Jon Afrizal*
Eksploitasi manusia terhadap sumber daya alam (SDA) diyakini sebagai penyebab utama terjadinya perubahan iklim global. Begitu pula yang terjadi di Provinsi Jambi sejak beberapa dekade hingga saat ini.
Juru bicara Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Emmy Primadona mengatakan eksploitasi SDA, baik dengan motif ekonomi maupun pembangunan telah membuat daya dukung bumi sebagai penunjang kehidupan keberagaman flora dan fauna di dalamnya terganggu.
“Laju degradasi hutan dan lahan yang tinggi adalah fakto utama yang mengganggu keseimbangan alam dan pemicu utama perubahan iklim,” katanya belum lama ini.
Akibatnya, lanjut nya, hutan dan ekosistem di dalamnya sebagai penghasil udara bersih dan keseimbangan iklim, menjadi terganggu.
Satu contoh nyata, katanya, adalah perubahan musim yang tidak seperti beberapa puluh tahun lalu. Seperti musim penghujan yang umumnya berawal di bulan September dan berakhir di bulan Februari.
“Kenyataannya, tidak bisa dipatok begitu lagi,” ujarnya.
Kacaunya pola musim ini, setidaknya menjadi peringatan kepada kita semua di Provinsi Jambi ini. Bahwa, musim kemarau bisa saja terjadi lebih cepat, dan itu berarti kekeringan yang dilanjutkan dengan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) akan menyambangi kita semua.
Menurut data KKI Warsi, luas tutupan hutan di Provinsi Jambi saat ini hanya tinggal 920.000 hektare, atau 18 persen dari luas total provinsi ini, yakni 50.508 kilometer persegi.
“Itupun harus ditambah lagi dengan 18.000 hektare areal lahan dan hutan yang terbakar pada tahun 2019 lalu,” katanya.
Sementara, luas tutupan hutan di Indonesia pun berkurang cukup signifikan setiap tahunnya. Pengurangan luas tutupan hutan terluas terjadi pada tahun 2012, seluas 928.000 hektare. Sedangkan pada tahun 2015 luas tutupan hutan yang hilang seluas 735.000 hektare.
“Ini yang harus kita pahami bersama. Yakni melakukan perubahan dari sekarang, sebelum kerusakan bertambah parah, atau dengan asumsi Indonesia akan karam oleh air laut,” katanya.
Ia berpesan, “If not know, then when? If not us then who?” (Jika tidak sekarang, lalu kapan? Jika tidak kita, kemudian siapa lagi?) ***
* Jurnalis TheJakartaPost