Keberadaan perusahaan sawit PT EWF, membuat gamang tetua Desa Rukam terhadap nasib anak cucunya. Pergeseran kondisi sosial-budaya membuat warga Rukam kian terisolir, karena telah kehilangan pelbagai potensi alam. Mulai dari air, hutan, ikan hingga tanah.
Masih terekam jelas di ingatan Datuk Safei, Ketua Lembaga Adat Desa Rukam, Kecamatan Taman Rajo, Kabupaten Muarojambi, duapuluh tahun lalu sebelum perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Erasakti Wira Forestama (EWF) menguasai lahan warga. Hamparan sawah warga begitu hidup dan menjadi andalan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Perempuan pergi ke sawah, lelaki pergi ke sungai mencari ikan.
Dahulu, kata Datuk Safei, pencarian warga desa ini sangat tergantung dengan alam sekitar. Mulai dari mengambil hasil hutan (rotan, kayu dan madu), mencari ikan di lopak, danau hingga sungai. Pekerjaan utama mereka saat itu adalah bertani dan nelayan.
“Hasil dari alam memang menjanjikan, dari bertani dan nelayan, kebutuhan masyarakat benar-benar terpenuhi,” kata Datuk Safei, saat dijumpai di kediamannya Minggu 25 Juli 2021.
Namun kini, kondisinya sudah jauh berbeda, kata Datuk Safei, masyarakat Rukam yang masih memilih jalan untuk bercocok tanam. Hanya mengandalkan lahan seadanya di bantaran sungai, lahan sempit itu dijejali berbagai tanaman pangan, mulai dari padi hingga jagung.
Hanya saja berladang di bibir sungai bukan tanpa risiko. Bila salah perhitungan, tanaman lenyap tersapu banjir. Sementara, hamparan sawah di belakang kampung yang bersebelahan dengan kebun milik PT EWF, sudah lama kehilangan sumber air. Lahan warga juga menyusut dengan keberadaan tanggul raksasa PT EWF.
“Dulu bila musim banjir, justru menjadi berkah bagi warga Rukam, karena ikan eskpor jenis Botia sangat melimpah dan bisa menjadi tambahan ekonomi bagi warga,” kata Datuk Safei yang kini usianya semakin senja.
Safei mengatakan, bahwa tahun lalu sebagian warga Rukam yang masih memiliki lahan, mencoba peruntungan, membuka kembali persawahan. Padi yang ditanam beberapa bulan, mulai tampak hijau. Namun, petaka datang kala padi hendak mengeluarkan bulir. Musim kemarau datang. Tanah retak-retak. Air mengering dan berhenti mengalir.
“Panen gagal total, warga kehilangan semangat dan harapan. Sudah banyak biaya dikeluarkan. Untunglah, mereka dapat bantuan pemerintah, asuransi pertanian,” kata Datuk Safei.
Saat masih masuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Batanghari, Desa Rukam mendapatkan izin pengelolaan hutan desa pada 1992 dari Bupati Batanghari, Saman Khatib. Luasnya sekitar 1.900 hektare dan diperluas menjadi 2.100 hektare pada 2002 oleh Datuk Safei, yang saat itu menjabat Kepala Desa Rukam.
Hutan desa ini dikelola oleh kelompok tani, Rukam Berkembang. Dari hutan desa inilah setiap kepala keluarga di Desa Rukam mendapatkan jatah pengelolaan lahan seluas lima hektare, lahan ini yang kemudian dirayu oleh perusahaan untuk dijual.
PT EWF mulai masuk ke wilayah Desa Rukam pada tahun 2000. Niat perusahaan untuk menguasai lahan di Desa Rukam gencar dilakukan sekitar tahun 2001.
Menurut Safei, saat perusahaan mulai masuk dan aktif membeli tanah masyarakat pada 2001-2002, pemerintah setempat tiba-tiba tidak mengakui hutan desa seluas 2.100 hektare itu. Penolakan dari pemerintah setempat, membuat masyarakat pro dan kontra terhadap penjualan lahan tersebut.
“Situasi konflik di masyarakat inilah yang dimanfaatkan PT EWF untuk mulai menguasai lahan warga, perusahaan masuk melalui masyarakat yang pro kepada mereka,” kata Datuk Safei menceritakan.
Penegakan Hukum Lemah
Hasil penelusuran Peta PRIMS Gambut, PT EWF berada di Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) Sungai Batanghari-Sungai Kumpeh. Menurut Laporan Kinerja Restorasi Gambut Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, pada 2018 lalu, dalam KHG ini dijejali lahan Hak Guna Usaha (HGU) seluas 13.140,08 hektare, hampir setengahnya masuk dalam PT EWF, seluas 6.314,99 hektare.
