Cerita Petani Sawit Transmigrasi Terusir di Kebun Sendiri

Seorang petani memperlihatkan legalitas lahan yang dimilikinya, foto: Dedy Nurdin

Jambi, Kilasjambi.com– Sulaiman (40) bergegas menuju kebun sawitnya yang berjarak sekitar dua kilometer dari rumah. Sepanjang perjalanan pikirannya diliputi kecemasan. Seorang teman mengabarkan ada alat berat sedang menggali kanal di kebun sawitnya.

“Kebun sawit punya kamu kok dibongkar pakai alat berat,” ucap Sulaiman menirukan ucapan seorang temannya ketika memberi kabar ihwal kebun sawitnya itu.

Pada Senin (31/10/2022) saya menemui Sulaiman di Desa Mekarsari–sebuah desa transmigrasi di Kabupaten Batanghari, Jambi. Angan-angan hidup dengan ekonomi tentram lewat transmigrasi perlahan pupus.

Dia terbayang jerih payahnya selama ini, lahan susah payah dibersihkan selama bertahun-tahun sebelum bisa di tanami. Berkebun sawit bukanlah hal mudah, harus tekun. jika ada yang mati, cepat-cepat disisip dengan bibit yang baru.

Agar tanaman itu bisa tumbuh sesuai harapannya ia terus merawat. Perkiraan Sulaiman, ketika anaknya dewasa hasil dari kebun sudah bisa membiayai sekolah anaknya-anaknya.

Namun harapan itu mulai pudar setelah melihat alat berat sedang bekerja meratakan pohon sawit yang sudah berbuah. Pohon-pohon yang ditanam rapi kini berantakan. Cakar bulldozer terus menggali, layaknya hewan pengerat menggali hingga ke akar-akar tanaman.

Hasil galian seperti sodetan menganga di tengah kebunnya, perlahan mulai membentuk parit yang tersambung ke kanal utama. Suara hentakan alat berat mengangkat tanah terus bekerja seolah tak peduli dengan kehadirannya.

Tandan buah sawit yang sebentar lagi akan dipanen sudah tumbang. Padahal tanaman itu baru menghasilkan buah sekitar 200 kilogram. “Itu juga ada yang kecil karena baru disisip, sudah tiga kali aku sisip,” katanya.

Sulaiman menghentikan operator alat berat yang sedang bekerja. Dia bermaksud untuk menanyakan alasan pembongkaran itu. Tak lama seorang preman kampung yang mengawasi pekerjaan alat berat mendatanginya.

“Aku nanya kok dibongkar bang? Tapi dijawab ini bukan lahan kamu,”katanya.

Dia menjelaskan kebun itu adalah lahan usaha (LU1) dari pemerintah untuk warga transmigrasi. Lahan itu juga sudah terbit sertifikat. Namun tak di gubris, orang-orang junai tetap merobohkan tanamannya.

“Cuma dikasih tahu nanti diganti rugi,” kata Sulaiman.

Namun sampai hari ini, tak sepeserpun uang yang diterima. Kabar yang sampai di telinganya lahan itu dijual-belikan dengan orang yang berbeda. Sulaiman hanya bisa diam, tak bisa berbuat apa-apa.

Masalah serupa juga dialami petani sawit di Desa Mekarsari. Seperti pasangan Abdullah (70) dan Nyai Juhairiah (65), warga tempatan. Kebun sawitnya mulai berbuah pasir ketika diserobot oleh Junai–seorang pengusaha lokal.

Kebun itu satu-satunya harapan keluarga. Apa lagi kondisi Pak Abdullah kini terbaring lumpuh. Sementara anaknya yang dulu aktif membantu mencari nafkah juga sedang sakit.

“Kini yang kerja cucung,” katanya ketika mendatangi pos pengaduan korban mafia tanah yang dibangun warga bersama lembaga pendamping Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi di Rt 5 Desa Mekarsari.

Sama seperti warga lainnya, lahan LU 1 pasangan sepuh itu ditanami dengan sawit dan pada tahun 2010 lahan itu sudah diterbitkan sertifikat.

