KILAS JAMBI – Gajah Karina tak bisa lagi menikmati kesendiriannya, Gajah betina yang berusia 50 tahun itu mati setelah sekitar 10 tahun menyendiri dan memisahkan diri dari kawanan di luar landscape Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT).
Gajah Karina dinyatakan mati saat Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi bersama tim gabungan, melakukan trans lokasi Karina ke kawasan PT REKI pada 28 Juli 2019, Gajah Karina menjemput ajalnya setelah menempuh perjalanan sekitar 11 jam. Sehari sebelumnya, tim berhasil melakukan rescue terhadap Gajah Karina.
Gajah Karina dibawa ke PT REKI sekitar pukul 21.00 WIB pada tanggal 27 Juli 2019, dan sampai di lokasi PT REKI pada 28 Juli sekitar pukul 07.00 WIB.
Kepala BKSDA Jambi, Rahmad Saleh mengatakan jika upaya penangkapan Gajah Karina sudah dilakukan dalam waktu dua bulan. Kemudian, pada 21 Juli tim berpindah ke Tabir Kejasung, Kecamatan Muara Tabir, untuk melakukan penyelamatan Gajah Karina ke kelompok Gajah Jeni yang ada di areal PT REKI, dengan maksud agar dapat bertemu dengan Gajah jantan untuk berkembang biak.
“Dasar pertimbangan lainnya, pertimbangan Gajah doomed (10 tahun sudah soliter) betina yang perlu sosialisasi dalam kelompoknya,” kata Rahmad Saleh, saat konferensi pers di Kantor BKSDA Jambi, Jumat (2/8).
Rahmad menuturkan, sebelum dinyatakan mati, pada saat diturunkan dari truk dan digiring dengan menggunakan Gajah latih, Gajah Karina masih dapat berjalan. Sekira pukul 09.35 WIB sampai titik pelepasan di areal konsesi PT REKI dan langsung dipasang GPS Collar dan diberi antidote pada pukul 10.34 WIB untuk memulihkan kesadaran pasca pembiusan, tapi Gajah Karina terjatuh dan selanjutnya tim melakukan penanganan medis.
“Tanggal 29 Juli 2019 sekitar pukul 03.00 WIB, Gajah Karina dinyatakan mati,” kata Rahmad.
Dugaan sementara, kematian Gajah Karina disebabkan stress rescue karena faktor umur, proses penyelamatan Gajah Karina dari wilayah Tabir Tebo ke PT REKI di Sarolangun ditempuh dalam waktu 11 jam dengan menggunakan transportasi darat. Faktor genetik individu yang belum diketahui dan kelalaian perilaku pada saat proses penyelamatan.
Disinggung adanya kemungkinan human error dalam proses trans lokasi Gajah Karina, Rahmad Saleh mengatakan jika rencana pemindahan Karina sudah dibahas dengan semua pakar dan institusi sejak September 2018.
“Proses trans lokasinya sudah kesepakatan berbagai ahli,” kata Rahmad Saleh.
“Jika adanya kemungkinan human error, kita sudah puluhan kali melakukan trans lokasi dengan tim profesional,” tambahnya.
Kendati Gajah Karina cukup sering terlibat konflik dengan masyarakat sesuai dengan laporan yang diterima BKSDA, namun tidak ada ditemukan tanda-tanda kekerasan di tubuh Karina.
Sementara, Pieter dari Frankfurt Zoological Society (FZS) mengatakan, meski telah berusia 50 tahun, Gajah Karina masih ada kemungkinan untuk bereproduksi, kebun binatang secara resmi juga tidak setuju gajah menyendiri, harus bergabung kelompok lain dengan harapan masih bisa bereproduksi.
Namun Pieter mengakui, secara medis pembiusan akan mengakibatkan efek fatal saat Gajah Karina mengalami stres
Menurut Pieter, 10 tahun lalu landscape alam Bukit Tigapuluh masih kondusif. Namun jumlah konflik di Bukit Tigapuluh dalam 3 tahun terakhir makin meluas sehingga terjadi perubahan tutupan hutan.
“Gajah Karina atau kelompok lainnya keluar dari kawasan yang seharusnya tempat mereka tinggal, sehingga Gajah berjalan jauh dan masuk ke jalur kebun masyarakat, tentu banyak masyarakat yang tidak rela,” kata Pieter.
Selain TNBT, kantong Gajah di Jambi terdapat di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan kawasan konsesi PT REKI.
“TNKS lebih ideal, jarang berkonflik,” kata Rahmad Saleh. (kilasjambi.com)