Apabila dibandingkan dengan total luasan lahan HGU perkebunan sawit di Jambi, yakni 98.206,55 hektare, lahan milik PT EWF hanya sekitar 6 persen. Namun dampak kerusakan lingkungan yang muncul, akibat eksploitasi lahan gambut dari PT EWF, telah dirasakan masyarakat Rukam.
Saat bencana kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) pada 2015 lalu, lahan PT EWF turut mengalami kebakaran seluas 581 hektare. Pihak kepolisian menerjunkan tim Brimob untuk melakukan investigasi. Tak lama berselang, perusahaan ini ditetapkan menjadi tersangka. Namun pada 2017, pihak penegak hukum mencabut status tersangka PT EWF, dengan alasan tidak ditemukan barang bukti.
Ketika penegakan hukum terhadap perusahaan sawit yang mengabaikan restorasi gambut lemah, maka terjadi kebakaran berulang. Data Sipongi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat kebakaran pada 2015 seluas 115.634,34 hektare, pada tahun 2016 terbakar 8.281,25 hektare, sedangkan tahun 2017 seluas 109,17 hektare, tahun 2018 seluas 1.577,75 hektare dan 2019 seluas 56.593 hektare.
Pemerintah seharusnya memberi sanksi kepada perusahaan yang terbukti merusak lingkungan karena telah mengeksploitasi kubah gambut dengan kedalaman lebih 3 meter. Perusahaan juga tidak mematuhi kewajiban restorasi gambut yakni pembasahan (rewetting) penanaman ulang (revegetasi) dan pemulihan ekonomi (revitalisasi).
Sejak keberadaan PT EWF, dalam dua dekade terakhir, hampir semua nelayan di Desa Rukam telah beralih profesi sebagai petani tanpa areal persawahan, kuli bangunan dan sebagian besar menjadi buruh di PT EWF.
Rasa sengsara benar-benar menyelimuti warga Rukam, terutama saat musim kemarau. Safei mengatakan, bukan hanya sawah yang kering, tapi juga sumur warga. Akhirnya terpaksa sebagian besar orang Rukam harus membeli air galon untuk memenuhi kebutuhan masak dan minum.
“Tiga tahun lalu perusahaan sempat menjanjikan untuk mencetak sawah baru, membuat keramba ikan, dan sumur bor untuk warga. Namun, yang terealisasi baru dua sumur bor,” kata Datuk Safei.
Perusahaan Belum Penuhi Janji
PT EWF sendiri mengakui baru membuatkan dua sumur bor untuk warga Rukam, sedangkan janji cetak sawah dan pembuatan keramba ikan, perusahaan belum bisa memastikan kapan akan terealisasi.
“Iya baru sumur bor, cetak sawah dan kerambah ikan belum terealisasi,” kata Najib, Bagian Personalia PT EWF, saat dihubungi via sambungan telepon. Senin, 09 Agustus 2021.
Ketika dikonfirmasi lebih lanjut, Najib kembali belum bisa memastikan apakah cetak sawah dan pembuatan kerambah ikan bisa direalisasikan tahun ini, “Belum tahu juga tahun ini, biarlah nanti komunikasi orang Rukam dengan kami saja,” kata Najib.
Najib berdalih belum memegang copy (salinan) dokumen rencana cetak sawah dan kerambah ikan untuk warga Rukam tersebut, “Nanti dengan Bos (pimpinan) lah itu,” kata Najib mengakhiri pembicaraan.
Awal-awal PT EWF mulai menguasai lahan warga, Datuk Safei yang saat itu menjabat Kepala Desa Rukam memimpin langsung warga yang tidak terima lahannya diserobot perusahaan, mereka menghadap bupati. Namun malah disuruh tidak banyak bicara, karena bisa masuk penjara jika melawan perusahaan. Apalagi saat itu banyak warga yang belum mengerti hukum, sehingga menjadi takut dan tidak berani lagi bersuara.
Seingat dirinya, awalnya sawah warga yang dilepas ke perusahaan sekitar 80-an hektare. Selanjutnya, warga melepas hutan desa sebanyak 1.200 hektare, dengan harga satu jutaan per dua hektare.
“Ketika saya masih Kades, itu penjualan tahap pertama. Penjualan kedua tahun 2006, itu lebih banyak. Karena sudah berhenti Kades, saya tidak tahu pasti jumlahnya,” kata Datuk Safei.
Berbagai cara dilakukan Datuk Safei untuk memberi pengertian ke masyarakat agar lahan mereka tak sepenuhnya dikuasai oleh PT EWF, salah satunya pada penghujung tahun 2002, ia meminta masyarakat yang belum menjual lahan miliknya, untuk melepaskan tanah dengan skema plasma.
“Dengan skema ini warga Rukam tidak menjual tanah ke perusahaan, tetapi tetap ditanami sawit oleh perusahaan dengan pola kemitraan. Apabila sawit telah berbuah, maka dijual ke perusahaan,” lanjutnya.
Sesuai perjanjian antara warga dan perusahaan, masyarakat dapat mengganti rugi biaya penanaman sawit yang telah dikeluarkan perusahaan dengan cara mengangsur.
Bukannya mendapat dukungan dari masyarakat, perjuangan Datuk Safei untuk tetap mempertahankan hutan desa justru semakin berat. Ia bahkan mendapat ancaman dari sebagian warganya sendiri. Ancaman tersebut bahkan boleh dibilang tidak main-main, tempat tinggalnya akan dibakar.
Tak berhenti sampai di situ, Datuk Safei juga dilaporkan ke kepolisian dengan tuduhan menjadi dalang pembakaran alat berat perusahaan dan penggelapan uang desa. Ia pun dilengserkan dari jabatan kepala desa.
“Saya difitnah menggelapkan fee pembelian kayu, sehingga saya ditahan polisi selama 15 hari,” kata Datuk Safei.
Karena proses hukum yang memakan waktu berbulan-bulan. Datuk Safei sempat dilarang ke luar kota. Namun karena tuduhan tidak dapat dibuktikan, ia pun akhirnya dilepaskan. Saat pulang ke desa, sebagian besar masyarakat telah menjual lahan, dengan 20 orang yang belum terima uang pengganti.
“Saya kecewa sekali dengan warga saat itu, dan sempat mengatakan kepada seluruh warga. Lihatlah akibat perbuatan kalian, 10 tahun lagi kalian akan menderita,” katanya dengan suara parau.
Ternyata apa yang disampaikannya ke masyarakat terbukti, seperti sumpah si pahit lidah. Tak sampai 10 tahun, tepatnya pada 2006, semenjak tanggul perusahaan dibangun, masyarakat mengalami kebanjiran. Para nelayan kesulitan mencari ikan. Sumur-sumur dan sawah mengalami kekeringan.
“Sekarang masyarakat kalau mau mencari ikan, mereka harus mengangkat perahu sejauh hampir 30 meter, dengan ketinggian hampir lima meter, untuk menyeberangi tanggul,” kata Safei.
Warga Tergiur Rayuan Perusahaan
Angga Septia, warga Rukam mengatakan, saat warga mulai dipengaruhi untuk menjual lahannya kepada PT EWF, pihak perusahaan membayar Rp1.000.000 untuk tiga hektare lahan milik warga, modus perusahaan adalah ganti rugi lahan melalui oknum warga yang berpihak atau bekerja sama dengan perusahaan.
“Tetapi hanya beberapa orang yang mau menjual lahannya ke PT EWF, yang bertahan itu sekitar 85 orang yang tidak mau menjual lahannya dengan harga satu juta,” kata Angga, saat ditemui di kediamannya di Desa Rukam, Sabtu sore, 24 Juli 2021.
“Sebanyak 85 orang itu merasa harga dari perusahaan tidak sesuai dengan luasan lahan yang mereka miliki,” tambah Angga yang merupakan mantan Koordinator Jaringan Masyarakat Gambut Jambi (JMGJ).
Kata Angga, warga yang awalnya mempertahankan lahannya agar tidak dijual kepada perusahaan ternyata hanya bisa bertahan empat tahun, pada tahun 2004 warga yang masih memiliki lahan akhirnya tergiur juga dengan rayuan perusahaan karena mereka terpaksa menjual lahannya.
“Momen lebaran dimanfaatkan perusahaan untuk mengambil alih lahan warga, saat itu warga sedang membutuhkan uang,” kata Angga.
Pembayaran ganti rugi lahan dilakukan perusahaan bukan di Desa Rukam, melainkan di Desa Teluk Jambu melalui kepala Desa Teluk Jambu, Roni. Apalagi keterangan di sporadik luasan lahan masyarakat seluas lima hektare namun yang diganti rugi oleh perusahaan hanya tiga hektare, sisanya yang dua hektare lahan itu hilang begitu saja tidak ada ganti rugi dari pihak perusahaan.
Angga menceritakan, tujuh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2011 terjadi lagi ganti rugi lahan masyarakat seluas 2.300 hektare oleh PT EWF. Kali ini, setiap kepala keluarga dibayar enam juta rupiah, sedangkan untuk perangkat Desa Rukam Rp12 juta dan Pemuda Desa Rukam Rp50 juta. Saat itu, pihak perusahaan juga menjanjikan kepada perangkat Desa Rukam akan memprioritaskan tenaga kerja dari masyarakat setempat untuk bekerja di perusahaan.
Saat lahan PT EWF mengalami kebakaran pada tahun 2015, pada tahun yang sama, tepatnya 19 Oktober 2015 masyarakat Desa Rukam melaporkan perusahaan ke Polda Jambi terkait persoalan ditutupnya sungai alam tanpa ada koordinasi dari masyarakat setempat.
“Laporan dibuat karena perusahaan mengingkari janji,” kata Angga.
Persoalan itu muncul karena sebelum penutupan sungai primer masyarakat Desa Rukam, dibuat perjanjian dengan PT EWF bahwa masyarakat akan dibuatkan kolam ikan dan masyarakat akan diberikan bantuan pada saat terjadi banjir. Namun nyatanya setelah menutup sungai primer, masyarakat hanya mendapatkan uang Rp100 ribu/KK dari perusahaan.
Menurut Angga, keberadaan PT EWF sejauh ini sudah menghancurkan beberapa sumber air, seperti danau atau waduk, yang juga biasa disebut masyarakat Desa Rukam dengan lopak, Danau ini menjadi kering akibat kanal-kanal besar yang dibuat oleh perusahaan.
Lalu, penggusuran dan perusakan lubuk atau tempat mencari ikan seperti Buluran Muning Darat, Buluran Muning Laut, Lubuk Tapa, Danau Cempedak, Danau Gerang, Danau Empang Palang, Sematang Tawing dan Buluran Buwing.
Perusakan lubuk oleh perusahaan juga mengakibatkan berkurangnya habitat atau jenis ikan seperti ikan Merah ‘Botia’, Bujuk, Toman, Betok, Ruan, Tebakang, Selincah dan ikan Sepat.
“Belum lagi hilangnya tempat mencari madu Sialang, punahnya jenis tanaman Rotan dan Getah Jelutung. Dan yang paling terasa adalah tergusurnya lahan persawahan masyarakat Desa Rukam,” kata Angga.
Warga Rukam Kian Terisolasi
Kehidupan masyarakat Desa Rukam semakin terisolasi sejak PT EWF pada 2006, mulai meninggikan tanggul sampai 5-8 meter, dengan panjang 9-11 kilometer. Tanggul berada di belakang kampung Desa Sekumbung, Rukam dan Manismato. Jarak antara tanggul dan Sungai Batanghari sekitar 600-800 meter.
Tanggul ini dibuat perusahaan berfungsi menahan air agar tidak masuk dalam area kebun PT EWF. Sementara rumah-rumah warga dari tiga desa ini, berada di antara Sungai Batanghari dan tanggul perusahaan.
Dalam beberapa desa ini, ada sungai yang terhubung ke Sungai Batanghari, yakni Sungai Rambah (3 Km), Biawak (1,8 Km) dan Sungai Primer (20 Km). Kondisinya saat ini, sudah tertutup tanggul.
Saat pembangunan tanggul dimulai, sempat mendapat penolakan dari warga. Protes ini diperkirakan telah mengubah kebijakan perusahaan untuk menggeser posisinya menjauhi sungai sekitar 3 kilometer.
Penutupan sungai oleh tanggul PT EWF, kata Angga, membuat sejumlah danau lenyap, di antaranya Lebang Condong, Belanti dan Danau Sarang Burung. Kemudian lopak-lopak seperti Kiambang, Pasir dan Bengkuang kehilangan sirkulasi air dari Sungai Batanghari. Akhirnya menjadi kering dan ditanami sawit oleh perusahaan.
Kondisinya kini menjadi teluk sepanjang 3,5 kilometer. Sisanya ditimbun perusahaan untuk ditanami sawit dan lainnya berubah menjadi kanal primer perusahaan, untuk menangkap air saat musim hujan.
Desa Rukam kini benar-benar dikepung dua perusahaan raksasa. Di bagian belakang desa, berdiri tegak tanggul PT EWF setinggi atap rumah warga. Di seberang sungai, terhampar perusahaan tanaman industri PT WKS (Sinarmas Grup).
Untuk keluar kampung, warga Rukam harus melintasi jalan milik perusahaan, yang mana setiap lalu lintasnya akan menghampiri pos penjaga keamanan. Ada jalan lain, tapi kondisi sudah rusak berat dan becek karena tergenang air hujan, apalagi sudah bertahun-tahun tidak tersentuh perbaikan.
Dampak Tanggul Perusahaan dan Subsiden Gambut
Tanggul PT EWF menyebabkan sirkulasi air terganggu, dengan adanya tanggul yang menutup sungai, tentu air akan menggenang di bantaran Sungai Kumpeh.
Aswandi Idris, Pakar Hidrologi Gambut Universitas Jambi (Unja) mengatakan, Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) di Air Hitam Ulu, sekarang rusak berat akibat eksploitasi perusahaan. Ini membuat air yang mengalir dari hulu Sungai Batanghari, tidak tertampung. Sehingga sebagian air kembali memutar melalui Sungai Kumpeh, ke daerah Ramin dan sekitarnya.
Seharusnya, kata Aswandi, apabila ada sungai yang menghubungkan KHG Batanghari-Sungai Kumpeh sirkulasi air tidak terganggu.