“Sesuai sertifikat panjang 75 depa dan lebar 100 meter itu diambil. Suami sakit struk jadi kini saya yang bejuang,” katanya.

Sekitar 150 batang sawit yang sudah mulai berbuah roboh, diserobot oleh cukong tanah. Keluarganya tak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menyaksikan kebunnya diambil begitu saja. Begitu juga dengan lahan LU 2 yang belum sempat ditanami.

Peristiwa itu rupanya menimbulkan trauma bagi Nyai Juhairiah dan keluarganya. Ia selalu menangis ketika menceritakan apa yang dialami selama ini. Setelah lahannya diambil, Abdullah jatuh sakit, kini ia lumpuh dan hanya bisa berbaring.

“Suami sudah lumpuh, anak sakit keluarga kami dibikin macam ini pulak. Apolah nasib kami besok,” katanya.

Di Desa Mekarsari, seorang pengusaha lokal yang menyerobot tanah warga transmigrasi itu menguasai sekitar 308 hektare lahan milik 200 KK warga transmigrasi. Terdiri dari lahan usaha (LU-1) seluas 108 hektar dan lahan usaha (LU-2) seluas 200 hektar.

Sementara di Desa Tebing Tinggi, dari 150 KK warga transmigrasi, 42 KK menjadi korban dengan luas lahan yang dikuasai pengusaha lokal tersebut seluas 78 hektare. Semua lahan yang diambil adalah lahan yang sudah ditanami sawit, sebagian besar diantaranya telah berbuah.

Potret kanal dan tanaman sawit milik warga desa Mekarsari, Kecamatan Marosebo Ulu, Kabupaten Batanghari di Lahan LU 1 yang diserobot. (kilasjambi.com/dedy nurdin)

Penyerobotan lahan juga terjadi di beberapa desa lainnya seperti di Rawamekar, 150 KK ikut mengalami perlakuan sama. Termasuk di Desa Padang Kelapo dan Kembang Sri.

Perampasan lahan ini membuat para petani sawit ini dipaksa bekerja lebih keras. Sebagian warga memilih mencari pekerjaan di luar desa, menjadi buruh bangunan, bengkel, atau tukang tebas rumput untuk memenuhi kebutuhan dapur dan biaya anak sekolah.

Ada juga yang akhirnya terpaksa bekerja sebagai sopir angkutan batubara. Bahkan ada petani yang akhirnya bekerja sebagai buruh kebun dilahan milik pengusaha tersebut demi menyambung hidup.

Siswanto, warga Tebing Tinggi terpaksa bekerja sebagai buruh terbas di PT Adimulyo Palmo Lestari. Dalam satu hari kerja upah Rp107.000.

Tapi tidak setiap hari, terkadang Pak Sis–sapaan akrabnya tidak masuk dua hingga tiga hari karena kelelahan. Maklum saja usianya sudah tak muda lagi atau ia libur jika ada urusan lain.

Siswanto mengaku terpaksa karena tidak ada pilihan. Setelah lahan miliknya di gusur. “Karena kalau mengandalakan sawit di pekarangan rumah cuma ada 335 batang, paling dapat 200 kilo. Mana cukup, apa lagi kalau pas harga lagi murah,”katanya.

Ada juga warga yang bekerja sebagai buruh muat atau buruh panen perusahaan. Dengan upah Rp20 ribu per ton untuk buruh muat dan Rp1.000 rupiah perjenjang untuk juru panen.

Sementara dari lahan sawit milik warga yang dirampas di Desa Tebing Tinggi sudah berbuah. Perhari bisa menghasilkan 35 ton tandan buah segar (TBS). Buah dari lahan milik warga masuk ke pabrik PT Adimulyo Palmo Lestari, lahan yang dirampas Junai bersebelahan lansung dengan lahan perusahaan.

Warga menduga pengusaha tersebut memitrakan lahan-lahan ke perusahaan melalui Koperasi Unit Desa Empat Pilar. “Yang aktif buah di Desa Tebing Tinggi, Desa Mekarsari belum berbuah,” kata warga minta namanya dirahasiakan.

