Jon Afrizal*
Hampir seluruh agama di dunia menggunakan kayu gaharu (eaglewood) sebagai perlengkapan ibadah. Mulai dari tasbih hingga kalung rossario. Sehingga wajar jika tumbuhan yang aslinya tumbuh di hutan tropis ini diminati banyak pihak.
Gaharu termasuk tanaman langka, sehingga Convention of Illegal Trade of Endangered Species (CITES) mengkategorikannya sebagai “appendix II”. Sebab hasil hutan dari Provinsi Jambi ini, salah satunya, sering diperdagangkan secara illegal.
Ketua Asosiasi Gaharu Jambi, Abdul Khodir mengatakan lebih dari 50 persen perdagangan gaharu dari Provinsi Jambi menggunakan jalur illegal. Seterusnya, gaharu dalam berbagai bentuk potongan itu dibawa menuju penampung besar di Jakarta.
“Untuk selanjutnya diekspor ke banyak negara,” katanya belum lama ini.
Umumunya, gaharu yang berasal dari hutan-hutan di provinsi ini dijual dalam bentuk sejenis kepingan triplek. Harga jualnya hanya Rp 20.000 per kilogram saja.
“Selanjutnya, diolah menjadi resin gaharu, ” katanya.
Padahal, katanya, harga untuk satu pohon gaharu hutan dapat mencapai ratusan juta rupiah hingga miliaran rupiah.
“Berdasarkan pengalaman saya dalam berdagang gaharu, satu pohon gaharu hutan asal Kalimantan pernah ditawari calon pembeli seharga Rp 2 miliar,” katanya.
Di Kota Jambi sendiri, katanya, terdapat beberapa orang penampung gaharu illegal ini. Namun, kegiatan mereka belum terendus petugas.
Ada berbagai cerita tentang gaharu, yang beberapa orang menyebutnya “tumbuhan dewa” ini. Seperti cerita bahwa gaharu hutan lebih rendah mutunya ketimbang gaharu yang dikebunkan.
“Itu tidak benar,” katanya.
Pada sebuah perjalanan di perbatasan Provinsi Jambi – Sumatera Selatan, aku pernah berjumpa dengan seorang penanam gaharu. Kita sebut saja namanya adalah Azwar.
Azwar telah berkali-kali bertanam pohon gaharu. Katanya, bibitnya berasal dari Kota Jambi. Dan selanjutnya disuntik sejenis cairan agar menghitam, supaya harga jualnya tinggi.
“Tidak pernah berhasil. Pohon gaharu hasil suntikan harus dipanen ketika berumur dua tahun. Jika lebih dari usia itu, maka bagian tengah pohon akan membusuk,” katanya.
Adalah Jupri, juga bukan nama sebenarnya, seorang pencari gaharu hutan. Ia berkeliling dari kelompok hutan yang satu ke kelompok hutan yang lain, di kawasan perbatasan itu.
“Saat ini teramat sulit mencari gaharu hutan. Sangat berbeda dengan lima tahun lalu,” katanya.
Jupri tidaklah seorang diri. Ada banyak orang yang berprofesi seperti dia. Tentunya mereka yang mengenal dengan baik kondisi hutan tropis di bagian tengah Pulau Sumatera ini.
Pada saat Zulkifli Nurdin menjabat Gubernur Jambi, di tahun 2000-an lalu, gaharu pernah digalakkan untuk ditanam kembali, mengingat hatga jualnya yang tinggi itu. Banyak kabupaten yang kemudian ikut melaksanakan program itu. Satu diantaranya adalah Kabupaten Sarolangun.
Tapi kini, penjualan gaharu dari Provinsi Jambi, baik yang berasal dari hutan maupun yang ditanam, tidak terdata sama sekali. Sehingga, adalah wajar, jika Abdul Khodir mengatakan sebagian besar perdagangan gaharu dari Provinsi Jambi adalah melalui jalur illegal.
Aku pernah bertemu dengan sekelompok petani gaharu yang berasal dari Provinsi Lampung, di tahun 2019 lalu, di Kota Jambi. Mereka tidak hanya menjual kayu gaharu saja. Tetapi, daun pohon gaharu pun telah mereka olah menjadi sejenis “teh” yang dapat untuk diseduh.
Tidaklah salah, jika banyak orang menyebutnya “tanaman dewa”. Sebab, selain kayu-nya digunakan untuk perlengkapan ibadah, daunnya pun dapat menjadi minuman.
Kepala Balai Konservasi dan Sumberdaya Alam (BKSDA) Provinsi Jambi, Rahmad Saleh mengatakan apapun yang telah diatur oleh negara haruslah diikuti. Terkait gaharu hutan sendiri, telah diatur melalui Peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 1999 tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar (TSL).
“Ancaman bagi pelaku perdagangan gaharu illegal adalah dihukum denda administrasi sebesar Rp 10 juta, dan izin usahanya akan dicabut,” tegasnya.
Sedangkan Peraturan Pemerintah nomor 12 tahun 2014 tentang jenis penerimaan negara bukan pajak (BNP), pelaku perdagangan gaharu illegal adalah sanksi adminustratif sebesar 5.000 kali harga patokan.
Berdasarkan aturan negara itu, tentu saja gaharu adalah sesuatu yang “luxurious”. Jika memang tidak ada lagi di dalam hutan, maka adalah lebih untuk bertanam. Sebagai sumber ekonomi lainnya. *
* jurnalis TheJakartaPost