“Banjir akan semakin besar dan lama. Tidak hanya menyulitkan warga untuk bekerja, juga membuat sebagian tanaman mati,” kata Aswandi, Rabu sore, 11 Agustus 2021.
Sejumlah studi menunjukkan eksploitasi lahan gambut tanpa memikirkan keberlanjutannya terhadap lingkungan, akan menyebabkan bencana besar di kemudian hari.
Menurut Aswandi yang sudah 20 tahun menekuni keilmuan tentang gambut, apabila gambut tidak dikelola secara berkelanjutan, perlahan muka tanah mengalami penurunan dan muka air laut mengalami kenaikan.
“Kubah gambut itu seperti bubur panas, jika terus dimanfaatkan, maka dia akan mengalami subsiden dan dekomposisi,” kata Peneliti Pusat Studi Lingkungan Hidup Unja itu.
“Gambut dan air berteman, apabila air dikeluarkan melalui kanal, tentu gambut akan hilang dengan cepat. Sebab hampir 80 persen kandungan gambut adalah air,” tambahnya menjelaskan.
Penelitian gabungan antara lembaga yakni Delv Hidrolik, Belanda, Singapore-Delft Water Alliance (SDWA) dan Universitas Jambi, menunjukkan konektivitas hidrologi gambut terganggu karena fenomena subsiden. Hal ini melepas banyak karbon. Kemudian sinaran mentari 12 jam, akan mempercepat kerusakan gambut.
Studi yang dilakukan 2004-2020, menunjukkan terjadi subsiden hingga 150 cm terhadap perkebunan yang dibuka periode 1992-2002. Lalu pada periode 2003-2009 subsiden sebesar 72 cm. Dan, periode 2009-2020 sebesar 5 cm, sehingga total seluruhnya sudah subsiden 272 cm pada lahan yang sama.
Selain itu, kajian dari World Resources Institute (WRI) Indonesia (https://wri-indonesia.org/id/blog/kerusakan-lahan-gambut-tropis-merupakan-sumber-emisi-co2-yang-terabaikan) menyebutkan, setiap hektare gambut tropis yang dikeringkan untuk pengembangan perkebunan mengeluarkan rata-rata 55 metrik ton C02 setiap tahun, kurang lebih setara dengan membakar lebih dari 6.000 galon bensin.
Secara keseluruhan Indonesia telah kehilangan gambut hampir 50 persen sejak tahun 1970-an, karena proses dekomposisi dan subsiden. Hal ini yang dikhawatirkan para peneliti, termasuk Aswandi.
“Indonesia memiliki lahan gambut seluas 22 juta hektare, saat ini kita telah kehilangan 10 juta hektare. Kalau air laut sudah masuk ke daratan, maka tidak bisa lagi digunakan untuk lahan pertanian,” katanya.
Tanda fungsi KHG sudah rusak adalah fluktuasi kenaikan atau penurunan debit air sangat cepat dari maksimum ke minimum, begitu juga sebaliknya. “Apabila ingin menyelamatkan gambut, tidak boleh ada ‘super power’ dari perusahaan,” kata Aswandi menegaskan.
Walhi Berkali-kali Laporkan Perusahaan
Dugaan kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh PT EWF membuat Walhi Jambi turun tangan, NGO pemerhati lingkungan ini beberapa kali melayangkan surat ke pemerintah, terhadap kerusakan lingkungan dan sosial-budaya masyarakat dampak dari pembangunan tanggul oleh PT EWF.
Direktur Walhi Jambi, Abdullah mengatakan, bahwa pada Januari 2018 mereka melaporkan PT EWF ke Komnas HAM atas pelanggaran HAM dan hak atas lingkungan hidup yang baik untuk warga Rukam.
“Hak dasar sebagai warga negara untuk hidup layak, bersih, dan sehat tidak bisa diperoleh masyarakat Rukam. Desa ini, kehilangan sumber kehidupan baik sekarang maupun jangka panjang,” kata Abdullah, Jumat sore, 30 Juli 2021.
Proses advokasi yang dilakukan Walhi Jambi, kampanyenya memang dilakukan hingga level nasional, karena apa yang dilakukan PT EWF adalah melakukan alih fungsi lahan gambut ke perkebunan kelapa sawit skala besar. Menurutnya, 80 persen gambut yang ada di lahan konsesi PT EWF sudah kering dan rusak, dan hanya tinggal 20 persen gambut yang bisa menyerap air.
“Proses awal yang dilakukan perusahaan juga tidak transparan, mereka merayu warga untuk menjual lahan saat lebaran, saat warga memang membutuhkan uang,” kata Abdullah.
Apa yang dilakukan PT EWF, menurut Abdulah, adalah sebuah kecurangan, seharusnya lahan yang berharga mahal, justru bisa dibeli dengan harga yang murah, “Warga hanya dibayar 1-1,5 juta rupiah,” sebutnya.
Dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan PT EWF, kata Abdullah, terbukti berdasarkan kajian Walhi dengan Pakar Ekonomi Universitas Jambi, Dwi Hastuti. Dari hasil kajian itu warga Rukam telah kehilangan potensi ekonomi hingga Rp26 miliar.
Kajian itu juga menyebutkan hampir 80 persen masyarakat Desa Rukam dari jumlah 1.644 orang, hidup di bawah garis kemiskinan. Penyebab utamanya adalah karena mereka kehilangan sumber pencaharian sebagai nelayan dan petani.
“Sampai kini, persoalan tanggul yang mengisolasi orang Rukam belum mendapat jalan keluar,” kata Abdullah.
Kilasjambi.com berupaya untuk memperoleh hasil kajian Komnas HAM atas laporan Walhi Jambi terhadap PT EWF, Komisioner Bidang Pemantauan Komnas HAM, M Choirul Anam, meminta waktu untuk mengecek laporan tersebut.
“Saya akan cek, namun pasti lambat, bakal lama karena sedang WFH (Work From Home),” kata Choirul Anam, melalui pesan whatsapp, Senin, 02 Agustus 2021.
Pada Senin, 09 Agustus 2021, kilasjambi.com kembali melakukan konfirmasi kepada Choirul Anam untuk meminta update soal laporan Walhi. Namun hingga berita ini diterbitkan, kilasjambi.com tidak mendapatkan jawaban dari Komnas HAM.
Bukan hanya melaporkan PT EWF ke Komnas HAM, pada April 2019 Walhi juga melaporkan persoalan tanggul, kanal dan persoalan lainnya ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jambi. Selain membangun tanggul, kata Abdullah, PT EWF juga tidak taat pada aturan restorasi gambut dan memonopoli air. Mereka tidak membangun sekat kanal. Dampaknya masyarakat kekeringan saat musim kemarau.
“Sementara saat musim hujan, tanggul membuat perusahaan aman dari banjir dan masyarakat menderita, tenggelam oleh banjir besar. Jutaan kubik air dibuang dengan mesin pompa ke lahan masyarakat desa,” kata Abdullah.
Masih di tahun 2019, Walhi juga menyurati dan meminta Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk melakukan kajian terhadap abainya perusahaan dalam mengikuti restorasi gambut. Sehingga kerusakan telah berdampak negatif terhadap masyarakat. BRG kemudian melakukan kajian, dan menetapkan Desa Rukam, sebagai Desa Peduli Gambut (DPG).
Menurut Abdullah, tanggul raksasa PT EWF telah menutup dua sungai alami dan satu sungai primer. Hal itu membuat danau dan lopak (habitat ikan) dan kawasan tangkapan air menghilang. Banjir semakin besar dan luas, lalu tercemarnya air. Area persawahan masyarakat tidak lagi produktif dan kehilangan sumber air.
Pada Desember 2015 lalu, DPRD Provinsi Jambi merilis 11 nama perusahaan yang masuk daftar hitam, karena lahannya terbakar kala itu. Salah satunya PT EWF, perusahaan yang berada dalam kawasan lindung gambut ini, mengalami kebakaran dengan total 581 hektare.
Data dari Global Forest Watch menunjukkan lahan PT EWF mengalami kebakaran berulang dan berada dalam kawasan kubah gambut kesatuan hidrologi Sungai Batanghari-Sungai Kumpeh.
Hasil investigasi Walhi Jambi, PT EWF tidak merestorasi gambut. Perusahaan tidak memasang sekat kanal, menyediakan menara pantau dan embung air. Sebaliknya, perusahaan membangun tanggul sepanjang 9-11 kilometer, setinggi 5-8 meter, untuk menghalau air agar tidak masuk dalam perkebunan.
Dampak dari pembangunan tanggul, membuat lima desa kekeringan dan kebanjiran. Tidak hanya itu, puluhan danau dan sungai mengering karena tertutup tanggul. Lebih dari 80 persen penduduk yang berprofesi nelayan harus terusir dari desa, untuk bekerja sebagai kuli bangunan. Sisanya menjadi buruh pabrik.
Dengan berdirinya PT EWF, lahan pertanian warga seluas 600 hektare mengering dan terbengkalai karena tanaman palawija seperti padi dan jagung tidak dapat tumbuh. Tidak hanya itu, masyarakat Desa Rukam, Sekumbung, Manis Mato tidak memiliki sumber air bersih. Untuk minum, masyarakat lokal harus membeli galon air setiap hari.
Dampak dari PT EWF yang mengeksploitasi kubah gambut, lahan gambut seluas 6.314 hektare mengalami subsiden dan dekomposisi. Hasil penelitian, total subsiden di lahan perusahaan ini sekitar 272 cm. Tanggul telah memutus aliran air tiga sungai yang menghubungkan Sungai Batanghari dan Kumpeh. Akibatnya, sejumlah wilayah dekat perusahaan mengalami kebakaran berulang.