Sudah 13 tahun lahan warga transmigrasi dirampas , hak kelola lahannya dicuri. Tapi, pemerintah seolah tak mampu berbuat apa-apa. Warga juga sudah mengadukan perkara ini ke pemerintah provinsi.

Mereka sudah pula mendatangi Dinas Transmigrasi Provinsi Jambi, Kanwil ATR/BPN Provinsi Jambi, menghadap Gubernur Jambi dan mengadu pada tim pansus penyelesian konflik lahan di DPRD Provinsi Jambi. Tapi lagi-lagi tak ada kepastian.

Agustus 2022 lalu dengan didampingi Walhi Jambi, perwakilan warga mengadukan kejadian itu ke Kementrian PDTT, Kementrian ATR/BPN hingga Kantor Staf Presiden.  Namun belum ada jawaban pasti.

“Kami ini sebetulnya produk transmigrasi gagal, dan pemerintah tak bisa berbuat apa-apa. Padahal kami cuma menuntut satu, kembalikan lahan yang diberikan negara kepada kami,” kata Sardi, warga Desa Mekarsari.

Tak hanya itu saja, intimidasi juga kerap dialami warga. Maret 2022 lalu ketika melakukan aksi damai di lahannya warga diadang oknum preman bayaran. Upaya pembubaran massa aksi melalui jalur kekerasan. Beberapa warga mengalami luka karena dipaksa bubar oleh para preman.

Aksi intimidasi, berbagai ancaman sering diterima warga dari para pereman yang diduga sengaja dilakukan agar warga tidak betah. Kejadian-kejadian bahkan menimbulkan trauma bagi anak-anak dan perempuan di sana.

“Pernah malam-malam rumah didatangi preman pakai pistol, anak dan istri menangis semalaman tidak bisa tidur karena ketakutan,” kata salah seorang warga.

Aksi kekerasan juga kerap dirasakan penduduk desa. M Jais mantan Kepala Desa Mekarsari pernah mengalami kejadian itu langsung. “Kalau kantor desa didatangi preman dimintai uang itu sering,” ujarnya.

Berbagai upaya sudah dilakukan, mengadu ke pemerintah kabupaten, kepada Dinas terkait yang mengurusi program transmigrasi. Melakukan aksi dan audiensi dengan DPRD Provinsi Jambi serta Gubernur.

“Semua sudah kami lakukan, kami menuruti semua aturan sebagai warga transmigrasi tapi hak kami untuk mengelolah lahan kami sendiri dirampas. Sementara, negara hanya diam saja,” kata Sardi.

Dipenjara karena melawan

A Rahman, 65 tahun warga desa Kembang Sri juga bernasib sama. Tanah warisan orangtuanya seluas 2,5 hektare juga di serobot. Tanamannya dicabut, tanahnya dibikin kanal dan ditanami bibit sawit baru.

Datuk Rahman–begitu ia disap melihat kejadian itu ia dibuat berang. Ia akhirnya merusak tanaman yang baru ditanam di lahan warisan orangtuanya itu. Akibat perbuatanya itu, Rahman dilaporkan ke polisi, ia harus menginap selama dua bulan di sel tahanan. Putusan pengadilan menyatakan ia bersalah dan harus menjalani hukuman pidana.

Sebelum itu, Rahman melalui penasehat hukumnya Ramos Hutabarat yang juga mendampingi para korban penyerobotan lahan mengatakan, ada upaya damai yang ditawarkan oleh pengusaha tersebut. “Syaratnya kalau mau damai waktu itu Pak Rahman harus menyerahkan tanahnya. Klien kami jelas menolak karena tanah itu jelas kepemilikannya,” kata Ramos ketika dikonfirmasi pada Kamis (17/11/2021).

Rahman melakukan upaya perlawanan. Ia mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Batanghari. Upayanya itu membuahkan hasil. Pengadilan  memenangkan gugatannya dan menyatakan Rahman sebagai pemilik sah.

