KILASJAMBI– Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jambi, menggelar diskusi tentang hasil investigasi mereka terhadap restorasi gambut di kawasan perusahaan yang berkedudukan di Jambi.
Diskusi yang digelar di Sekretariat AJI Kota Jambi, Sabtu (12/12/2020) itu, juga diikuti kalangan jurnalis anggota AJI. Selain itu juga diikuti jurnalis Pers Mahasiswa.
Paparan diskusi tersebut langsung disampaikan oleh Manajer Program Walhi Jambi Dwi Nanto. Selain itu ada juga Feri Irawan selaku Koordinator Simpul Pantau Gambut cum Direktur Perkumpulan Hijau.
Dwi Nanto menjelaskan, pascabencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2015, pemerintah membentuk program restorasi gambut. Di Jambi program pemulihan gambut itu ditetapkan target
seluas 200.772 hektare.
Dari luasan target tersebut, di antaranya terbagi meliputi kawasan lindung 46.415 hektare, kawasan budidaya tidak berizin (non-konsesi) 25.885 hektare dan kawasan budidaya berizin (konsesi) seluas 128.472 hektare.
Dalam hasil investigasi yang dilakukan selama empat bulan oleh tim Walhi Jambi, Dwi bilang, sebagian besar perusahaan tidak menjalankan mandat restorasi. Adapun objek investigasi atau pemantauan dilakukan di tiga daerah–meliputi Sarolangun, Muaro Jambi, dan Tanjungjabung Timur.
“Metodologi pemantauan yang kami lakukan mulai dari analisis spasial dan analisis temuan di lapangan, analisis sumber data dari dokumen Rencana Tindak Tahunan (RTT),” kata Dwi.
Ada 8 perusahaan yang diinvestigasi, mulai dari perkebunan kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri dan perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH).
Ke-8 perusahaan tersebut di antaranya perkebunan kelapa sawit; PT Bahari Gembira Ria PT Kaswari Unggul, PT SNP, Bahana Karya Semesta, PT Primatama Kreasi Mas. Kemudian PT Putra Duta Indahwood dan PT Pesona Belantara (HPH) serta PT WKS Distrik VII (HTI).
“Dari 8 perusahaan ini persoalannya sama, tidak merestorasi gambut dan masih menanam di kawasan gambut dalam (peat dome),” kata Dwi.
Dwi juga memaparkan hasil temuan di lapangan seperti tidak ada pembangunan sekat kanal.
“Dan juga setelah kebakaran, perusahaan masih menanami sawit kembali. Seharusnya dalam regulasi harus dipulihkan karena kewajiban restorasi sudah ada diregulasi,” kata Dwi.
“Laporan ini nanti akan kami serahkan ke pemerintah,” sambung Dwi.
Dari hasil temuan itu, Walhi memberikan catatan khusus. Di antaranya kebakaran lahan yang terjadi di Jambi khususnya masih didominasi izin perusahaan. Bahkan perusahaan masih mengalami kebakaran yang berulang setiap musim kemarau.
Kemudian masih ada wilayah gambut di Jambi yang seharusnya menjadi perhatian serius karena mengalami kerusakan dan belum dilakukan restorasi.
“Munculnya kembali wilayah kebakaran di area perusahaan membuktikan bahwa sampai saat ini upaya penegakan hukum masih lemah dan upaya restorasi yang gagal.”
Sementara itu, Sekretaris AJI Kota Jambi Riki Ahmad Sufrian menyambut baik atas diskusi yang digelar hari ini. Ia menilai banyak bahan hasil diskusi ini untuk dikembangkan menjadi liputan liputan yang mendalam dan investigasi.
Sejauh ini anggota AJI banyak juga yang konsen terhadap liputan isu lingkungan. Dengan diskusi ini jurnalis dapat memahami dan menggali ide liputan isu lingkungan.
“Banyak kawan-kawan anggota AJI yang selalu dapat fellowship (beasiswa liputan) soal isu lingkungan. Jadi kedepan kita bisa berkolaborasi untuk liputan investigasi lingkungan,” kata Riki.