BRGM: Restorasi Gambut Kewajiban Perusahaan
Soal hasil investigasi Walhi Jambi yang menyebutkan PT EWF tidak merestorasi gambut, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) sendiri tidak berwenang untuk mengintervensi perusahaan seperti EWF.
“Memang BRGM tidak boleh intervensi di kawasan berizin, sebab memang tugas perusahaan sendiri untuk melaksanakan restorasi gambut,” kata Kapokja Humas BRGM, Didy Wurjanto. Senin, 02 Agustus 2021.
Didy mengatakan, dalam restorasi gambut, perusahaan harus membangun sekat-sekat kanal, pembuatan sumur-sumur bor, pembetukan desa-desa peduli gambut, dan kegiatan-kegiatan lain sesuai arahan KLHK dan BRGM.
Mantan Kepala BKSDA Provinsi Jambi ini menjelaskan kenapa BRGM tidak boleh merestorasi gambut di kawasan perusahaan, karena dikhawatirkan ada duplikasi anggaran. Selain itu restorasi memang kewajiban perusahaan.
“Jadi BRGM cukup memberikan training kepada petugas restorasi perusahaan, sampai saat ini realisasi BRGM di Jambi sekitar 70 ribu hektare sudah kami intervensi,” kata Didy.
Namun meski tidak bisa memberikan sanksi kepada perusahaan yang abai terhadap restorasi gambut, BRGM bisa memberikan rekomendasi ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Berdasarkan regulasi Kementerian LHK akan ada wanprestasi terhadap kewajiban perusahaan.
“Tahapan sebelum ke pemberian sanksi tentu dilakukan peringatan atau teguran,” kata Didy.
Didy mengatakan, target restorasi gambut di Jambi untuk tahun 2021-2024 adalah 70 ribu hektare yang terdiri dari gambut kawasan lindung, kawasan budidaya yang dimanfaatkan masyarakat, dan kawasan budidaya berizin yang dikelola oleh perusahaan.
“Nah yang digarap BRGM itu khusus di kawasan gambut yang masuk kategori lindung dan budidaya yang tidak ada perusahaan di atasnya, alias tidak berizin,” kata Didy.
Temuan Dinas Lingkungan Hidup Jambi
Sementara itu, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jambi mendapat temuan jika PT EWF justru membangun kebun terlebih dahulu, sebelum DELH (Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup) disahkan dan diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Muarojambi.
Kepala Bidang Penaatan Lingkungan DLH Provinsi Jambi, Evi Syahrul mengatakan, jika DELH setara dengan Amdal, karena luasan kebun PT EWF di atas tiga ribu hektare.
“Harusnya diajukan dulu pembuatan DELH, tidak boleh ada kegiatan seperti membangun kebun. Harus dikaji dahulu Prona awal seperti apa, karena kami melakukan pengawasan berdasarkan dokumen,” kata Evi, Kamis, 12 Agustus 2021.
Evi mengungkapkan, bahwa dalam dokumen lingkungan PT EWF memang tertulis secara detail kondisi gambut dan pembangunan kanal yang dilakukan perusahaan.
“Tapi karena memang mereka sudah membangun terlebih dahulu, sehingga dokumennya tinggal menyesuaikan dengan kondisi alam di lapangan,” kata Evi.
Dari hasil diskusi dengan Walhi, kata Evi, sebelum pembangunan tanggul ada sejumlah danau di areal lahan PT EWF yang sekarang sudah tertutup kanal, sehingga bentangan-bentangan alam di Desa Rukam sudah berubah sama sekali. Namun di DELH milik PT EWF tidak ditemukan danau-danau tersebut.
“Kita berharap dalam dokumen itu ditampilkan danau-danau tersebut, itu kan masuk kategori kawasan lindung lokal, ternyata tidak ada,” kata Evi.
Terkait pengelolaan gambut, PT EWF memang sudah memiliki dokumen pemulihan gambut, “Sudah ada SK dari KLHK tentang titik-titik penaatannya, jadi mereka harus mempertahankan kondisi air 40 centimeter itu,” katanya.
Hanya saja, ia mengaku tidak mempelajari secara detail soal dokumen pemulihan gambut PT EWF. Sedangkan dari sisi pengawasan, kewenangan ada di DLH Kabupaten Muarojambi, sebab izinnya diterbitkan oleh Bupati Muarojambi. Apalagi kewenangan DLH Provinsi Jambi juga dibatasi Undang-undang 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah terkait Pengawasan Lingkungan Hidup.
“Kami (DLH Provinsi Jambi) bisa masuk jika ada pengaduan langsung dari masyarakat, atau ada kejadian yang dampaknya lintas kabupaten, seperti Karhutla yang menyebabkan bencana kabut asap,” kata Evi.
“Tapi tetap saja pemberian atau putusan sanksinya, kewenangannya di kabupaten,” tambahnya.
Evi menjelaskan, sanksi tersebut berupa perintah yang harus dilakukan perusahaan terhadap kejadian bencana seperti Karhutla, perusahaan wajib melakukan pemulihan ekosistem gambut, membuat bloking kanal, melakukan budidaya gambut dalam dengan menanami tanaman keras seperti pohon jati.
“Itu semua dibunyikan di dalam dokumen pemulihan, mana yang gambut di kawasan lindung, mana yang kawasan budidaya (gambut dalam),” kata Evi.
Namun dari hasil kunjungan pihaknya ke lahan kebun PT EWF, Evi mengatakan, PT EWF termasuk perusahaan yang taat dalam melakukan restorasi gambut, di antaranya EWF menyediakan menara pantau dan embung untuk mengantisipasi kebakaran lahan gambut.
Sementara, KLHK belum memberi respon kepada kilasjambi.com atas dugaan abainya PT EWF terhadap restorasi gambut dan kerusakan lingkungan yang terjadi di Desa Rukam, kilasjambi.com melakukan konfirmasi melaluai pesan whatsapp pada 10 Agustus 2021 dengan Direktur Pengendalian Kerusakan Lingkungan KLHK, Sri Parwati Budisusanti, namun hingga berita ini diterbitkan kilasjambi.com juga belum mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang diajukan.
”Ok, nanti disiapkan bahannya dan saya jadwalkan dengan pak Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan ya. Sedang kami kami komunikasikan dengan Humas Dirjen untuk jawaban atas pertanyaanya ya,” tulis Sri Parwati, melalui pesan whatsapp.
Manajemen PT EWF juga belum berhasil dimintai keterangan, kilasjambi.com coba melakukan upaya konfirmasi kepada Manajer Kebun PT EWF, Santoso, melalui sambungan telepon, pada 14 Agustus 2021 sekitar pukul 16.25 WIB, namun tidak direspon.
PT EWF Pasok CPO ke Perusahaan Raksasa
Pemilik perusahaan ini adalah pengusaha yang menguasai hampir 25 persen perkebunan sawit di lahan gambut Jambi. Dalam dokumen Administrasi Hukum Umum (AHU) pemilik saham PT EWF adalah Hariyanto alias Akiang, lalu Riyanto, Wiyanto dan Budy Yanto. Masing-masing orang menguasai saham Rp5.075 miliar, untuk modal awal perusahaan.
Dalam operasionalnya, PT EWF memasok kebutuhan CPO ke perusahaan seperti Wilmar, Cargill, Asian Agri, dan dua perusahaan lainnya. Pasokan CPO disalurkan melalui PT Kurnia Tunggal Nugraha (KTN) yang berada di Desa Tebat Patah, Kecamatan Taman Rajo, Kabupaten Muarojambi.
Kilasjambi mengirimkan pertanyaan tentang suplai CPO dari PT EWF ke Wilmar melalui surel, pada Jumat 13 Agustus 2021, akan tetapi hingga berita ini diterbitkan, kilasjambi.com tidak mendapatkan jawaban. Upaya yang sama juga dilakukan ke Cargill Indonesia, pertanyaan dikirimkan melalui website www.cargill.co.id, namun juga tidak direspon.
Sedangkan Manajemen Asian Agri mengaku, tidak mengambil pasokan CPO dari perusahaan manapun, sehingga tidak pernah berhubungan dengan PT EWF maupun PT KTN.
“Dapat kami sampaikan bahwa Asian Agri tidak mengambil pasokan CPO, sehingga tidak pernah berhubungan dengan pemasok CPO seperti PT. Erasakti Wira Forestama (EWF) melalui anak perusahaan PT. Kurnia Tunggal Nugraha (KTN) yang berlokasi di Kabupaten Muarojambi, Jambi,” kata Liharman Purba, Manager SSL Asian Agri Wilayah Jambi, dalam keterangan tertulisnya. Senin, 16 Agustus 2021.
Keberadaan perusahaan sawit PT EWF, membuat terjadinya pergeseran kondisi sosial-budaya di tengah-tengah masyarakat Rukam, belum lagi prediksi bencana lingkungan yang kian mengancam. Situasi pelik ini, bukan saja membuat warga Rukam makin terisolir, namun juga gamang terhadap nasib anak cucunya. Pengetahuan berbasis kearifan lokal sebagai nelayan dan petani, sepertinya tidak lagi dibutuhkan orang-orang Rukam di masa depan. Sebab kampung nelayan ini sudah kehilangan pelbagai potensi alam. Mulai dari air, ikan hingga tanah. (riki)
Liputan ini didukung oleh The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dalam program Fellowship Jurnalis Lingkungan “Build Back Better, Karhutla dan Penegakan Hukum.