerap diterobos oleh satwa pembuka jalan di hutan belantara tersebut.
“Gajah sangat mengingat dengan jalur lintasannya, jadi memang baiknya masyarakat menjauh untuk bercocok tanam di habitatnya Gajah. Apalagi jika menanam tanaman yang memang disukai Gajah, seperti sawit,” kata Abdullah di sekretariat Walhi Jambi, pada awal September 2021.
“Masyarakat harus mengetahui jika itu wilayah jelajah satwa, jika sudah tahu iya memang percuma untuk berkebun di wilayah itu,” tambahnya menegaskan.
Untuk meminimalisir konflik dengan Gajah, menurut Abdullah, selain membuka kebun jauh dari jalur lintasannya. Masyarakat diminta menanam pohon yang tidak disukai Gajah seperti bambu, agar Gajah tidak keluar dari jalurnya.
Kata Abdullah, di kawasan PT. REKI memang terdapat Gajah liar dan Gajah yang didatangkan dari wilayah Sungai Tapah, Tanjab Barat dan Way Kambas, Lampung. Tujuannya untuk dikembangbiakkan.
Ada beberapa kasus konflik Gajah dengan warga yang dilaporkan ke Walhi Jambi, upaya yang dilakukan tim Walhi adalah melakukan kroscek langsung ke lapangan, untuk memastikan apakah konflik itu di wilayah konservasi satwa atau bukan.
“Jika ternyata memang di wilayah konservasi satwa, kami akan menghimbau masyarakat untuk menanam tanaman yang tidak disukai atau dirusak Gajah, karena memang sudah risikonya seperti itu,” katanya.
Abdullah menepis adanya anggapan masyarakat, jika Gajah memang sengaja diarahkan dari jauh oleh perusahaan pemilik lahan konsesi dengan teknologi GPS (Global Positioning System), “Tidak ada itu,” tegasnya.
Diketahui, di wilayah Desa Pemusiran, banyak lahan yang ditanami sawit oleh masyarakat di atas izin Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT. Samhutani. Sudah ratusan hektare sawit yang tumbuh subur, kebun-kebun sawit inilah yang diserobot Gajah.
“Iya masyarakat banyak yang menanam di lahan Samhutani, pemerintah kabupaten juga tidak bisa berbuat banyak, karena sudah ratusan masyarakat yang menanam sawit,” kata Bukhori, Kades Pemusiran.
Populasi Gajah Sumatera Terancam Berkurang
Populasi Gajah Sumatera di Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) tercatat sekitar 143 ekor, jumlah tersebut dikhawatirkan akan semakin berkurang mengingat konflik Gajah dengan manusia yang masih terjadi hingga saat ini.
Belum lagi dengan adanya eskploitasi perusahaan perkebunan dan tambang, yang makin memperluas areal operasinya hingga menyentuh wilayah jelajah mahluk mamalia terbesar di daratan tersebut.
Padahal menurut Rahmad Saleh, dalam ekosistem di kawasan hutan, keberadaan Gajah sangat vital, Gajah merupakan pembuka jalan di hutan belantara, dengan bobot dan fisik tubuhnya Gajah mampu menerobos pepohonan dan semak belukar.
“Sebagai pembuka jalan, peran Gajah memudahkan bagi hewan lainnya untuk lalu lalang di kawasan hutan seperti TNBT,” kata Rahmad.
Bukan hanya sebagai pembuka jalan di hutan, Gajah juga merupakan petani ulung di alam, Gajah sangat berperan dalam menjaga keberagaman pepohonan.
“Sebab, Gajah yang memakan biji-bijian dan dengan daya jelajahnya yang luas. Gajah dengan cermat menebar benih-benih tersebut ke berbagai sudut hutan,” kata Rahmad Saleh. (riki)