Pengusaha lokal tersebut kemudian mengajukan banding, namun ia kalah. Hingga tingkat kasasi Mahkama Agung memenangkan A Rahman. Tak puas sampai disitu, pengusaha tersebut kembali mengajukan Peninjauan Kembali (PK).

“Sebetulnya kami melihat ada upaya kriminalisasi terhadap petani kecil seperti pak Rahman yang menolak menyerahkan lahan miliknya. Hari ini bahkan pak Rahman masih dituntut ganti rugi, kami sangat menyayangkan ini,” kata Ramos Hutabarat.

Alex Sudirman, salah satu anggota tim penasehat hukum pengusaha lokal itu mengatakan ada kesalahan objek dalam perkata tersebut sehingga pihaknya melayangkan PK.

Kliennya kini bahkan telah mengajukan gugatan ganti rugi terhadap Rahman. Rahman dituding telah merusak tanaman dan Rahman digugat ganti rugi materil senilai dua juta rupiah dan in-materil senilai satu miliar rupiah.

“Perbuatan pengrusakan tanaman sudah terbukti tindak pidananya di Pengadilan Negeri Muarabulian. Kami menggugat ganti rugi,” kata Alex mewakili pengusaha tersebut selaku kliennya.

Disinggung mengenai kasus penyerobotan lahan milik petani di Desa Mekarsari dan Tebing Tinggi Alex mengatakan harus ada pembuktian kepemilikan sah melalui pengadilan.

“Silakan buktikan di pengadilan jika merasa sebagai pemilik sah,” kata Alex secara singkat ketika dikonfirmasi.

Namun ia enggan memberi keterangan lebih jauh ihwal permasalahan dengan warga transmigrasi. Alex beralasan belum mendapat kuasa dari kliennya. Alex hanya diberi kuasa terkait sengketa dengan A Rahman.

Saya telah mengonfirmasi pengusaha lokal yang bersangkutan lewat telepon pribadinya. Namun nomor pribadinya bernada tidak aktif atau berada di luar jangkauan.

Direktur Eksekutif Walhi Jambi Abdullah, menilai perlu adanya sikap tegas dari negara terhadap aksi para mavia tanah di Jambi. “Kita sampaikan kalau mau memberantas mafia tanah WALHI Jambi siap berkordinasi. Hari ini tanah transmigrasi yang diberikan oleh negara ternyata di serobot oleh mafia tanah kita sudah sampaikan juga ke Kementrian ATR/BPN sampai ke KSP,” kata Abdullah ketika menggelar Press Releas satu hari menjelang peringatan Hari Tani Nasional tahun 2022.

“Tapi jawabannya pemerintah masih mau mendalami ini,” sambung Abdul.

Abdullah juga mengatakan, sengketa agraria antata petani kecil dengan mafia tanah maupun korporasi masih banyak yang belum selesai. Tak hanya di Kabupaten Batanghari saja. Tapi, di beberapa kabupaten lain juga mengalami nasib yang sama. Belum ada jalan titik terangnya.

Menurut analisa Walhi Jambi mengungkapkan tidak ada masalah dengan dasar kepemilikan lahan para korban. Semua jelas, sesuai dengan SK Penempatan, disertai SK pencadangan tanah melalui peta LU-1 dan LU-2.

Tidak ada tumpang tindih lahan, namun faktanya masih juga bisa diserobot. Anehnya lagi kata Abdullah, tawaran dari pemerintah kabupaten adalah ganti rugi lahan dengan seekor sapi. Ini mengindikasikan ada hal yang disembunyikan di balik konflik yang berlarut-larut selama belasan tahun.

“Sejarahnya jelas ada tuan tanah yang mengambil kayu dan sebagainya kemudian mereka juga ingin memiliki lahan karena mengambil kayu lebih dulu. Ini sudah lama dan puluhan tahun mereka (warga desa) memang bisa hidup tapi faktanya itu hak mereka, harus dikembalikan. Kalau tidak ini akan kita arahkan ke ranah hukum dengan konsekuensi membongkar semua pihak yang terlibat,” tegas Abdullah.

Mengutip dari pemberitaan online di portal berita Antara News tahun 2012, dengan judul “Ratusan Transmigran Tidak Dapat Lahan Garapan”. Ketika itu Nakir, Kepala Dinas Sosial Tenagakerja dan Transmigrasi Kabupaten Batanghari mengatakan tak ada lagi lahan di UPT Tebing Jaya. Semua lahan telah dikuasi oleh warga dan perusahaan.

Sesuai SK Pencadangan Alokasi lahan untuk transmigrasi di UPT Tebing Jaya seluas 5.500 hektare. Namun tak ada alokasi untuk 639 warga transmigrasi dan warga tempatan.

Pemerintah Kabupaten Batanghari juga pernah memberikan tawaran ganti rugi lahan dengan satu ekor sapi. Namun, hal ini dianggap tidak sesuai dengan harapan masyarakat.

“Kami ditawari ganti rugi seekor sapi, pilihannya kalau tidak mau artinya kita tidak dapat sapi dan tetap tidak dapat lahan. Sebagian menolak dan yang didatangkan malah anak sapi,”ujar Sardi.

Perusahaan di balik layar?

Mansuetus Darto, Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), mengatakan Konflik lahan antara petani dengan pemilik modal atau dengan perusahaan masih tinggi kasusnya. Tidak hanya di Jambi, tapi hampir seluruh wilayah di Indonesia. Meski kasus tertinggi paling banyak terjadi di wilayah Sumatera.

Selalu ada peran cukong dengan pemodal besar ikut dalam proses ini dengan mengapling lahan. Walaupun lahan itu masuk dalam tanah negara atau tanah milik masyarakat.

“Kemudian ditanami, dijadikan perkebunan agar tanah itu memiliki nilai ekonomi besar ketika mereka jual. Harganya tentu akan naik tiga sampai empat kali lebih mahal,” kata Darto Rabu (16/11/2022).

Menurut Darto memang ada pola penguasaan lahan dilakukan perusahaan dengan memanfaatkan cukong lokal. Tapi dibalik itu masih ada perusahaan yang bermain.

Apa yang dialami oleh para petani sawit mandiri di desa Mekarsari, Kecamatan Marosebo Ulu, Kabupaten Batanghari Darto menduga ada kemungkinan keterlibatan perusahaan. “Namun perlu analisa lebih lanjut,” ucap Darto.

Dikatakan Darto, perdagangan minyak sawit ke pasar Eropa sudah didperketat. Tidak lagi diizinkan menjual CPO yang diperoleh dari areal deforestasi, tanah yang digunakan taman nasional atau lahan konflik. Dan bahkan aturan ini sudah disepakati perusahaan gede.

“Semestinya CPO dari perusahaan yang bermain diwilayah konflik tidak lagi diterima oleh perusahaan besar yang menjual ke pasar eropa.”

Sehingga sambung Darto jika bisa diterapkan dengan tegas pihak perusahaan di daerah tidak akan bermain dibalik konflik. Akan tetapi faktanya masih ada perusahaan menolak pendekatan melacak sumber produk sawit yang di jual. Ini menandakan masih ada yang menampung minyak sawit yang dihasilkajn dari lahan konflik.

Menurut ketua SPKS ini, jika pemerintah ingin mewujudkan kemandirian petani sawit harus ada rencana besar. Jangan lagi ada perusahaan bekerja seperti petani. Membangun lahan perkebunan, mengelola dan memanen sawit sendiri. Sebaliknya perusahaan hanya fokus pada pengelolaan pabrik skala besar.

“Kalau mau mandiri setop saja HGU, yang sudah habis jangan diperpanjang. Kembalikan kepada masyarakat,” ujar Darto.

Pemerintah juga harus lebih cepat merespon persoalan konflik pada petani. “Perlu ada tekanan dari pemerintah pusat kepada daerah untuk menyelesaikan persoalan konflik ini,” tegas Darto. (Dedy Nurdin)

*Liputan ini didukung oleh Mongabay Indonesia dan Kaoem Telapak

 

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts