AJI Menuntut 19 Pasal RKUHP yang Membahayakan Kebebasan Pers Dicabut

KILAS JAMBI – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengidentifikasi ada 19 pasal dalam Rancangan Undang-undang KUHP yang mengancam secara langsung kebebasan pers di Indonesia. Temuan 19 pasal tersebut merupakan hasil kajian hukum antara AJI Indonesia dengan ahli dari Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Herlambang P. Wiratraman terhadap RKUHP versi 4 Juli 2022.

Dokumen hasil kajian tersebut diluncurkan hari ini, 19 Agustus 2022, berjudul Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Dan Potensi Ancamannya Terhadap Kebebasan Pers Di Indonesia.

Unduh dokumennya di tautan: bit.ly/kajian_rkuhp

Sembilan belas pasal tersebut yakni :

  • Pasal 188 yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

  • Pasal 218, Pasal 219 dan Pasal 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.

  • Pasal 240 dan Pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap Pemerintah.

  • Pasal 263 yang mengatur tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong.

  • Pasal 264 yang mengatur tindak pindana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap.

  • Pasal 280 yag mengatur tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan.

  • Pasal 302, Pasal 303 dan Pasal 304 yang memuat tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan.

  • Pasal 351 dan Pasal 352 yang mengatur tentang penghinaan terhadap kekuasaan Umum dan Lembaga Negara.

  • Pasal 440 yang mengatur tindak pidana penghinaan ringan.

  • Pasal 437 mengatur tindak pidana pencemaran.

  • Pasal 443 mengatur tindak pidana pencemaran orang mati.

  • Pasal 598 dan Pasal 599 mengatur tindak pidana penerbitan dan pencetakan.

Ketua AJI Indonesia, Sasmito, mengatakan RKUHP versi 4 Juli 2022 merupakan intervensi untuk melemahkan kebebasan pers karena secara eksplisit hendak memasukkan delik pers dan meruntuhkan doktrin lex specialis dalam sistem hukum pers.

Sembilan belas pasal tersebut akan berdampak khusus terhadap karya jurnalistik atau mereka yang bekerja sebagai awak pers, seperti jurnalis, editor, pemimpin redaksi dan narasumber.

“Masuknya 19 pasal itu termasuk pasal tentang delik pers merupakan bentuk penolakan negara untuk melindungi pers. Pasal-pasal tersebut mengonfirmasi pengutamaan mekanisme pemidanaan yang sama sekali tak menghargai karya jurnalistik,” kata Sasmito, Jumat 19 Agustus 2022.

Menurut Sasmito, DPR RI dan Pemerintah harus mendekriminalisasi karya jurnalistik karena memuat kepentingan umum. Keberlakuan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers berikut Kode Etik Jurnalistik merupakan mekanisme khusus (lex specialis) dan diutamakan keberlakuan hukumnya (lex suprema) dalam kasus-kasus hukum yang menyangkut pemberitaan atau karya jurnalistik.

Tanpa perlindungan terhadap kebebasan pers berarti ancaman terhadap demokrasi, kebebasan sipil, serta hilangnya kontrol publik atas tindakan kesewenang-wenangan.

Ahli dari Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Herlambang P. Wiratraman menilai RKUHP versi 4 Juli 2022 seperti menyempurnakan politik hukum otoritarianisme. RUU ini dapat berdampak buruk dan mendasar bagi negara hukum serta jaminan perlindungan hak asasi manusia pada masa mendatang.

“Menjadikan karya jurnalistik sebagai sasaran ‘delik pers’, jelas akan mengancam kebebasan warga mendapatkan akses informasi berkualitas, sekaligus merobohkan kebebasan pers sebagai pilar demokrasi. Ini bukan sekadar kemunduran demokrasi dalam dua dekade terakhir pasca Soeharto, melainkan pula RKUHP yang mengembalikan paradigma kolonialisme represif masa Hindia Belanda ke dalam sistem hukum pidana,” kata Herlambang.

Atas dasar itu, AJI menyampaikan sikap:

1. Mendesak DPR RI dan pemerintah untuk mencabut 19 pasal bermasalah tersebut dari draf RKUHP versi 4 Juli 2022. Segala perubahan tersebut harus selalu diperbarui melalui website resmi Kemenkumham dan DPR agar dapat dikontrol publik.
2. Mendesak DPR RI dan pemerintah untuk tidak terburu-buru mengesahkan RKUHP. Apalagi pemerintah dan DPR baru mempublikasi draf RKUHP yang resmi pada 21 Juli 2022. Waktu yang kurang dari 1 bulan tersebut tidak cukup bagi publik untuk dapat memberi masukan secara keseluruhan dan berkualitas.
3. Mendesak DPR RI dan pemerintah untuk mendengar dan mengakomodasi masukan dari publik. Pemerintah dan DPR selama ini seperti ‘tebal kuping’ atas masukan dari publik dan lebih senang melakukan sosialisasi RKUHP, ketimbang membuka partisipasi publik secara bermakna. Ini seperti sosialisasi yang akan dilakukan pemerintah pada Selasa (23 Agustus 2022).

Jakarta, 19 Agustus 2022

Ketua Umum
Sasmito

Sekretaris Jenderal
Ika Ningtyas

Narahubung:
Ketua Bidang Advokasi
Erick Tanjung

Hotline: 08111137820

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts